Nationalgeographic.co.id - “Saat ini yang paling parah rata-rata limbah domestik. Nah, limbah domestik itukan tanggung jawabnya pemerintah Kabupaten atau Kota,” ucap Safri Burhanuddin, Deputi IV Bidang Koordinasi SDM, IPTEK, dan Budaya Maritim Kemenko Maritim kepada National Geographic Indonesia di Ritz-Carlton, Jakarta (20/2/2020).
Menurut Safri, saat ini, masalah penanganan limbah domestik merupakan penghambat pelestarian alam Indonesia. Ia menambahkan, pemerintah Kabupaten/Kota masih minim perhatian kepada kebersihan di daerahnya.
“Pemerintah Kabupaten/Kota tidak semua interest terhadap kebersihan. Jadi tidak punya program yang cukup untuk memberishkan dan merawat,” tambahnya.
Baca Juga: Studi: Dinosaurus Ternyata Berdarah Panas, Bukan Berdarah Dingin
Safri menuturkan, kelalaian pemerintah Kabupaten/Kota dalam menanggulangi kebersihan dari komposisi budget dan eksekusi yang tidak dimaksimalkan. Selain itu, pemerintah pusat tidak bisa turut campur secara langsung karena tugasnya hanya memperingatkan dan pengawasan.
Pemerintah pusat hanya bisa intervensi jika diperlukan dalam langkah untuk meminimalkan biaya dan adminitrasi pajak daerah seperti yang tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Safri tidak mengatakan daerah daerah mana yang belum sadar akan kebersihan. Namun, ia mengklaim baru 20% daerah yang sadar akan kebersihan lingkungan.
Saat ini, pemerintah tengah fokus pada circular economy. Pada forum diskusi dengan Desi Anwar di Hotel Ritz-Carlton, Safri mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan teknologi lebih lanjut seperti alat-alat produksi di perusahaan yang bisa meminimalisir kerusakan lingkungan.
Kesadaran setiap manusia juga adalah hal yang utama untuk menjaga kelestarian alam. Safri yakin bahwa sudah ada 11,03 % penduduk di Indonesia yang sudah sadar akan pelestarian alam.
Baca Juga: Batasi Konsumsi Pribadi, Salah Satu Upaya Menjaga Lingkungan
Di sisi lain, Peneliti LIPI Neni Sintawardani juga mengatakan bahwa pencemaran sungai-sungai di Indonesia terjadi karena limbah domestik. Sedangkan masalah teknologi menurutnya adalah hal yang kompleks.
“Persoalan yang kami pelajari sangat kompleks untuk membuat infrastruktur. Mau meniru negara maju membuat infrastruktur akan sangat mahal. Bahkan di Jepang saja, mereka mengakui pemeliharaan teknologi sangat mahal,” ucap Neni.
Untuk menghindari ketergantungan dengan pemerintah, maka Neni menyarankan agar setiap individu mampu berpikir holistik terhadap limbah domestiknya. Misalnya, memerhatikan sustainable dari sebuah septic tank.
“Mengurangi limbah domestik bisa dengan membuat septic tank yang sustainable kerjanya, tidak mesti disedot tiap saat. Kalo itu sudah mulai bisa diatasi, maka mulai ke pengelolaan sampah,” pungkas Neni.
Source | : | Wawancara LIPI,Wawancara Kemenko Maritim |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR