Nationalgeographic.co.id – Tantangan pertanian Indonesia pada era kiwari ialah penyerapan hasil tani paskaproduksi. Para petani harus berhadapan dengan bandar sebelum hasil panen mereka masuk ke supermarket atau suplier. Proses tersebut cukup panjang--mereka harus menempuh 6-7 lapis hingga akhirnya memperoleh keuntungan dari hasil tani mereka.
Sebagian besar pertanian kita masih mengandalkan alam. Tomy Perdana, dosen Agribisnis Universitas Padjajaran, mengategorikan tanaman pertanian menjadi dua kelompok yakni semusim dan musiman. Namun, yang sering terjadi saat ini, tanaman yang harusnya panen semusim justru menjadi musiman seperti cabai.
Ia mengatakan, alasan harga cabai bisa naik turun adalah karena stok yang tidak menentu. Hal ini dikarenakan pengelolaan yang tidak dilakukan dengan manajemen teknologi yang berbasis pasar. Selain itu, sistem rantai patok yang panjang juga menyebabkan 30-40 persen hasil pertanian mengalami food loss.
Baca Juga: Antrian Panjang Transportasi Massal, Tak Semua Bisa Kerja dari Rumah
Tantangan paskaproduksi pertanian juga terdapat pada penyerapan hasil panen petani. Tidak semua hasil panen memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh pasar. Pasar besar seperti supermarket misalnya, hanya mengambil buah atau sayuran dengan kualitas “grade A”.
Supermarket itu hanya mengambil 20-30 persen hasil panen petani. Lalu sisanya di jual ke pasar induk. Michael Jovan Sugianto, Co-Founder TaniHub mengatakan bahwasanya pasar induk memiliki sistem konsinyasi atau titip jual. Maka beban resiko yang ditanggung berada di tangan petani.
Melihat hal itu, TaniHub membuat PPC (Packing and Processing Center) yakni sebuah fasilitas di bawah naungan TaniSupply yang berfungsi sebagai menyerap hasil pertanian, menyortir, hingga pengemasan sehingga hasil pertanian siap sampai ke pasar.
PPC sendiri mencoba menyerap semua jenis grade dari hasil panen petani. Dengan begitu, petani yang menjual hasil panennya pada TaniHub akan dibeli tanpa terkecuali.
“PPC ingin menyerap semua jenis grade, kita sebutnya abras. Ke petani grade, apa pun ukurannya kita serap. Di PPC itu sendiri bisa menyerap 100 ton perhari. Mesin sortir kami memiliki kapasitas 6 ton perjam. Kita akan punya dua mesin, satu mesin untuk buah bulat, seperti apel, jeruk, dan lemon, juga mesin non-bulat untuk alpukat dan mangga. Dibandingkan manual, mesin ini dapat menyortir 20 kilo per 15menit,” ucap Michael, saat ditemui di Kementerian Pertanian (13/03/2020).
Mesin itu menyortir buah atau sayuran berdasarkan ukuran, kecacatan kulit buah, sampai kadar kemanisan dan keasamannya. Hasil sortir itu disesuaikan dengan kebutuhan klien-klien TaniHub, seperti supermarket, industri selai, restauran, hotel, sampai UMKM.
“Satu mesin itu ada konveyornya. Buahnya lewat kap mesin abis itu terdeteksi semuanya. Mulai dari ukuran, kadar asam manisnya, hingga warna," paparnya.
Baca Juga: Bekerja Dari Rumah, Berikut Cara Mengatur Tim Agar Tetap Produktif
Setelah buah/sayuran telah melewati PPC maka akan di pindahkan ke DC (Distribution Center) lalu disajikan kepada klien. Klien-klien sebelumnya sudah diberikan sampel. Jika sama-sama cocok, maka permintaan spek klien akan di simpan pada setting TaniHub.
Untuk PPC sendiri rencananya akan di bangun di dua tempat yakni di Malang untuk penyerapan buah-buahan dan di Lembang untuk penyerapan sayuran. Demi kelengkapan PPC, TaniHub juga menggelar acara TaniHack. Yakni kompetisi kalangan mahasiswa untuk membuat desain packing PPC.
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR