Mereka yang disebut pejalan bukan hanya yang mengeksplorasi di suatu daerah dengan berjalan kaki, tetapi juga yang menjelajahi dengan ragam moda transportasi. Mereka terdiri atas beragam individu, namun bisa juga komunitas.
“Bertepatan dengan perayaan 15 tahun bingkai kuning di Indonesia,” demikian ungkap Didi, “kami meluncurkan kampanye #SayaPejalanBijak.”
#SayaPejalanBijak merupakan bagian kampanye National Geographic Indonesia yang mengajak para pejalan untuk lebih berempati pada lingkungan dan kehidupan setempat. Sebuah seruan dan ajakan untuk berkelana, mengedepankan etika selama perjalanan, dan meramu cerita untuk kebaikan sesama. Karena setiap pejalan memiliki misi, setiap pejalan pula harus berbagi cerita tentang perjalanannya—dalam berbagai platform media, baik teks maupun visual.
"Kami mengajak para pejalan dan komunitas pejalan untuk bersama-sama sebagai agen perubahan," kata Didi. Kampanye ini menjadi kesempatan kita untuk meningkatkan kesadaran global tentang bagaimana perjalanan yang bertanggung jawab. #SayaPejalanBijak memberikan pemikiran baru bagaimana perjalanan dapat berperan sebagai agen perubahan yang lebih baik. Inilah roh perjalanan ala bingkai kuning.
Setiap pejalan memiliki kewajiban moral, sejak dia meninggalkan rumah. Berbagi ruang bersama penumpang lain atau memberi tempat duduk bagi penumpang prioritas merupakan bagian dari kewajiban moral seorang pejalan. Saat sampai di tempat tujuan, keingintahuan pun hendaknya tak berseberangan dengan konsep pelestarian. Hindari memotret subjek tanpa bertanya lebih dulu, utamanya memotret warga setempat serta tempat yang dianggap suci.
“Bagi para pejalan, kami juga menyerukan imbauan moral untuk mengurangi dampak buruk terhadap planet ini, dukunglah perekonomian setempat, dan lindungilah kehidupan liar,” ujar Didi. “Harapannya, destinasi yang kita kunjungi akan lebih baik lagi keadaannya saat kita kembali ke rumah.”
Kampanye #SayaPejalanBijak bertumpu pada tiga pilar perjalanan lestari. Pertama, menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang. Kedua, melindungi warisan budaya dan alam, memulihkan bangunan bersejarah atau menyelamatkan spesies yang terancam punah. Ketiga, memberikan manfaat sosial-ekonomi setempat, menegakkan hak-hak masyarakat adat, dan mendukung bentuk pendapatan yang adil.
Rasa perjalanan tergantung pada roh perjalanan itu sendiri. Awalnya, kita akan kehilangan jati diri kita dalam perjalanan. Namun, kita akan menemukan diri kita kembali saat pulang. Kami meyakini perjalanan mampu mendefinisikan kehidupan dengan lebih baik, seperti perjalanan nenek moyang kita saat keluar dari Afrika.
Terima kasih atas dukungan dari pembaca dan mitra untuk misi menginspirasi semua orang untuk lebih peduli pada nasib Planet ini. Mulailah dengan perilaku yang memberi dampak perubahan untuk Bumi yang lebih baik. Mari berkelana, beretika, dan berbagi cerita.
Mengapa para pejalan harus bercerita? Kahlil Gibran meriwayatkan kepada kita, “Kebutuhan manusia setelah makan dan minum adalah mendengarkan cerita.”
Tetaplah menjelajah!
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR