Nationalgeographic.co.id— “Perjalanan membuatmu tak bisa berkata-kata, namun ia akan membuatmu menjadi pencerita,” kata Ibnu Batuta. Lelaki pengelana asal Maroko itu pernah singgah di Aceh pada abad ke-14.
Perjalanan bagi manusia adalah sebuah keniscayaan. Sejak nenek moyang kita meninggalkan Afrika sekitar 60.000 tahun silam, dorongan untuk melintasi batas pengetahuan manusia telah membentuk kebudayaan kita. Tampaknya, kita mewarisi jiwa nenek moyang yang tak lelah mengembara.
National Geographic edisi bahasa Indonesia memulai tapak-tapak perjalanan kecilnya dari sebuah wisma abad ke-18 tinggalan Reynier de Klerk di tepian kanal Molenvliet, Jakarta Pusat. Senin malam, 28 Maret 2005, Presiden Republik Indonesia meluncurkan sampul edisi perdananya.
Sampul perdana itu terbit untuk edisi April 2005. Cerita sampulnya tentang temuan fosil manusia katai (Homo floresiensis) di Liang Bua, Flores. Raut wajah manusia katai itu direkonstruksi oleh John Gurche, seniman asal Amerika yang pernah menjadi konsultan Jurassic Park. Sementara, kisah bertajuk “Mereka yang Terlewatkan Waktu” ditulis oleh Mike Morwood, Thomas Sutikna (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Richard Roberts. Fotografer yang bertugas, Kenneth Garrett.
Boleh jadi edisi ini merupakan kegegeran berganda yang kebetulan. Pertama, majalah yang ‘mengegerkan’ Indonesia karena memang baru terbit. Kedua, cerita sampulnya mengungkap temuan para arkeolog yang ‘menggegerkan’ dunia ilmu pengetahuan sejagad.
Selama bentang 15 tahun, National Geographic Indonesia menyingkap rangkaian kebinekaan Nusantara dalam misi-misi penjelajahan. Dari nyanyian owa jawa sampai auman sendu harimau sumatra. Dari sebaran jejak kejayaan Sriwijaya, misteri danau Borobudur, sampai keagungan metropolitan Majapahit. Dari kisah pasukan pemadam kebakaran kota sampai dilema pencari suaka. Dari pemetaan burung-burung di Nusantara sampai pemetaan satwa lautnya.
Kami meyakini kekuatan sains, penjelajahan, dan cara bertutur untuk mengubah dunia. Ilmu pengetahuan berperan dalam mengubah cara pandang kita tentang kehidupan. Penemuan teknologi di setiap peradaban merupakan jawaban peradaban itu dalam meretas kesulitan. Salah satu penelitian telah menunjukkan cara pandang nenek moyang kita terhadap alam, yang mungkin memberi gagasan kepada kita tentang bagaimana seharusnya hidup berbudaya bersama alam.
“Kita punya optimisme bahwa National Geographic Indonesia harus berperan menjadi kontrol sosial bagi permasalahan Bumi, lebih khususnya di negeri kepulauan ini,” kata Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia. “Kita meyakini bahwa alam tak akan pernah ingkar terhadap perilaku manusia.”
Perjalanan adalah proses pembelajaran, proses pendewasaan diri, dan proses mencari sesuatu. Namun, pekerjaan kami dalam menjelajahi kebinekaan Nusantara ini masih jauh dari selesai. Negeri kepulauan ini adalah bentangan gagasan yang perlu disingkap demi ilmu pengetahuan.
Apa makna sejati sebuah perjalanan? Hari ini kita merasakan adanya pergeseran nilai para pejalan dalam memaknai perjalanan. Kami memiliki keyakinan bahwa perjalanan bukan sekadar melihat kehidupan di lokasi baru, tetapi juga mengambil kiasan dari kisah hidup dengan mata yang baru.
Mereka yang disebut pejalan bukan hanya yang mengeksplorasi di suatu daerah dengan berjalan kaki, tetapi juga yang menjelajahi dengan ragam moda transportasi. Mereka terdiri atas beragam individu, namun bisa juga komunitas.
“Bertepatan dengan perayaan 15 tahun bingkai kuning di Indonesia,” demikian ungkap Didi, “kami meluncurkan kampanye #SayaPejalanBijak.”
#SayaPejalanBijak merupakan bagian kampanye National Geographic Indonesia yang mengajak para pejalan untuk lebih berempati pada lingkungan dan kehidupan setempat. Sebuah seruan dan ajakan untuk berkelana, mengedepankan etika selama perjalanan, dan meramu cerita untuk kebaikan sesama. Karena setiap pejalan memiliki misi, setiap pejalan pula harus berbagi cerita tentang perjalanannya—dalam berbagai platform media, baik teks maupun visual.
"Kami mengajak para pejalan dan komunitas pejalan untuk bersama-sama sebagai agen perubahan," kata Didi. Kampanye ini menjadi kesempatan kita untuk meningkatkan kesadaran global tentang bagaimana perjalanan yang bertanggung jawab. #SayaPejalanBijak memberikan pemikiran baru bagaimana perjalanan dapat berperan sebagai agen perubahan yang lebih baik. Inilah roh perjalanan ala bingkai kuning.
Setiap pejalan memiliki kewajiban moral, sejak dia meninggalkan rumah. Berbagi ruang bersama penumpang lain atau memberi tempat duduk bagi penumpang prioritas merupakan bagian dari kewajiban moral seorang pejalan. Saat sampai di tempat tujuan, keingintahuan pun hendaknya tak berseberangan dengan konsep pelestarian. Hindari memotret subjek tanpa bertanya lebih dulu, utamanya memotret warga setempat serta tempat yang dianggap suci.
“Bagi para pejalan, kami juga menyerukan imbauan moral untuk mengurangi dampak buruk terhadap planet ini, dukunglah perekonomian setempat, dan lindungilah kehidupan liar,” ujar Didi. “Harapannya, destinasi yang kita kunjungi akan lebih baik lagi keadaannya saat kita kembali ke rumah.”
Kampanye #SayaPejalanBijak bertumpu pada tiga pilar perjalanan lestari. Pertama, menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang. Kedua, melindungi warisan budaya dan alam, memulihkan bangunan bersejarah atau menyelamatkan spesies yang terancam punah. Ketiga, memberikan manfaat sosial-ekonomi setempat, menegakkan hak-hak masyarakat adat, dan mendukung bentuk pendapatan yang adil.
Rasa perjalanan tergantung pada roh perjalanan itu sendiri. Awalnya, kita akan kehilangan jati diri kita dalam perjalanan. Namun, kita akan menemukan diri kita kembali saat pulang. Kami meyakini perjalanan mampu mendefinisikan kehidupan dengan lebih baik, seperti perjalanan nenek moyang kita saat keluar dari Afrika.
Terima kasih atas dukungan dari pembaca dan mitra untuk misi menginspirasi semua orang untuk lebih peduli pada nasib Planet ini. Mulailah dengan perilaku yang memberi dampak perubahan untuk Bumi yang lebih baik. Mari berkelana, beretika, dan berbagi cerita.
Mengapa para pejalan harus bercerita? Kahlil Gibran meriwayatkan kepada kita, “Kebutuhan manusia setelah makan dan minum adalah mendengarkan cerita.”
Tetaplah menjelajah!
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR