Nationalgeographic.co.id - Mungkin ada di antara Anda yang tak mengenal Tegal. Tapi saya yakin, banyak di antara Anda yang kenal ‘warteg’ alias "Warung Tegal". Gerai makanan murah meriah sekaligus mengenyangkan dengan aneka lauk pauk khas rumahan yang beragam dan disajikan bersama segelas teh hangat beraroma melati. Apakah Anda pernah memperhatikan merek dan asal teh wangi yang disuguhkan di warteg tersebut?
Di manakah Tegal berada? Tegal terdiri atas dua wilayah administratif, yaitu Kotamadya Tegal dan Kabupaten Tegal dengan ibu kotanya masing-masing yaitu Kota Tegal dan Slawi. Keduanya memiliki posisi memanjang dari pantai utara hingga kaki Gunung Slamet. Mengapa kota ini penting?
Selain tempat asal para pengusaha warteg, kota ini merupakan kota tempat kelahiran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut pada 1945. Selain itu, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, terutama Slawi memiliki empat produsen teh wangi melati terbesar di Indonesia. Pabrik Teh Gunung Slamat produsen Teh Sosro dan Teh Poci (1940), Pabrik Teh 2 Tang (1942), Pabrik Teh Tongtji (1938), dan Pabrik Teh Gopek (1942).
Baca Juga: Tan Pek Hauw 'Sang Kungfu Master' Legendaris Asal Kabupaten Tegal
Walaupun teh wangi juga diproduksi di Cirebon, mungkinkah kita dapat menyebut Slawi sebagai pusatnya teh wangi Indonesia? Atau bahkan Asia Tenggara?
Siang itu saya memesan sepiring soto tauco dan nasi langgi di warung makan Fajar Pagi milik sang Kungfu Master asal Slawi, Tan Pek Hauw. Menu itu ditemani segelas teh tawar hangat dan beberapa potong tempe goreng. Saya beruntung, siang itu saya menikmati makan siang ditemani sang Kungfu Master. Tergelitik saya bertanya mengenai sejarah teh wangi melati di Slawi kepadanya.
“Om, teh melati di Slawi ini ada dari tahun berapa?” tanya saya.
“Teh Slawi itu adane lama sekali,” ujar Pek Hauw.
“Pabrik teh yang paling tua siapa, Om? Teh Sosro, Tongtji, Gopek?” tanya saya penasaran.
“Waaaah, itu kalah tuane. Ada yang tua lagi. Ayo aku anter ke tempate Seng Hok, Teh Tatah! Deket, persis di depan pabrik teh Poci! Ayo motoran bae, keliling-keliling,” ujar Pek Hauw.
Dia bergegas menyiapkan motor dan mengantar saya menuju kediaman salah satu tokoh pembuat teh melati di Slawi.
Baca Juga: Tan Hong Boen dari Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno
Alkisah bermula dari masa Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, yang diterapkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Graaf Johannes van Den Bosch pada 1830. Sistem ini diutamakan untuk komoditas ekspor berupa kopi, tebu, teh, dan nila (tarum/indigofera tinctoria). Pada masa itu, teh menjadi komoditas mahal yang sedang digandrungi kalangan kelas elit dan sosialita di Eropa.
Dalam buku Gedenkboek der Nederlandsch Indisiche Theecultuur 1824-1924 tersebutlah nama J.I.L.L. Jacobson yang menyelundupkan bibit teh dari Taiwan ke Hindia Belanda pada 1832. Dia menguji coba penanaman bibit teh di daerah Wanayasa, Karawang. Uji coba ini gagal.
Sekali lagi, Jacobson menyelundupkan benih pohon teh dari Cina ke Hindia Belanda dan menanamnya di wilayah Bandung. Upayanya membuahkan hasil, tanaman teh tersebut tumbuh baik. Sejak itu Jacobson diangkat sebagai inspektur budidaya teh.
Kemudian Jacobson mengarahkan penanaman bibit teh di beberapa daerah seperti Banten, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Besuki, Banyumas, Bagelen dan Kedu. Pemerintah Hindia Belanda bergegas melakukan budidaya teh di Hindia Belanda. Alasannya, teh merupakan komoditas mahal. Di samping itu banyak orang Cina di Hindia Belanda yang pandai dalam budidaya tanaman teh serta pemrosesan daun teh.
Baca Juga: Lima Jenis Teh yang Dianggap Efektif untuk Menurunkan Berat Badan
Tegal, terutama di wilayah Bumijawa yang terletak di kaki Gunung Slamet, menjadi tempat penanaman bibit pohon teh sejak 1846. Sampai saat ini masih terdapat kebun teh di daerah itu, baik yang dimiliki oleh warga maupun perusahaan teh wangi. Ada sederet perusahaan teh wangi di Buminawa: Teh 2 Tang, Teh Gopek, dan Teh Tongtji.
Jenis teh yang ditanam di daerah Bumijawa kebanyakan adalah jenis Camelia sinensis, kerap menjadi bahan utama pembuatan teh wangi. Produsen teh lainnya banyak mendatangkan daun teh dari perkebunan di Jawa Barat, terutama dari Sukabumi.
Saya dan Pek Hauw berhenti di depan rumah tua berpintu kayu tebal. Langgamnya khas rumah-rumah pecinan seperti di Lasem dan Parakan. Terdapat sebuah jendela kuno dengan daun jendela terbelah atas bawah. Fungsinya, di masa lalu, ketika jendela dibuka, si pemilik menggunakannya sebagai tempat meletakkan dagangan. Rumah itu terletak di Jalan Mayjen Sutoyo, Slawi.
Pek Hauw mendorong pintu rumah sambil memanggil nama seseorang, “Ci Sien, Ci Sien!”
Tak lama , keluar seorang perempuan setengah baya sambil tersenyum menyambut kami. Ia mempersilakan kami ke ruang dalam. Lalu ia meminta kami ke rumah bagian belakang. Di sana, saya melihat kebun kecil di tengah rumah yang dikelilingi bangunan memanjang. Bagian paling ujung dari bangunan itu tampak altar sembahyang.
Baca Juga: Penelitian: Teh Celup Juga Mengandung Banyak Mikroplastik
Siang itu, Lie Ci Sien (71) atau Laurensius Agung Sugiharto sedang sibuk membersihkan rumah. Sementara istrinya, Sim Lian Sin (70) atau Maria Sinta Handayani, membuat kue kura-kura warna merah berisi kacang hijau.
“Kukuran” demikian Nyonya Maria menyebut kue tadi. Maria masih rajin membuat kue-kue, seperti kukuran, wajik, dan talam. Kue-kue itu ia jual ke beberapa toko kue di Slawi.
“Jadi bagaimana sejarah Teh Tatah, tante?” tanya saya.
“Itu kudune karo suami, saya mantu. Dulu saya penggilingan gaplek di Bioskop Singa,”ujar Maria.
Bioskop itu merupakan sebuah bangunan tua legendaris di Slawi yang sudah tak digunakan lagi. Gedung itu sudah berpindah tangan dari keluarganya kepada orang lain.
Tak lama, Agung Sugiharto bergabung bercakap-cakap.
Saya mulai melempar pertanyaan dan mendengarkan kisah dari Lie Cie Sien, cucu dari Lie Seng Hok pendiri pabrik Teh Tatah.
“Pertama-tamanya di kota Slawi ini munculnya teh wangi itu dari eyange aku. Engkong namane Lie Seng Hok,” ujar Ci Sien.
“Seng itu hidup, Hok itu rejekine. Jadi rejekine hidup,” sahut Pek Hauw.
“Embah pertamanya bukan kerja teh dulu. Embah itu datang dari Cina, terus turun ke Indonesia di Semarang langsung ke Slawi. Asal muasalnya bukan kerja teh. Pertamane ya orang nggak punya modal ya, jadine kerja kasar lah. Lha, terus engkong terpikir bikin teh wangi,” ujar Agung menambahkan.
“Tahun berapa kira-kiranyanya, Om?” tanya saya.
“Kira-kiranya ya sebelum Jepang tuh. Jadi tahun 30-an kayane,” ujar Ci Sien.
“Kayane 28 (1928),” ujar Maria menimpali.
“Jamane Tin Kang. Ya itu tahun 1928 itu bener. Belajare ke Tin Kang. Oey Tin Kang. Dipelajari dan ternyata berhasil. Padahal sang guru tidak berhasil. Terus embah berpikir ngelanjutin. Nah Simbah berhasil. Mulai produksi,” kenang Ci Sien.
Ia mendengar kisah sejarah Teh Tatah dari sang kakek Lie Seng Hok dan sang ayah Lie Kim Hien.
Seng Hok mulai memroduksi teh rumahannya untuk pasar lokal. Kemudian mulai merambah Jakarta.
“Embah berpikiran, bahwasannya akan terkenal kalau bisa menguasai ibukota. Saudarane engkong ancure neng ibukota. Angger Jakarta wis kecekel ya benderane se-Indonesia (kalau Jakarta sudah dipegang, ya benderanya seIndonesia). Mulai dikirim ke Jakarta,” ujar Ci Sien.
Kisah berlanjut dengan dimulainya pengiriman teh produksi Lie Seng Hok ke Jakarta. Namun sayang, akibat persaingan dagang, terjadi sabotase terhadap produk Teh Tatah.
“Disabotase di Jakarta. Disimpen ben bosok, disebarna! (disimpan supaya busuk lalu disebarkan). Jadi kan nggak muncul. Itu sejarah ancure Teh Tatah. Itu sekitar tahun 1956-an. Tahun itu enkong mati. Waktu kira-kira usia 70-an, beban pikiran. Enyong (aku) isih kanak-kanak sih, dadi lupa-lupa inget,” kenang Ci Sien dengan logat ngapak-nya.
Lie Ci Sien menjelaskan, pasca kejadian itu nama Teh Tatah mulai surut walaupun masih tetap diproduksi di Slawi dan dijual untuk pasar lokal.
Baca Juga: Penelitian: Teh Celup Juga Mengandung Banyak Mikroplastik
“Pada tahun 1940-an, mulai ditembak sama generasi-generasi baru pabrik teh yang sekarang besar-besar. Ya pada belajar bikin teh. Ada yang belajar ke sini juga. Kalo sore pada maen ke sini, dipancing-pancing ya resepe kecandak,” ujar Ci Sien sambil tertawa.
“Ya silakan. Tidak apa-apa. Rejeki kan sudah ada yang membagi,” tegas Ci Sien ketika ditanya apakah dengan membagi resep teh wangi keluarga Lie menyurutkan bisnis Teh Tatah.
Agung pun tak segan membeberkan resep kakeknya yang terdiri dari daun teh hijau dan melati. “Daun teh ijo dimasak dulu, digoreng, disangan (sangrai). Teh langsung goreng manual, pake kaya paso, diungkep sama melati,” jelas Ci Sien.
Dia juga menyebutkan daerah asal teh yang digunakan oleh keluarga Lie, yaitu teh dari Kaligua Bumiayu, Pemalang, dari Jawa Barat.
“Ya dari perkebunan-perkebunan zaman Belanda dulu sih,” sambung Pek Hauw.
“Jadilah Teh Tatah yang pertama-tama bikin teh melati,” tegas Ci Sien.
“Mengapa pakai melati, Om?” tanya saya penasaran.
“Ya jaman dulu nggak ada essens. Asli berarti jasmin pure. Mengapa pilihnya melati. Kanapa nggak pakai mawar. Mungkin karena wanginya yang pas pakai teh itu melati. Engkong ngambil melatinya dari Pekalongan,” ujar Ci Sien.
Dia menyebutkan Pekalongan sebagai daerah pusat melati di pantai utara Jawa yang masih memproduksi hingga saat ini. Bahkan, kawasan pesisir di timur Tegal itu masih menjadi pemasok utama pabrik-pabrik teh Slawi.
“Itu ada dua jenis melati lo. Yang sering kita pakai itu melati pantai. Ada satu lagi melati siu eng atau melati gambir itu melati dari gunung, itu bungane biasa tapi wangi sekali. Melati pantai nggak ada nama cinane,” tambah Pek Hauw.
Lebih lanjut Ci Sien menjelaskan bahwa setelah kakeknya meninggal pada 1956, usaha Teh Tatah dilanjutkan oleh putra Lie Seng Hok, yaitu Lie Kim Hien. Perusahaan Teh Tatah tutup pada 1975.
“Karyawan waktu yang terakhir itu 20-an. Jamane engkong ya akeh banget (jamannya kakek ya banyak sekali). Lagi jaya-jayane, jaman keemasan. Ratusan orang. Dan waktu itu belum ada teh wangi sih. Cikal bakale ya dari Teh Tatah,” sambung Ci Sien.
Pertanyaan terakhir saya, kenapa engkong pakai nama Tatah?
“Nah itu ada legendane kayane. Tapi dia nggak cerita sama aku. Tapi aku berpikir apa sebabe milih nama Teh Tatah, Teh Meriam, Teh Gelas, Teh Sumur. Itu produksine engkong, macem-macem. Ada Teh Pestol juga, Kaki Tiga juga ada. Kira-kirane ya itu, kalau dulu kan tukang kayu untuk membuka dalan (jalan). Jadi kita harus natah dalan (menatah jalan, membuka jalan). Jebule ada legendane ini Tatah, kan membuka jalan, jadi natah. Teh Sumur, sumur itu penghidupan. Ada arti-artinya. Ngadepin musuh karo meriam sama pestol,” ujarnya terbahak-bahak.
“Kiye, ana-ana bae ya (ini ada-ada saja ya),” gelak Ci Sien dan Pek Hauw bersamaan.
Ia pun menjelaskan bahwa pabrik-pabrik teh di Slawi mengeluarkan beraneka macam merek dagang.
“Misal yang favorit, Teh 2 Tang ngeluarin Teh Tjatoet, Teh Sosro punya Teh Poci, Teh Gopek punya Cangkir. Yang aku ngerti itu Teh Pocine Sosro itu dulu punyane Hok Cui. Terus dibeli Sosro karena Hokcui nggak produksi lagi. Keturunane Hok Cui ya ilang kabeh, aku wis ora ngerti. Seru sejarah teh wangi di Slawi ini,” jelas Ci Sien.
“Ya jadi, Slawi itu sentrane teh wangi itu juga minum tehnya pakai poci. Nyipok, moci sambil ndopok!,” pungkas Ci Sien terbahak.
Teh wangi melati sejatinya sudah muncul pada masa Dinasti Song (960-1279). Tradisinya, menambahkan bunga-bunga ke dalam minuman teh seperti bunga kayu manis, bunga jeruk, dan bunga melati. Mereka membagi melati menjadi dua jenis yaitu melati biasa (mo li hua/Jasminum sambac) dan melati gambir (su xin/Jasminum grandiflorum).
Seiring dengan penyebaran diaspora orang Cina ke Nusantara, tradisi pembuatan teh wangi melati pun berlanjut di Indonesia.
Di Tiongkok, acara minum teh menggunakan poci. Peralatannya pun memiliki aneka fungsi ritual dan sosial. Sementara, bagi masyarakat Tegal, khususnya Slawi, acara minum teh menggunakan poci mungil dan gelas tembikar. Namanya “Nyipok” alias moci sambil ndopok atau minum teh dengan poci sambil berbincang-bincang santai bersama keluarga atau kawan-kawan.
Biasanya, segelas teh panas wangi melati dinikmati dengan sebongkah gula batu mungil. Hasilnya… teh bercitarasa ‘nasgitel’ panas legi (manis) kentel (kental)!
Tradisi ‘Nyipok’ ini agaknya dapat mengingatkan kita pada ritual atau upacara minum teh di beberapa negara Asia. Di Tiongkok, ada tradisi yang dikenal dengan nama Kongfu Cha, di Jepang dengan nama Sado atau Chado, atau tradisi minum teh di Korea yang disebut Darye. Ya, Tegal memiliki tradisi minum teh 'Nyipok' dengan kudapan khas Slawi yaitu tahu aci nan gurih.
Selamat menikmati teh wangi Slawi!
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR