Baca Juga: Tan Hong Boen dari Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno
Alkisah bermula dari masa Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, yang diterapkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Graaf Johannes van Den Bosch pada 1830. Sistem ini diutamakan untuk komoditas ekspor berupa kopi, tebu, teh, dan nila (tarum/indigofera tinctoria). Pada masa itu, teh menjadi komoditas mahal yang sedang digandrungi kalangan kelas elit dan sosialita di Eropa.
Dalam buku Gedenkboek der Nederlandsch Indisiche Theecultuur 1824-1924 tersebutlah nama J.I.L.L. Jacobson yang menyelundupkan bibit teh dari Taiwan ke Hindia Belanda pada 1832. Dia menguji coba penanaman bibit teh di daerah Wanayasa, Karawang. Uji coba ini gagal.
Sekali lagi, Jacobson menyelundupkan benih pohon teh dari Cina ke Hindia Belanda dan menanamnya di wilayah Bandung. Upayanya membuahkan hasil, tanaman teh tersebut tumbuh baik. Sejak itu Jacobson diangkat sebagai inspektur budidaya teh.
Kemudian Jacobson mengarahkan penanaman bibit teh di beberapa daerah seperti Banten, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Besuki, Banyumas, Bagelen dan Kedu. Pemerintah Hindia Belanda bergegas melakukan budidaya teh di Hindia Belanda. Alasannya, teh merupakan komoditas mahal. Di samping itu banyak orang Cina di Hindia Belanda yang pandai dalam budidaya tanaman teh serta pemrosesan daun teh.
Baca Juga: Lima Jenis Teh yang Dianggap Efektif untuk Menurunkan Berat Badan
Tegal, terutama di wilayah Bumijawa yang terletak di kaki Gunung Slamet, menjadi tempat penanaman bibit pohon teh sejak 1846. Sampai saat ini masih terdapat kebun teh di daerah itu, baik yang dimiliki oleh warga maupun perusahaan teh wangi. Ada sederet perusahaan teh wangi di Buminawa: Teh 2 Tang, Teh Gopek, dan Teh Tongtji.
Jenis teh yang ditanam di daerah Bumijawa kebanyakan adalah jenis Camelia sinensis, kerap menjadi bahan utama pembuatan teh wangi. Produsen teh lainnya banyak mendatangkan daun teh dari perkebunan di Jawa Barat, terutama dari Sukabumi.
Saya dan Pek Hauw berhenti di depan rumah tua berpintu kayu tebal. Langgamnya khas rumah-rumah pecinan seperti di Lasem dan Parakan. Terdapat sebuah jendela kuno dengan daun jendela terbelah atas bawah. Fungsinya, di masa lalu, ketika jendela dibuka, si pemilik menggunakannya sebagai tempat meletakkan dagangan. Rumah itu terletak di Jalan Mayjen Sutoyo, Slawi.
Pek Hauw mendorong pintu rumah sambil memanggil nama seseorang, “Ci Sien, Ci Sien!”
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR