Nationalgeographic.co.id - Bumi kita sudah mengalami banyak perubahan dan kepunahan massal di masa lalu. Di antaranya seperti kepunahan massal akibat dentuman asteroid 66 juta tahun yang lalu, dan pemanasan global sekitar 55 juta tahun yang lalu.
Kini di tengah-tengah COVID-19, meskipun mengalami penurunan emisi, para ilmuwan beranggapan kepunahan massal masih tetap mengancam peradaban karena peningkatan level karbon dioksida akan terus meningkat.
Baca Juga: Wabah COVID-19, Emisi Karbon Alami Penurunan Terbesar Sejak PD II
Andrew Glikson, ahli paleoiklim dari Australian National University mengatakan, “Pada titik tertentu dalam sejarah planet kita, peningkatan level karbon dioksida di atmosfer telah menimbulkan pemanasan global ekstrem dan mempercepat kepunahan banyak spesies di Bumi.”
Pada masa prasejarah, pemicu perubahan tingkat karbon dioksida di atmosfer disebabkan oleh erupsi vulkanik yang besar dan dampak asteroid. Namun, pada masa sekarang ini, kepunahan massal cenderung disebabkan oleh aktivitas manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Glikson menunjukan bahwa pertumbuhan emisi karbon dioksida kini lebih cepat daripada kepunahan massal sebelumnya.
Ia membandingkan emisi karbon dioksida masa kini dan kepunahan masa prasejarah akibat asteroid 66 juta tahun yang lalu, dan 55 juta tahun yang lalu. Ia menemukan emisi karbon dioksida masa kini lebih cepat 0,18 bagian setiap satu juta CO2 setiap tahunnya (dibandingkan kepunahan massal 66 juta tahun yang lalu), dan 0,11 bagian satu juta CO2 per tahun (dibandingkan kepunahan massal 55 juta tahun yang lalu).
Karbon dioksida saat ini yang terlepas ke atmosfer diperkirakan sekitar 2 hingga 3 bagian per juta tiap tahunnya.
“Total gas rumah kaca–karbon dioksida, metana dan dinitrogen oksida–mencapai hampir 500 bagian per juta bagian karbon dioksida ekuivalen (CO2e)” tulis Glikson dari The Conversation.
“Berdasarkan catatan karbon yang terekam dalam fosil dan bahan organik, saya yakin bahwa emisi karbon saat ini berada dalam situasi ekstrem sepanjang sejarah Bumi.”
Meskipun demikian, Glikson menyebutkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer saat ini belum mencapai level yang terjadi pada 55 dan 65 juta tahun lalu. Namun, arus CO2 yang besar menunjukan iklim berubah lebih cepat dari kemampuan adaptasi mayoritas hewan dan tumbuhan.
Baca Juga: Studi: Kumbang Daun Berpotensi Lidungi Jutaan Orang Dari Hay Fever
Tanda-tanda perubahan iklim kini sangat kritis, seperti meningkatnya suhu di Arktika yang menyebabkan mencairnya es dan melemahkan pergerakan angin kuat dari arah barat.
Berdasarkan laporan penelitian yang dipublikasikan di Nature pada 2016 oleh sejumlah peneliti, bahwa periode ini kondisi badai energi tinggi bisa melanda sebagian besar bumi akibat pemanasan global.
Glikson menyarankan perubahan iklim dapat dihindari, jika emisi karbon dioksida secara diatasi dan kita mengembangkan serta menggunakan teknologi untuk menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer.
“Namun saat ini, aktivitas manusia bisa membuat sebagian besar wilayah Bumi tidak dapat dihuni, sebuah tragedi yang kita buat sendiri,” tutupnya.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Nature,the conversation |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR