Nationalgeographic.co.id – Segenap tim National Geographic Indonesia menyelenggarakan Bincang Redaksi 5: Cerita Sampul dan Selidik Edisi Mei 2020, pada Sabtu (2/5/2020) via aplikasi Zoom. Pada kesempatan kali ini, kami berbagi cerita mengenai konten majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2020, mulai dari “Penyanitasi Tangan dari Bahan Rumahan”, “Perisai Diri Kala Menelusuk Pagebluk”, hingga “Beranjak Dewasa Bersama Autisme”
Selain itu, Bincang Redaksi kelima ini juga membahas lebih jauh tentang “Kiamat Serangga” yang menjadi topik utama pada edisi Mei 2020. Berangkat dari kisah feature “Ke Mana Lenyapnya Semua Serangga?” yang diceritakan oleh Elizabeth Kolbert dan fotografer David Liittshwager, populasi serangga diketahui menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pestisida diduga menjadi faktor penyebabnya.
Baca Juga: DARI EDITOR: Kiamat Serangga dalam Linimasa Perkembangan Kota
Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, menyampaikan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Antroposen, di mana salah satu cirinya adalah bagaimana manusia memiliki dampak besar bagi keberlangsungan hidup planet ini, termasuk serangga.
“Kini, muncul tanda-tanda kemusnahan global jika manusia tidak mengubah perilaku atau cara hidupnya ketika berdampingan dengan spesies-spesies yang ada di Bumi,” kata Didi.
Ia menambahkan, karena serangga merupakan makhluk kecil, banyak dari kita yang terkesan meremehkannya. Dan tanpa disadari, populasi serangga menghilang dengan cepat, padahal masih banyak yang belum dipelajari.
“Beberapa peneliti bahkan mengatakan ini sebagai ‘sains putus asa’, karena kita belum sempat mengetahui spesiesnya, tapi mereka keburu menghilang. Masih ada sekitar 5 juta lagi yang belum diketahui,” papar Didi.
Untuk melengkapi kisah tentang serangga dan nasibnya kini, National Geographic Indonesia menggunakan sampul kupu-kupu Graphium codrus yang dikoleksi saat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melakukan penelitian di Weda, Maluku Utara, pada 2010.
Djunijanti Peggie, Peneliti Kupu-kupu Museum Bogoriense, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menjelaskan bahwa spesies ini biasa ditemukan di Sulawesi, Maluku dan Papua. Di luar Indonesia, ia kerap berada di Filipina, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Namun, keberadaannya di pulau-pulau kecil sulit ditemui.
Peggie mengatakan, kupu-kupu Graphium codrus sebenarnya bukan spesies endemik Indonesia, tidak terancam punah, juga tidak langka. Namun, faktanya, hanya ada 21 spesimennya di Museum Zoologi Bogor. Apa artinya?
“Untuk spesies yang tidak masuk ke dalam ketiga kategori di atas, angka tersebut mengejutkan karena sangat sedikit,” ungkap Peggie yang turut menjadi pembicara pada Bincang Redaksi 5: Cerita Sampul dan Selidik Edisi Mei 2020.
Menurut Peggie, kupu-kupu Graphium codrus bahkan tidak masuk ke dalam ‘daftar merah’ International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Seharusnya sebagai spesies yang tidak terancam, dia bisa kita temukan di mana-mana, tapi nyatanya tidak. Tidak masuk daftar merah IUCN, bukan berarti spesies tersebut aman,” papar peneliti kupu-kupu pertama di Indonesia ini.
Peggie setuju bahwa dengan tujuh milyar penduduk, manusia ‘beradu’ dengan penghuni lain di Bumi sehingga habitat serangga pun perlahan berkurang—tergerus pembangunan perumahan atau alih fungsi lahan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, tapi di sisi lain juga menjadi kesempatan untuk lebih peduli dan memperlambat laju kepunahan serangga.
Dari sisi peneliti sendiri, Peggie dan rekan-rekannya berusaha mendata serangga yang ada di Bumi. Dan berkat teknologi, mereka kini juga mulai mendigitalisasi spesimen. “Sebelum bisa bilang apa saja yang hilang, kita harus tahu dulu apa yang kita punya saat ini. Oleh sebab itu, pendataan sangat penting,” pungkasnya.
Di akhir acara, Didi kembali mengingatkan agar kita mengubah perilaku dan mencoba lebih memperhatikan serangga-serangga yang ada di sekitar. Mungkin dengan mendokumentasikanya kemudian mengunggah ke media sosial agar lebih banyak orang akhirnya peduli dengan keberadaan makhluk ini.
Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, menambahkan, selama ini serangga dalam kehidupan sering dinarasikan sebagai hama. Dalam film pun, mereka diidentifikasikan sebagai monster atau kekuatan jahat. Padahal, serangga memiliki manfaat yang penting bagi kehidupan manusia.
“Kita punya simbiosis yang menguntungkan dengan serangga. Tanpa mereka, kita tidak bisa makan—tidak ada yang menyuburkan buah dan sayuran. Hal itulah yang sering terlupa. Mari kita mencari narasi terbaru dari serangga,” papar Yoan.
Baca Juga: Serangga Terancam Punah, Ini Saran Ilmuwan untuk Menyelamatkan Mereka
Serangga sendiri termasuk salah satu satwa terawal yang menghuni daratan, lebih dari 400 juta tahun lalu—hampir 200 juta tahun sebelum dinosaurus pertama muncul. Sejarah yang begitu panjang memungkinkan keanekaragaman serangga berkembang seiring waktu.
Setiap saat, diperkirakan ada 10 juta triliun serangga yang terbang, merayap, berbaris, menggali, dan berenang. Serangga melakukan banyak sekali pekerjaan, banyak di antaranya tidak diketahui manusia.
Sekitar tiga perempat dari semua tanaman berbunga mengandalkan penyerbuk serangga. Sebagian besar tanaman buah-buahan, dari apel hingga semangka, membutuhkan penyerbuk serangga.
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR