Nationalgeographic.co.id—Sejak Era Pencerahan sampai ke pucuk-pucuk gunung api di negeri kita, cerita tentang gunung seakan tiada habisnya. Kelindan sains dan gunung pun menghasilkan banyak temuan ilmiah.
Heinrich Zollinger, ahli botani asal Swiss. Dia tinggal di sebuah vila pedesaan Tjikoja—kini Cikuya—Karesidenan Banten. Dia menjadi peneliti pertama yang berani berjejak di Tambora pada 1847. Artinya, tiga dasawarsa setelah letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.
Dia ditunjuk Kerajaan Belanda sebagai kolektor tanaman resmi di Hindia Belanda. Tugasnya melakukan ekspedisi ilmu pengetahuan. Koleksi herbariumnya telah tersebar di berbagai herbarium di Swiss dan Prancis. Namun, koleksi utamanya kini disimpan di Nationaal Herbarium Nederland di Universiteit Leiden dan Utrecht.
Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara
Zollinger demam hebat saat melakukan ekspedisi di Kandangan, sebuah desa di lereng tenggara Gunung Tengger, Jawa Timur. Dia tarjangkit malaria —salah satu ancaman terbesar penjelajah abad ke-19—kemudian tewas di desa tersebut pada 19 Mei 1859. Ketika itu usianya 41 tahun.
Kini, namanya dikenang dalam sebuah plakat di Botanischer Garten Zürich (Kebun Botani Zurich), Swis. Beberapa nama tumbuhan di Indonesia mengabadikan namanya. Sebagai contoh, dua dari seratusan tanaman obat yang digunakan penduduk sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah Flacourtia rukam Zollinger & Moritzi dan Schismatoglottis rupstris Zollinger & Moritzi.
Dalam penjelajahannya sekitar sepuluh tahun di Hindia Belanda, Zollinger telah memberikan lebih dari 270 spesimen. Lebih dari 20 spesies tanaman, rumput laut dan jamur menggunakan nama "zollingerii" sebagai bagian penamaan Latin. Sebuah sumbangan besar dan bermanfaat kepada ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Bagaimana Manusia Selamat Dari Letusan Gunung Berapi Toba Purba?
Indonesia adalah negeri dalam untaian gunung api. Sederet pendaki kawakan menjadikan gunung laksana guru—sains ancala. Bagi mereka gunung mengajarkan ilmu pendakian, kegunungapian, pengelolaan perjalanan, dan ilmu pelestarian.
Sepuluh tahun lalu saya mendapat penugasan dari Editor in Chief Yunas Santhani Azis. Saat itu saya baru bertugas dua bulan sebagai jurnalis di National Geographic. Tugasnya, mewawancarai salah satu legenda pendaki gunung dan panjat tebing Indonesia. Saat itu saya baru dua bulan berkarya sebagai jurnalis di majalah bingkai kuning ini.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR