Nationalgeographic.co.id - Setiap musim panas, warga Jepang merayakan Festival Obon untuk menyambut kembalinya arwah leluhur ke Bumi.
Kepercayaan tentang adanya ikatan antara yang hidup dan mati telah berakar sejak zaman kuno. Namun, sebagian besar ahli sepakat bahwa perayaan ini dilakukan berdasarkan sutra Buddha Urabon-kyō.
Menurut kitab tersebut, salah satu murid Buddha menemukan ibunya tinggal di Realm of Hungry Ghosts, tempat di mana para arwah menderita kelaparan dan haus yang tak terpuaskan di akhirat.
Sang Buddha lalu memerintahkan murid tersebut untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi orangtuanya yang telah meninggal, dan mengirim persembahan kepada para biksu di tanggal 15 bulan ketujuh.
Baca Juga: Makna Semboyan Liberté, Egalité, Fraternité dalam Budaya Prancis
Bentuk rasa syukur dan rasa hormat ini, dipercaya bisa membebaskan roh dari siksaan kekal yang mereka hadapi.
Mengikuti petunjuk sutra, saat ini, semua anggota keluarga di Jepang kembali ke rumah lahir mereka antara Juli dan Agustus, untuk melaksanakan serangkaian ritual dan perayaan Obon.
Ini dilakukan untuk menghormati mereka yang telah meninggal. Juga untuk membebaskan arwah-arwah gelisah, seperti hantu lapar, dari penderitaan mereka.
Perayaan yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut, biasanya dimulai dengan mukaebi, menyalakan api dan lentera untuk memandu roh pulang ke rumah.
Meskipun perayaan di satu wilayah dan yang lainnya bisa sangat beragam, namun kebanyakan keluarga memiliki dua shōryō-dana -- altar berisi buah, dupa, dan bunga. Satu shōryō-dana untuk para leluhur, dan sisanya untuk para arwah yang belum menemukan kedamaian.
Ritual lain yang juga dilaksanakan adalah ohakamairi, yakni membersihkan dan menghias makam leluhur, menyampaikan doa di kuil, serta menyiapkan makanan khusus.
Bon Odori, tarian warga setempat, adalah ciri khas festival Obon. Gerakannya sangat simpel sehingga siapa pun bisa berpartisipasi.
Para penari biasanya mengenakan kostum tokoh cerita rakyat dan wajahnya dilukis dengan cat. Mereka lalu membentuk lingkaran di sekitar panggung dan menari diiringi drum taiko.
Baca Juga: Kain Berang yang Mengikat di Kepala, Tanda Kedewasaan Suku Huaulu
Malam terakhir festival Obon ditutup dengan okuribi, cahaya api unggun dan lentera terbang sebagai cara untuk mengucapkan selamat tinggal pada roh.
Kemunculan festival Obon pertama, tercatat pada periode Asuka. Namun, kemungkinan mulai dipopulerkan pada abad ke-12, seiring dengan semakin berkembangnya agama Buddha.
Source | : | Gulnaz Khan/National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR