Nationalgeographic.co.id—Banyak memoar atau catatan harian tentang Perang Asia Timur Raya. Kisah jalannya pertempuran telah ditulis dan didiskusikan dalam forum internasional hingga komunitas kota. Namun, sedikit yang mendiskusikan tentang korban perang—khususnya untuk perempuan.
Selama propaganda pendudukan Jepang di Indonesia, ribuan perempuan dihimpun sebagai Jugun Ianfu. Penghimpunan ini terjadi di penjuru kepulauan, baik di kota besar maupun di pelosok desa. Dari cara halus sampai pendekatan kekerasan.
“Ianfu” adalah istilah untuk perempuan korban praktik sistem perbudakan seksual oleh militer Jepang selama Perang Asia Timur Raya. Sebutan ini mengalami arti yang khusus. Tidak hanya mereka yang ditempatkan dalam “ianjo” atau markas kamp praktik sistem perbudakan seksual—bordil khusus militer Jepang—melainkan di banyak tempat tak resmi di luar ianjo.
Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki
Kendati Perang Asia Timur Raya telah berakhir sejak 75 tahun silam, lara dan nestapa para penyintas “ianfu” masih menganga. Mereka membawa luka dan kesengsaraan hidup semenjak kanak-kanak, tua renta, hingga tutup usia.
Pada akhir pekan ini kita akan membicarakan apakah “ianfu” merupakan sebuah sistem yang sengaja dibentuk militer Jepang atau “kecelakaan” dalam suasana perang? Semenjak kapan militer Jepang menerapkan praktik ini? Bagaimana suasana ianjo dan tata cara tamu-tamunya? Mengapa National Geographic Indonesia menggunakan judul dalam ejaan lama dalam kisah feature “Nona Djawa”?
EkaHindra dan Rahmad Azhar Hutomo akan menuturkan juga kisah di balik layar penugasan “Nona Djawa”—sebuah kisah feature yang dipersiapkan sejak 2,5 tahun silam. Kita juga akan menyimak kisah Ekahindra, yang meneliti “ianfu” di Indonesia selama dua dasawarsa. Dia memiliki catatan kisah hidup korban-korban “ianfu” sampai akhir hayatnya.
Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Perang selalu membutuhkan pengorbanan dari pihak-pihak yang bertikai. Namun, perempuan dan anak-anak tak berdosa pun selalu terseret dalam pusaran korban perang. Kita berhutang kepada rahim-rahim mereka yang telah berani menjalani hidup di atas sejarah yang pahit. Jangan pernah lagi terjadi perang.
National Geographic memberikan apresiasi Best Edit untuk kisah feature “Nona Djawa” yang terbit di National Geographic Indonesia pada Agustus 2020. Apresiasi ini diberikan kepada tiga edisi selain bahasa Inggris lainnya.
"A feature with haunting images by Rahmad Azhar Hutomo chronicles some of the few remaining survivors. […] The photography is powerful and black and white approach helps convey sense of sadness and loss." —Darren Smith, Deputy Editorial Director for International Edition
Silakan mendaftar via pranala bit.ly/bincangredaksi13 untuk menjadi bagian acara ini.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR