Binatang lainnya, terutama jenis kucing besar, berjalan bolak-balik di kandang mereka. Gajah menggesek atau merusak gading mereka sendiri.
Penelitian neurosains menemukan bahwa hidup di dalam lingkungan kurungan yang serba berkekurangan dan memicu stres, merusak otak secara fisik.
Perubahan ini ditemukan pada banyak spesies, termasuk tikus, kelinci, kucing, dan manusia.
Walaupun banyak peneliti telah mempelajari otak binatang secara langsung, sebagian besar pengetahuan tentang otak berasal dari mengamati perilaku binatang, menganalisis tingkat hormon stres di dalam darah, dan mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan dari penelitian neurosains setengah abad.
Penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa mamalia di dalam kebun binatang atau akuarium memiliki gangguan fungsi otak.
Tinggal di dalam lingkungan sempit dan kosong tanpa stimulasi intelektual atau kontak sosial yang cukup tampaknya menipiskan cerebral cortex – bagian otak yang berkontribusi dalam gerakan tubuh yang dilakukan secara sadar dan fungsi kognitif yang lebih tinggi, termasuk memori, perencanaan, dan pengambilan keputusan.
Terdapat juga konsekuensi lainnya.
Kapiler menyusut, mengurangi pasokan darah dengan oksigen yang kaya di otak yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Neuron menjadi lebih kecil, dendirit neuron – cabang yang membentuk koneksi dengan neuro lainnya – menjadi lebih tidak kompleks, mengganggu komunikasi di dalam otak.
Akibatnya, neuron kortikal pada binatang penangkaran memproses informasi dengan lebih tidak efisien dibanding binatang yang hidup di lingkungan yang kaya dan lebih alami.
Kesehatan otak juga terpengaruhi oleh area hidup yang sempit dan tidak memungkinkan untuk bergerak.
Aktivitas fisik meningkatkan aliran daerah ke otak; otak membutuhkan jumlah oksigen yang banyak.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR