Nationalgeographic.co.id - Hanako, seekor gajah betina Asia, tinggal lama di dalam kandang beton kecil di kebun binatang Inokashira Park di Jepang.
Di alam liar, gajah tinggal dengan berkelompok, dan memiliki ikatan keluarga yang dekat. Pada dekade terakhir masa hidupnya, Hanako hidup sendiri.
Kiska, seekor orca (paus pembunuh) betina muda, ditangkap pada 1978 di pantai Islandia dan dibawa ke akuarium dan taman bermain Marineland di Kanada.
Orca adalah binatang sosial yang tinggal bersama keluarga dalam kelompok yang anggotanya bisa mencapai 40 orca, tapi Kiska telah tinggal sendirian di dalam akuarium kecil sejak 2011.
Kiska melahirkan lima anak, semuanya mati muda.
Untuk meredam stres dan rasa bosan, Kiska berenang lambat, berputar-putar tiada akhir, dan menggigiti kolam betonnya hingga giginya hancur.
Sayangnya, ini situasi umum pada mamalia besar yang dikurung di dalam industri “hiburan”.
Selama beberapa dekade mempelajari otak manusia, gajah Afrika, paus bungkuk, dan mamalia besar lainnya, saya menemukan bahwa otak memiliki sensitivitas tinggi terhadap lingkungan, termasuk ada dampak serius pada struktur dan fungsi otak akibat tinggal dalam kurungan.
Mudah bagi kita untuk mengamati kondisi kesehatan keseluruhan dan dampak psikologis dari hidup dalam kurungan terhadap binatang-binatang ini.
Banyak gajah dalam kurungan yang menderita karena radang sendi, obesitas, atau masalah kulit. Gajah dan orca seringkali memiliki masalah gigi yang parah. Orca dalam kurungan sering menderita pneumonia, penyakit ginjal, penyakit gastrointestinal dan infeksi
Banyak binatang mencoba untuk bertahan di dalam penangkaran dengan melakukan perilaku abnormal.
Beberapa memiliki perilaku “stereotipe” yang repetitif, kebiasaan tanpa tujuan seperti mengungkat-ungkit kepala mereka terus-menerus, bergoyang tanpa henti atau menggigiti jeruji kandang mereka.
Binatang lainnya, terutama jenis kucing besar, berjalan bolak-balik di kandang mereka. Gajah menggesek atau merusak gading mereka sendiri.
Penelitian neurosains menemukan bahwa hidup di dalam lingkungan kurungan yang serba berkekurangan dan memicu stres, merusak otak secara fisik.
Perubahan ini ditemukan pada banyak spesies, termasuk tikus, kelinci, kucing, dan manusia.
Walaupun banyak peneliti telah mempelajari otak binatang secara langsung, sebagian besar pengetahuan tentang otak berasal dari mengamati perilaku binatang, menganalisis tingkat hormon stres di dalam darah, dan mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan dari penelitian neurosains setengah abad.
Penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa mamalia di dalam kebun binatang atau akuarium memiliki gangguan fungsi otak.
Tinggal di dalam lingkungan sempit dan kosong tanpa stimulasi intelektual atau kontak sosial yang cukup tampaknya menipiskan cerebral cortex – bagian otak yang berkontribusi dalam gerakan tubuh yang dilakukan secara sadar dan fungsi kognitif yang lebih tinggi, termasuk memori, perencanaan, dan pengambilan keputusan.
Terdapat juga konsekuensi lainnya.
Kapiler menyusut, mengurangi pasokan darah dengan oksigen yang kaya di otak yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Neuron menjadi lebih kecil, dendirit neuron – cabang yang membentuk koneksi dengan neuro lainnya – menjadi lebih tidak kompleks, mengganggu komunikasi di dalam otak.
Akibatnya, neuron kortikal pada binatang penangkaran memproses informasi dengan lebih tidak efisien dibanding binatang yang hidup di lingkungan yang kaya dan lebih alami.
Kesehatan otak juga terpengaruhi oleh area hidup yang sempit dan tidak memungkinkan untuk bergerak.
Aktivitas fisik meningkatkan aliran daerah ke otak; otak membutuhkan jumlah oksigen yang banyak.
Olahraga meningkatkan produksi koneksi baru dan meningkatkan kemampuan kognitif.
Di habitat alami, binatang-binatang ini harus bergerak untuk bertahan hidup, menempuh jarak yang jauh untuk mencari makan, atau menemukan pasangan.
Gajah biasanya bergerak sejauh sekitar 24 kilometer (km) hingga 190 km per hari. Di kebun binatang, jarak yang mereka tempuh hanya sekitar 5 km per hari secara rata-rata, seringkali berjalan bolak-balik di kandang yang kecil.
Seekor orca bebas yang dipelajari di Kanada dapat menempuh jarak hingga 250 km per hari; sementara itu, rata-rata akuarium orca luasnya hampir 10.000 kali lebih kecil dibandingkan tempat tinggal alaminya.
Tinggal di kandang yang sempit atau tidak memungkinkan perilaku normal mengakibatkan terjadinya frustasi kronis dan kebosanan.
Di alam liar, sistem yang merespons stres pada binatang membantu mereka untuk kabur dari bahaya.
Namun, kurungan menjebak binatang-binatang menjadi hampir tidak dapat memegang kendali sama sekali akan lingkungan mereka sendiri.
Situasi seperti ini menumbuhkan perilaku ketidakberdayaan, dan secara negatif mempengaruhi hipokampus - yang mengontrol fungsi memori, dan amigdala - yang memproses emosi.
Stres yang berkepanjangan menaikkan hormon stres dan merusak, bahkan membunuh neuron pada kedua bagian otak.
Hal ini juga mengganggu keseimbangan serotonin yang sensitif, neurotransmitter yang menstabilkan mood, dan fungsi-fungsi lainnya.
Pada manusia, kekurangan asupan bisa memicu masalah psikiatrik, kegelisahan, gangguan mood atau post-traumatic stress disorder (PTSD).
Gajah, orca, dan binatang lainnya dengan otak yang besar, cenderung bereaksi dengan cara yang mirip terhadap kehidupan di lingkungan yang memicu stres.
Kurungan dapat merusak sirkuit otak yang kompleks, termasuk basal ganglia.
Kelompok neuron ini berkomunikasi dengan korteks serebral melalui dua jaringan: jalur langsung yang meningkatkan pergerakan dan perilaku, dan jalur tidak langsung yang menghambat.
Perilaku stereotip repetitif yang dilakukan banyak binatang dalam kurungan disebabkan oleh ketidakseimbangan di antara dua neurotransmitter, dopamin, dan serotonin.
Ketidakseimbangan tersebut menghambat kemampuan jalur tidak langsung untuk memodulasi pergerakan, kondisi yang juga ditemukan pada banyak spesises, dari ayam, sapi, kambing, dan kuda, hingga primata dan kucing besar.
Evolusi telah menyebabkan otak binatang menjadi sangat responsif terhadap lingkungan mereka.
Reaksi ini bisa berdampak pada fungsi neural dengan mengaktifkan atau menonaktifkan gen yang berbeda.
Hidup dalam lingkungan yang tidak layak atau abusif mengubah proses biokimia. Hal ini mengganggu sintesis protein yang membangun koneksi di antara sel otak dan neurotransmitter yang memfasilitasi komunikasi di antara keduanya.
Ada bukti kuat yang menunjukkan pengayaan asupan, kontak sosial, dan ruang yang layak pada tempat kurungan yang lebih alami dibutuhkan untuk binatang-binatang berumur panjang dengan otak yang besar seperti gajah dan mamalia air.
Kondisi yang lebih baik mengurangi perilaku stereotipe yang mengganggu, meningkatkan koneksi di otak, dan memicu perubahan neurokimia yang meningkatkan kemampuan belajar dan memori.
Beberapa pihak berpendapat mengurung binatang itu penting karena membantu usaha menjaga spesies yang terancam punah atau menawarkan keuntungan edukasi untuk pengunjung kebun binatang dan akuarium.
Justifikasi ini patut dipertanyakan, terutama bagi mamalia besar.
Penelitian saya dan hasil penelitian dari peneliti yang lain menunjukkan bahwa mengurung mamalia besar dan mempertontonkan mereka adalah tindakan yang tidak dapat dipungkiri kejam dari perspektif saraf.
Kurungan menyebabkan kerusakan otak.
Persepsi publik terkait pengurungan hewan sedang berubah secara perlahan, seperti yang ditunjukkan dari reaksi terhadap film dokumenter Blackfish
Untuk binatang yang tidak bisa bebas, ada beberapa tempat perlindungan yang dibangun dengan baik. Beberapa sudah ada untuk gajah dan mamalia besar lainnya di Tennessee, dan California Utara, Amerika Serikat; dan di Brazil.
Lainnya sedang dikembangkan untuk mamalia air yang besar.
Mungkin masih belum terlambat untuk Kiska.
Penulis: Bob Jacobs, Professor of Neuroscience, Colorado College
Dr. Lori Marino, Presiden Whale Sanctuary Project dan mantan dosen senior di Emory University, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR