Nationalgeographic.co.id—Kotak mungil berisi mainan mobil brandweer berwarna merah, lengkap dengan tangga penyelamatnya, dibingkiskan istimewa untuk saya di hari ulang tahun keenam. Ucapan selamat dan senyum girang pun berbalasan. Ah, masa kanak-kanak yang indah.
Lebih dua puluh lima tahun kemudian kenangan itu muncul. Saya terjaga bahwa keadaan kota tempat saya tinggal semakin menggelisahkan seiring banyaknya raungan sirene dan deru mobil-mobil pemadam kebakaran menunaikan darmanya. Sudah menjadi hal yang tak lagi garib di kota berkepadatan penduduk tertinggi di Indonesia ini jika jago merah bertubi-tubi mencekam warga.
Tatkala teriknya surya di Jatibaru awal tahun ini, seorang nenek berteriak-teriak minta tolong karena api telah berkobar hebat di atap rumah semipermanennya. Jilatan api pun dengan cepat menyambar atap rumah tetangganya. Bencana di pemukiman kumuh nan padat itu adalah kebakaran ketiga dari lima kejadian bencana kebakaran yang memberangus Jakarta hari itu.
Laporan kejadian kebakaran diterima oleh Kepala Regu Pos Jatibaru, Robert Leonard Mongdong (43). Lelaki peranakan Manado itu lalu meneruskan informasi melalui radio komunikasi ke Kantor Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Damkar-PB)Jakarta Pusat. “Ada berita dari orang Dishub yang melapor ke pos, terjadi jaya-enam-lima di belakang Hotel Pharmin! Laporan dari sepuluh-satu-sebelas-dua!” Leonard mengabarkan dengan kode sandi radio pemadam kebakaran. “Luncurkan!” terdengar balasan singkat dari seberang.
Bersama dua rekannya, Leonard bergegas menuju mobil pompa “172”. Sirene mobil merah berlogo bintang bersudut tiga dengan deru kapasitas mesin 5958 cc seketika memecah kemacetan lalu lintas kawasan Tanah Abang. Mereka harus sampai ke lokasi secepat mungkin untuk mencegah api merembet ke pemukiman di sekitarnya. Jarak lintasan tak lebih dari satu kilometer ditempuh kurang dari sepuluh menit.
“Sebelas-dua ada di mana? Sebelas-dua ada di mana?” terdengar pertanyaan di radio komunikasi. “Sudah sampai lokasi! Asap tebal! Minta tujuh-enam!” balas Leonard memohon tambahan unit bantuan. “Delapan-enam! Delapan-enam!” balas pusat radio komunikasi pertanda telah mengerti dan permohonan bantuan segera diteruskan ke beberapa pos terdekat.
Pintu mobil terbuka, sepatu bot tiga petugas pemadam menjejak di tanah berdebu. Gulungan selang mulai dikeluarkan. Leonard dan seorang petugas masuk tergopoh-gopoh ke lorong sempit dengan membawa selang, mendekati rumah yang sedang terbakar.
Sebagai unit yang datang pertama kali, mereka harus berpisah membagi tugas. Leonard melakukan pemadaman dari sisi depan dengan memanjat atap teras sebuah rumah, sedangkan petugas lain dari sisi belakang melalui tangga dalam salah satu rumah. Beberapa warga yang terbagi dua kelompok membantu petugas mengarahkan nozzle (kepala selang).
Leonard tertegun memperhatikan warga, yang biasanya susah sekali diatur, hari itu bisa berpadu dengan para petugas. Di lain hari, selang yang belum terpasang di mobil pompa kadang menjadi rebutan warga. Mereka membabi buta merebut selang demi mengamankan rumahnya sendiri. Namun, hari itu warga berpadu memadamkan api bersama petugas pemadam dan bala sukarelawan yang dibentuk khusus untuk mengantisipasi terjadinya bencana.
Sementara itu, sirene tanda bahaya membetas keheningan di pos-pos pemadam penjuru Jakarta Pusat. Di Suku Dinas Damkar-PB Jakarta Pusat, sebagian petugas masih beristirahat usai makan siang. Wahyudi (27) yang sedang bermain tenis meja menyegerakan panggilan tugasnya. Lelaki muda yang telah bertugas enam tahun itu berlari menuju barak untuk mengambil jaket tahan panasnya. Lalu bersama teman satu regunya berlari mengejar mobil penyedot “194” tempatnya bekerja. Dalam mobil itulah helm, sepatu bot, dan peralatan telah tersimpan siap.
Rampaknya iring-iringan tersendat oleh sumpeknya kemacetan di persimpangan. Meski suara tanda kondisi darurat meraung, tampaknya pengguna jalan tetap angkuh, menepi pun enggan. Seorang petugas pemadam lengkap dengan helm putih dan jaket oranye turun dari mobil untuk mencairkan keangkuhan pengguna jalan. Lambaian tangannya mengisyaratkan kepada kendaraan di depan konvoi untuk segera melaju, sedangkan dari arah lainnya diminta berhenti.
Unit-unit mobil pemadam berbagai penjuru kota serentak memadati pinggiran jalan raya Jatibaru. Wahyudi dan mobil unitnya bersiaga di bantaran sungai. Mereka siap menyedot air sungai apabila pasukan di depan mulai kekurangan air. Air memang bagai peluru bagi pemadam, tanpanya pekerjaan mereka akan sia-sia.
Para pemadam tidak bisa mengandalkan hidran karena alat tersebut tak menjangkau pemukiman padat nan kumuh seperti kasus kebakaran kali ini. Di sisi lain, jumlah hidran di Jakarta sangat jauh dari memadai, hanya 1.424 unit dari jumlah ideal 20 ribu unit. Dari jumlah hidran yang ada hampir separuhnya rusak. Bahkan dari hidran yang masih berkondisi baik, petugas pemadam tak bisa menjamin kelancaran airnya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR