Solihin bersyukur, kini ia sudah kembali hidup sehat seperti sediakala. Pengalaman itu tak menyurutkan niatnya untuk kembali bertugas menjadi pemadam. ”Jujur saja, saya lebih suka ditugaskan di pasukan pemadam, senang membantu sesama meski nyawa taruhannya,” ujar lelaki yang kini dipindahkan ke staf bidang sarana.
Nyaris tewas dalam darma membuat Solihin menjadi salah satu petugas yang cukup beruntung. Dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah enam orang petugas gugur dalam tugas. Sebagian besar dari mereka gugur ketika proses pendinginan setelah kobaran api berhasil dikuasai.
Mata berkaca-kaca selalu tampak di wajah seorang ibu ketika memandangi lemari yang memajang perlengkapan dinas almarhum putra tersayang, Sulistiyo Putranto. Lemari kaca itu diletakkan di teras rumah supaya siapa saja bisa menyaksikan dan mengenang laga terakhir Uwis, panggilan akrab Sulistiyo. Di dalamnya terdapat lukisan wajah almarhum, buku, kliping koran yang memuat berita tentang tragedi almarhum, seperangkat kemeja dinas lapangan, baret, jaket oranye khas pemadam yang tahan panas, helm, sepasang sepatu bot dan sepatu karet pemadam yang terakhir dipakai Uwis.
Upacara pemakaman Uwis dihadiri handai taulan hingga pejabat pemerintah DKI Jakarta. Jenazahnya diberangkatkan usai upacara penghormatan arwah yang diiringi lolongan nelangsanya terompet dan derap snare drum Korps Musik Pemadam Kebakaran. Kelabunya langit Jakarta dan layunya bunga wijayakusuma siang itu mengiringi Sang Ksatria Biru ke peristirahatan terakhirnya lebih setahun lalu.
Mendiang Uwis adalah anak laki-laki satu-satunya buah kasih pasangan Titin Sunarsih (47) dan Soegeng Warsoredjo (59). ”Yang namanya anak memang ngga bisa dilupain”, kata Titin di tengah isaknya. Sampai saat ini, perempuan ini mencoba untuk ikhlas. Sejak kecil Uwis memang bercita-cita mengikuti jejak ayahnya. ”Waktu kecil, sering pakai sepatu dinas bapaknya, ingin jadi pemadam seperti bapaknya,” kenang Titin yang dibesarkan di asrama pemadam.
Lelaki yang dikenal pendiam, sopan, dan suka menolong itu gugur di usia 24 tahun ketika sebuah bangunan semipermanen berlantai tiga di sebuah perkambungan kumuh Tambora runtuh menimpanya. Ayahnya yang melihat kondisi Uwis di lokasi kejadian tak kuasa menahan tangis. ”Pelipis terbakar, kepala memar, dan helm belakang pecah,” kenang Soegeng sedih.
Saat gugur Uwis telah mengabdi lima tahun, atau tepat empat bulan sebelum pengangkatannya menjadi CPNS. Sebagai pemadam dengan status pegawai tidak tetap, Uwis tidak mendapatkan tunjangan risiko tinggi dan santunan kecelakaan bila gugur dalam darmanya. Beruntung, ayahnya telah melindungi semua anggota keluarga dengan asuransi jiwa yang dikelola perusahaan swasta.
Sebelum Uwis gugur, dialah tulang punggung keluarga. Kini untuk menjaga kepulan asap dapur, setiap Selasa dan Jumat dini hari Titin dan anak perempuannya berbelanja kue-kue di Pasar Kue Subuh Senen untuk konsumsi senam pagi pegawai dinas. ”Alhamdulillah mereka masih memercayakan kepada saya,” ucap syukur dari bibir Titin.
Soegeng, ayah Uwis adalah pensiunan staf pemadam kebakaran. Karirnya berawal dari pasukan pemadam Sudin Jakarta Pusat pada 1972. Kini sehari-hari Soegeng bertugas sebagai pegawai kebersihan halaman Kantor Dinas Pemadam DKI Jakarta.
Meski Soegeng sudah pensiun, ia dan keluarganya masih diizinkan Kepala Dinas untuk tetap tingal di asrama. Sejatinya asrama hanya diperuntukkan bagi mereka yang masih bekerja.
Banyak pihak yang bersimpati atas gugurnya putra mereka. Suatu hari keluarga Soegeng dikunjungi pasangan muda keturunan Tionghoa dan satu anak mereka yang masih TK. Keluarga muda itu menawarkan bantuan pengangkutan gratis jika keluarga Soegeng berencana pindah rumah. Tampaknya anak pasangan tersebut bersama teman-teman sekolahnya pernah berkunjung ke Kantor Dinas untuk mengenal mobil-mobil pemadam. ”Mungkin Uwis pernah mengajak anak mereka berkeliling dengan mobil unitnya”, tutur Titin sambil mengusap mata sembabnya.
Namun ada pula yang berikhlas hati memberi bantuan tanpa ingin disebut jati dirinya. Setiap bulan penderma misterius itu selalu memberikan bantuan keuangan kepada keluarga Soegeng. ”Pernah saya tanya dari siapa, dia tak mau menyebutkan nama pendermanya”, pungkas Titin haru.
Kala kaki langit timur memerah, Samino (55) menawarkan teh panas dan sekerat roti penghalau kantuk kepada saya usai piket malam. Kami duduk di hamparan halaman depan kantor suku dinas yang masih basah lantaran hujan semalam. Dua orang petugas piket bersiap melangkah tegap untuk pengibaran bendera Merah Putih.
Empat bulan lagi Samino masuk masa pensiun. Cita-citanya selepas pensiun sangat bersahaja. Ayah tiga anak ini berencana pulang ke kampung halamannya di Wates, Jawa Tengah, untuk mengelola pertanian dan peternakan keluarga. Ia berharap hasil panen padi dua kali dalam setahun dan panen palawija kelak bisa menghidupi keluarganya. “Anak saya yang pertama sudah kerja, satunya baru lulus STM, nah yang ketiga ini baru masuk SD,” tutur Samino sambil menghirup uap teh panasnya.
Masa pensiun adalah suatu kepastian. Ada yang merasa masa itu datang terlalu cepat. Namun ada juga yang menyikapinya dengan optimis dan menata hati atas penghasilan yang lebih kecil. Sutrisno (54) akan memasuki masa pensiun tahun depan. ”Saya menikmati pekerjaan ini dengan tulus, tanpa mengharapkan jabatan. Manis rasanya jika kita bisa bekerja dengan tulus”, ujar lelaki yang meniti karirnya sejak 1977. Ia percaya bahwa hasil dari ketulusannya dalam bekerja adalah kunci sukses mendidik anak dan mengantarkan mereka ke jenjang keluarga.
Kini Komandan pleton Kompi C ini menyadari usianya memang sudah cukup untuk istirahat. Kondisi raganya sudah rapuh, namun ia menyikapi apa adanya dengan rasa optimis. Sutrisno akan mengisi waktu pensiunnya dengan melanjutkan bisnis mobil di bawah harga enam puluh juta. Bisnis yang sudah dirintisnya sejak beberapa tahun lalu. ”Sampingan boleh-boleh aja asal tidak mengganggu dinas,” ujarnya sambil menyeringai.
Di akhir masa darmanya ini Sutrisno bersyukur kehidupannya jauh lebih baik. Kadang ia teringat keadaan sulit ketika masa awal menjadi pemadam. ”Saya selalu punguti ceceran beras dari truk gudang logistik, dikumpulkan, lalu dibersihkan untuk kita makan bersama,” pungkasnya sambil menunduk.
Korps Musik Damkar adalah legenda yang hidup. Suatu kebanggaan bagi mereka yang berkarya di dalamnya. Sejarahnya, salah satu korps musik tertua di Indonesia ini adalah warisan Hindia Belanda. Delapan belas pemusik dalam ”Barisan Pemadam Kebakaran” inilah yang menyambut pesawat DC-3 yang membawa Soekarno dari Jogjakarta di Bandara Kemayoran akhir Desember 1949.
Selain bertugas mengiringi upacara-upacara di lingkungan pemerintah DKI Jakarta, korps ini didirikan untuk memberikan hiburan musik bagi anggota pemadam supaya kecintaannya kepada institusi ini tetap terjaga. Sebagai korps musik milik pemadam kebakaran, mereka juga harus siap apabila dibutuhkan tambahan bantuan untuk tugas pemadaman dan penyelamatan, seperti bantuan untuk kebakaran besar Pasar Tanah Abang selama tiga hari tiga malam beberapa tahun silam.
Suatu pagi derap “Mars Pemadam” membahana di gedung sudut asrama. Ruangan musik yang digunakan saat ini sebenarnya jauh dari kondisi memadai. Dinding-dindingnya tak berbalut peredam dan tak berjendela. Hanya dua pintu yang berfungsi sebagai penyalur suara dari ruangan bak kotak resonansi itu. Akibatnya saat mereka berlatih, pantulan suara alat musik yang mereka mainkan menjadi saling tindih.
Korps musik selalu berlatih pada Senin, Rabu, dan Kamis setiap pukul sembilan hingga sebelas siang. “Dua lagu kadang sudah capek, apalagi pegang alat tiup seperti saya,” tutur Dwi Kristianto (34), pemain klarinet yang bergabung sejak empat tahun lalu.
Lembaga ini selalu kekurangan pemain sehingga Dwi dipindah dari pasukan pemadam ke korps musik. Ironisnya, meski Dwi telah menamatkan perguruan tinggi dengan gelar sarjana ekonomi, hanya ijazah SMP-nya yang diakui oleh dinas. ”Saya masih golongan satu di sini, harusnya sudah golongan tiga,” jelas lelaki yang tak mengerti kebijakan di kantornya itu.
Setiap pekerjaan selalu ada risikonya, demikian juga pemusik. Dwi dan beberapa teman pemain alat tiup mengalami gigi goyang. “Seperti saya ini nih,” ujar Dwi sambil menunjukkan tiga gigi serinya yang goyang. Dua temannya yang bermain saksofon alto dan klarinet juga menunjukkan tanda-tanda serupa. Pengaruh jangka panjang bermain alat musik tiup diduga telah memicu tekanan pada rongga mulut dan berdampak pada sistem gigi mereka.
Sebagai petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana, apa pun perlakuan yang mereka terima, semangat untuk menjaga kota ini tetap tak pernah padam. Sekalipun mereka harus membayar dengan nyawa.
(Kisah ini pernah terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2012)
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR