Nationalgeorgraphic.co.id—Sejatinya, masyarakat Nusantara tidak bersifat patriarkis dalam tatanan sosialnya. Justru, menurut sejarawan Peter Carey, Nusantara memiliki kecenderungan perspektif polinesia yang bersifat matriarki. Budaya ini masih berbekas pada praktik yang dilakukan masyarakat Minangkabau dan Aceh.
Bahkan pada masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Arkeolog Titi Surti Nastiti sependapat dengan Carey, bahkan di masa Hindu-Buddha pun perempuan bisa jadi kepala negara. Budaya patriarki justru datang karena dibawa bangsa Eropa—terkhusus Belanda.
Pada abad ke-16, bangsa Eropa datang sekadar berdagang. Kebiasaan berdagang lintas benua hanya dilakukan oleh para laki-laki. Alasannya, iklim yang ekstrem membuat absennya perempuan Eropa, sehingga petualangan hanya dimiliki oleh laki-laki.
Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno
Minimnya perempuan, menurut Fadly Rahman dalam Rijsttaffel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial, membuat adanya anggapan pengelanaan kolonial sebagai budaya membujang bagi laki-laki Belanda. Demi memuaskan hasrat seksual, mereka memilih mengawini perempuan lokal atau pergundikan.
Fika Hidayani dan Isriani lewat Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, pemerintah kolonial pada awalnya membiarkan pergundikan terjadi demi mengontrol moral.
Golongan Indo dari hasil hubungan tak resmi Belanda dengan non Belanda pun memiliki krisis identitas. Ayah mereka yang kembali ke Belanda juga memiliki istri Eropa, sehingga hak asuh mereka terbengkalai. Mereka dapat diasuh atau ditelantarkan begitu saja oleh ayahnya.
Sejarawan University of Leiden, Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda menyebutkan karena minimnya perempuan, pemerintah kolonialisme pada masa awal menginstruksi kaum hawa Eropa dan Indo hanya diperuntukan orang kulit putih.
Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara
Perempuan Indo seringkali ditempatkan ke panti asuhan oleh bapaknya, karena biasa dianggap sebagai 'anak haram'. Melalui panti, mereka dibentuk sedemikian rupa mengenai pemahaman budayanya bergaya Eropa.
“Di rumah-rumah yatim piatu, anak-anak perempuan (Indo) dibesarkan berbahasa Belanda dan mengikuti sopan santun Belanda,” tulisnya. "Inilah salah satu upaya serius Kompeni menjadikan mereka sebagai warga negara Belanda yang layak."
Semudah itu mereka dibuang, semudah itu pula ia dapat diambil oleh ayahnya. Pengadopsian golongan Indo baru sah pada 1828. Tetapi demi menyamarkan atas rasa malu, nama belakangnya disematkan nama bapaknya yang dieja terbalik.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR