Nationalgeographic.co.id – Siberia, terbentang di utara Asia yang kita kenal kini, tak selamanya berupa dataran yang ramah dihuni manusia. Dahulu, sekitar 60.000-70.000 tahun yang lalu, kawasan itu hampir tertutup es seperti Bumi belahan utara lainnya, Eropa dan Amerika Utara.
Karena jaraknya yang begitu luas, para ilmuwan pun bertanya-tanya mengenai seberapa tebal dan bagaimana es memengaruhi sirkulasi aliran laut periode glasial Bumi.
Lewat laporan jurnal Nature 3 Februari 2021, ternyata 150.000 tahun yang lalu es itu berperan untuk membuat Samudra Arktik dan Laut Nordik menjadi perairan tawar. Kedua perairan itu tertutup es setebal 900 meter, yang kemudian secara cepat di akhir periode glasial menjadi asin akibat Samudra Atlantik.
Para ilmuwan dari Alfred Wegener Institute (AWI) dan University of Bremen ini menganalisa komposisi sedimen laut di Samudra Arktik dan Laut Nordik. Berbeda dengan di darat, di laut terdapat jejak es yang luas yang ditemukan sebelumnya. Data temuan penelitian terdahulu kemudian digabungkan dengan data baru untuk diteliti, tulis mereka.
Es yang menutupi Samudra Arktik bertahan sekitar 150.000 hingga 130.000 tahun yang lalu, kemudian terjadi lagi pada 70.000 hingga 60.000 tahun yang lalu. Kedua periode itu membuat air tawar menumpuk di bawah es yang membuat samudra Arktik sangat segar selama ribuan tahun.
"Hasil ini berarti perubahan nyata pada pemahaman kita tentang Samudra Arktik di zaman es,” ucap penulis pertama, Walter Geibert dari AWI, dikutip dari rilis pers. “Sepengetahuan kami, ini pertama kalinya ada temuan Samudra Arktik dan Laut Nordik yang [sempat jadi] tawar untuk diteliti—terjadi tidak hanya sekali, tetapi dua kali.”
Data yang mereka gunakan dalam analisa geologis adalah sepuluh sampel sedimen dan catatan terkait terumbu karang di masa lalu. Dengan demikian para peneliti dapat menggambarkan sejarah iklim glasial, tinggi permukaan laut, dan zat apa saja yang menjadi tawar.
Mereka menulis, isotop thorium-230 sebagai hasil pembusukan alami uranium, tak ditemukan dalam observasi. Padahal, hasil itu merupakan indikator penting sebagai data ‘jam alam’ periode glasial.
“Zat ini [semestinya] terakumulasi di dasar laut, yang mana ia tetap dapat dideteksi untuk waktu yang sangat lama sebab jejak asalnya berusia 75.000 tahun,” ungkap Geibert. “Ketidakhadirannya [hasil zat itu] yang berulang dan tersebar luas adalah bukti yang mengungkapkan kepada kami mengenai apa yang terjadi.”
Menurut tim studi, pola yang berulang itu justru memperkuat bukti bila air tawar telah mengisi Samudra Arktik—baik saat kondisi beku dan cair—dua kali di masa lalu.
Proses menjadi tawarnya samudra Arktik, akibat permukaan laut global yang 130 meter lebih rendah dari hari ini. Turunnya permukaan laut itu disebabkan air bertumpuk menjadi es di kutub utara dan membatasi sirkulasi laut.
Source | : | Nature |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR