Nationalgeographic.co.id—Seorang anak bertelanjang dada berdiri di tengah jalan setapak di antara pepohonan dan semak. Baju putih seragam sekolahnya ditaruh di kepalanya. Tangannya menggenggam plastik berwarna merah, senada dengan celananya. Dalam plastik itu ada sepatu, tas, buku dan perlengkapan sekolah lainnya.
Nama anak itu adalah Sem. Potret dirinya tergambar dalam foto hasil jepretan anak lain bernama Meriana Hana Nalu, siswi SDN Matawai Katingga Kelas Jauh Lapinu, Sumba Timur. Momen tersebut diambil ketika mereka berangkat sekolah.
“Sem baju dan celananya basah, dia jemur pakaiannya di kepala supaya cepat kering dalam perjalanan menuju ke sekolah,” tutur Meri menceritakan sang kawan yang menjadi objek fotonya.
Jarak sekolah dari rumah mereka sekitar 2 kilometer, naik turun bukit dan menyeberang sungai yang membuat seragam Sem basah. Jika hujan besar atau sungai sedang meluap, mereka menginap di rumah dekat sekolah.
Baca Juga: Imajinasi Buat Kita Berempati, Pidato J.K. Rowling di Harvard
Foto portrait karya Meri ini adalah satu dari 80 foto karya anak-anak Lapinu dari Desa Matawai Katingga dan Desa Kamanggih, Kahaungu Eti, Sumba Timur, yang dipresentasikan dalam pameran foto bertajuk “Kabar Dari Timur”. Pameran virtual 3 dimensi ini digelar secara daring, bisa diakses dari tanggal 11 Januari hingga 11 Maret 2020 melaui website sumbaphotostories.com dengan panduan narasi teks dan audio 3 bahasa, yakni Bahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis.
Pameran bertajuk "Kabar dari Timur" ini menampilkan karya foto bercerita yang diambil oleh anak-anak berusia 9 hingga 12 tahun tentang kehidupan keseharian mereka di rural area, pelosok timur dari kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Kisah perjalanan menuju ke sekolah, aktivitas menenun kain sumba, aktivitas di dapur, sajian makan malam, hingga pernikahan dan kematian di desa menjadi cuplikan-cuplikan yang tersaji dalam foto-foto bercerita ini untuk dikabarkan ke semua orang yang hadir di pameran ini.
"Ini sudah, Mama, Bapak, saya punya foto, hasil dari kakak yang sudah mengajarkan kami memotret,” ujar Dena Ngabi alias Joni, siswa kelas 5 SD Masehi Kamanggih, yang karyanya turut terpilih dalam pameran ini.
Sebelum pameran ini digelar, sebanyak 48 anak dari dua desa di atas telah mendapatkan pelatihan fotografi dan membuat narasi cerita dari karya foto selama tiga bulan. Hasilnya, karya-karya foto dan cerita dari 28 anak yang telah melalui proses kurasi akhirnya ditata dan dipamerkan melalui pameran virtual ini. Pelatihan dan pameran ini merupakan bagian dari program “Sumba Photo Stories” yang digagas oleh Kawan Baik Indonesia dan Fair Future Foundation.
Syafiudin ‘Vifick Bolang’, fotografer kontributor National Geographic Indonesia yang menjadi mentor sekaligus koordinator tim kurasi dalam program ini, mengatakan cukup terkejut dengan hasil karya anak-anak di Sumba Timur itu.
Baca Juga: Dunia Menakjubkan yang Tidak Cukup dengan Hanya Mata Telanjang
“Melihat hasil foto dan cerita anak-anak, kami cukup surprise karena selain dapat foto-foto yang bagus, kami juga menemukan cerita-cerita yang menarik. Ada isu-isu besar yang secara tidak langsung tersampaikan, misal tentang pendidikan, akses mereka ke sekolah yang jauh dengan medan luar biasa, tentang isu malaria atau kesehatan, tentang gizi, masalah air, listrik, dan isu-isu lain yang mungkin juga terjadi di banyak daerah di Indonesia,” ujar Vifick kepada National Geographic Indonesia, Jumat (19/2/2021).
Hal menarik lainnya dari program ini, menurut Vifick, adalah efek dari pelatihan yang dijalankan. “Selama tiga bulan lebih anak-anak belajar fotografi dan storytelling, kemudian memotret lingkungan mereka sendiri. Ada perubahan penting pada mereka, yakni meningkatnya kepercayadirian mereka untuk bercerita, berpendapat, bertemu orang baru, dan berbuat sesuatu.”
Baca Juga: Akibat Virus Corona, Museum-Museum di Tiongkok Hadirkan Pameran Online
Mamuk Ismuntoro, jurnalis senior pendiri Matanesia Institute di Surabaya, Jawa Timur, turut mengapresiasi karya anak-anak Sumba itu. "Saya melihat gambaran-gambaran visual yang orisinil, yang hangat, yang intens dihadirkan oleh adik adik kita dari Lapinu dan Kamanggih di Sumba Timur,” kata Mamuk usai menyaksikan pameran virtual dan mendengarkan cerita foto lewat daring tersebut.
“Anak-anak ini punya suara untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri sehingga fotonya menjadi lebih hangat dan lebih dekat,” tambahnya.
Jika fotojurnalis dunia Robert Capa mengatakan “If your pictures aren't good enough, you aren't close enough”, maka anak-anak ini bukan hanya ‘dekat’. Kekuatan karya mereka adalah karena mereka adalah objek atau subjek foto mereka sendiri. Mereka adalah bagian dari cerita yang mereka sampaikan.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR