Nationalgeographic.co.id—Dalam piagam batu Wat Sema Mueang sisi B tiba-tiba hadir nama Sailendra. Hal ini membentuk tanda tanya. Sailendra tak pernah disebutkan dalam banyak prasasti Sriwijaya sejak Kedukanbukit. Bukankah mereka dinasti penguasa Jawa?
Sailendra dalam konteks Sriwijaya kembali tersurat dalam prasasti Nalanda—ditulis antara 810-850. Dikisahkan, Maharaja Balaputradewa adalah anak dari Samaragrawira (Samaratungga) dan Tara. Samaratungga adalah anak dari Rakai Panamkaran, permata Wangsa Sailendra. Tara adalah putri dari Dharmasetu, raja Sriwijaya.
Sejumlah prasasti India selatan abad ke-11 menyebutkan pula nama Cudamaniwarman atau Culamaniwarmadewa dan anaknya, Marawijayotunggawarman, sebagai keturunan Wangsa Sailendra. Tampak jelas, setidaknya sejak piagam Wat Sema Mueang sisi B (awal abad ke-9) hingga penyerbuan oleh Kerajaan Chola pada abad ke-11, raja-raja Sriwijaya berasal dari garis keturunan Wangsa Sailendra.
Hal itu, menurut ahli arkeologi Bambang Budi Utomo, “Diawali oleh pernikahan antara Samaratungga dan Tara.” Seperti halnya prasasti Nalanda, Wat Sema Mueang sisi B mengacu ke Rakai Panamkaran dari Sailendra. “Kedua prasasti itu ditulis atas perintah cucu Panamkaran, yakni Balaputradewa.”
Baca Juga: Melodrama Para Pionir Penjelajah Samudra di Kepulauan Rempah
Julukan Sesasavvarimadavimathana (pembunuh musuh-musuh sombong tidak bersisa) dalam piagam Wat Sema Mueang identik dengan Viravairivaraviravimardana yang disandang Dharanindra dalam prasasti Kelurak (782) di Jawa Tengah. Juga dengan Viravairimathana dalam prasasti Nalanda. Ketiga julukan itu, juga nama Dharanindra, mengacu ke Panamkaran.
Balaputradewa, berdasarkan logika ini, adalah raja Sriwijaya pertama dari Wangsa Sailendra. “Ia salah satu anak Samaratungga, selain Pramodawardhani. Yang terakhir ini perempuan. Ia menikah dengan Rakai Pikatan, pemeluk Hindu. Ketika Samaratungga mangkat, Pikatan naik takhta. Balaputradewa juga merasa berhak sehingga berperang melawan kakak iparnya, Pikatan,” jelas Bambang, menginterpretasikan berbagai isi prasasti. “Balaputradewa kalah perang lalu berpindah ke Sumatra. Karena ibunya keturunan raja Sriwijaya, Balaputradewa dapat naik takhta di Sriwijaya,” jelasnya.
Hanya satu wangsa
Para cendekiawan pernah mengira terdapat dua wangsa di Jawa: Sanjaya dan Sailendra. Hal ini mengacu kepada telaah para sarjana asing: FH van Naerssen, Bosch, George Coedes, WF Stutterheim, atau JG de Casparis. Alasannya perbedaan agama para raja. Wangsa Sanjaya beragama Hindu, sedangkan Sailendra penganut Buddhisme. Kesan itu juga disebabkan nama-nama raja dalam prasasti Mantyasih (Balitung).
Istilah Wangsa Sanjaya ditampilkan oleh W. F. Stutterheim pada 1927. Ia membuat daftar raja Mataram, mulai dari Sanjaya hingga Balitung. Namun, ahli-ahli epigrafi terkemuka Indonesia yakni Poerbatjaraka dan Boechari sejak 1950-an telah mengoreksi, walau rupanya kurang diingat.
Poerbatjaraka mengatakan, semula raja-raja Sailendra menganut Hindu Siwa, lalu berpindah ke agama Buddha. Ia mengutip isi Carita Parahyangan, naskah kuno Sunda.
Alkisah, tersebutlah seseorang bernama Sanjaya. Ia menyuruh anaknya, Panaraban atau Tamperan, untuk berpindah ajaran, sebab ajaran yang dianutnya ditakuti semua orang. Oleh Poerbatjaraka, Sanjaya disamakan dengan Rakai Sanjaya dalam prasasti Canggal (732) di Candi Gunung Wukir di daerah Magelang. Sementara itu, Panaraban alias Tamperan disamakan dengan Rakai Panamkaran.
Boechari juga menulis Satu atau Dua Dinasti di Mataram Kuno? “Yang dimaksud ialah yang berkuasa sebagai maharaja,” demikian Boechari. Mataram Kuno terdiri dari daerah-daerah otonom di bawah rakarayan (rakai) atau pangat.
“Masing-masing penguasa lokal itu,” tulis Boechari, “memiliki silsilahnya sendiri. Istilah Sanjayawamsa tidak pernah ditemui dalam prasasti maupun naskah sastra masa klasik. Daftar dalam prasasti Mantyasih dan susunan Stutterheim bukanlah suatu silsilah.” Sebaliknya, Sailendrawamsa jelas disebutkan dalam sejumlah prasasti di Jawa yaitu prasasti Kalasan, Kelurak, atau Abhayagiriwihara.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR