Nationalgeographic.co.id—Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang kaya. Banyak kejadian dalam sejarah bangsa ini yang sempat tercatat dalam buku-buku sejarah, banyak juga yang tidak.
Yang menarik, ternyata ada juga sejarah dari bangsa ini yang tercatat bukan di buku sejarah, melainkan di buku matematika. Ya, sebuah buku matematika kuno yang berusia 140 tahun ternyata mencatat cerita kehidupan bangsa Indonesia saat masih di bawah kolonialisme Belanda.
Adalah Khir Johari, seorang pengguna Facebook, yang mengunggah foto-foto dari buku matematika kuno tersebut di akun media sosialnya. Buku latihan matematika itu dibuat pada bada ke-18 dan ditulis dengan gaya khas bahasa di wilayah Hindia-Belanda saat itu.
Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun
Dalam unggahan foto-foto yang disertai penjelasan rinci tentang temuan buku matematika kuno tersebut, Johari memberikan gambaran seperti apa kehidupan di Indonesia saat dikuasai Belanda. Semua cerita tersebut digambarkan dalam rangkaian soal matematika tingkat dasar di dalam buku itu.
Jenis pertanyaan matematika yang ada dalam buku tersebut menggabungkan situasi kehidupan nyata (atau tidak begitu nyata) di Indonesia pada masa kolonialisme saat itu. Buku tersebut berjudul 'Beberapa Hitoengan', yang berarti 'Beberapa Soal Perhitungan'.
Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia kuno bergaya Belanda, menggunakan banyak huruf khusus Belanda seperti 'oe' dan 'j'. Huruf 'j' yang terakhir diucapkan seperti huruf 'y'.
"Tidak, ini bukan tentang angka. Buku ini bercerita lebih banyak tentang manusia biasa, kehidupan sehari-hari orang pada titik waktu yang berbeda. Buku ini memberi kita pandangan menyeluruh tentang masyarakat, budaya, dan orang-orang," kata Johari kata dalam postingan Facebook-nya sebagaimana dilansir Mashable SE Asia.
Baca Juga: Jatuhnya Pengaruh Luwu oleh Belanda, Kuasa Terakhir di Sulawesi
Salah satu contohnya adalah penggunaan 'Malajoe' sebagai pengganti kata 'Melayu' (kemudian diubah namanya menjadi Bahasa Indonesia). Meskipun 'Malajoe' mungkin terdengar seperti bumbu Cina yang populer dan beberapa pria bernama 'Joe', sebenarnya kata ini diucapkan sebagai Mala-yu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bahasa Belanda, huruf 'j' dilafalkan seperti huruf 'y'. Itu juga sama dalam bahasa Jerman.
Buku tersebut ditulis untuk didistribusikan di kota Batavia, atau sebagaimana orang Belanda menyebutnya, Ratu dari Timur. Sekarang, namanya Jakarta.
Soal-soal matematika yang menjadi fokus dalam buku ini berkisar pada keuntungan, menyentuh elemen sewa bulanan, pinjaman, cicilan, upah, dan harga eceran. Buku ini bisa menjadi pertanda kehidupan sezaman di Indonesia pada saat itu.
Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika
Sebagi contoh, banyak soal matematika dalam buku ini yang melibatkan konsep 'merantau' --meninggalkan kampung halaman untuk mencari peruntungan yang lebih baik di tempat lain. Sejujurnya, konsep itu masih relevan hingga saat ini, dengan banyak orang Asia Tenggara termasuk Indonesia memilih untuk bermigrasi, bukan karena ketidaksetiaan kepada komunitas mereka, tetapi lebih sebagai upaya untuk membuat hidup lebih baik bagi diri mereka sendiri dan orang yang mereka cintai.
Ada juga perbedaan yang jelas antara orang pedesaan dan orang kota, dengan yang pertama disebut sebagai 'orang kampoeng' (atau orang kampung dalam bahasa Melayu modern), yang secara harfiah berarti orang desa.
Soal-soal matematika dalam buku kuno ini juga menggambarkan bahwa saat itu wanita di Indonesia atau dulu disebut Hindia-Belanda tidak diperlakukan dengan adil. Sayangnya, kondisi hari ini masih sama saja, meski tidak seburuk dulu.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Soal-soal dalam buku matematika kuno tersebut menggambarkan ketimpangan gender ini dengan baik. Satu masalah secara terbuka diungkapkan dalam buku matematika kuno itu adalah kesenjangan upah gender antara laki-laki dan perempuan, dengan perempuan selalu berpenghasilan paling rendah.
Kata-kata yang ditampilkan dalam buku kuno itu jarang digunakan saat ini atau secara resmi sudah kuno. Ini termasuk kata-kata seperti 'anggur', bukan 'wine', yang digunakan untuk menyebut minuman anggur. Saat ini 'anggur' masih digunakan, tetapi hanya untuk merujuk pada buahnya sendiri, yakni anggur.
'Nyiur' dan 'krambil' juga digunakan untuk menyebut kelapa, sedangkan 'kamedja' digunakan untuk menyebut kemeja berkerah (disebut 'kemeja' dalam bahasa Melayu modern). Menariknya, kata kamedja ini berakar dari bahasa Portugis, yakni 'camisa'.
Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa
Buku ini juga masih memakai kata sandang atau sapaan seperti 'si', ditempatkan sebelum nama seseorang. Itu hanya digunakan untuk orang yang tidak hadir dalam percakapan, seperti 'Si Anna' atau 'Si Mark' (Filipina), dan 'Si Roha' atau 'Si Maruli' (Batak).
Tetapi jika dipikir-pikir, Indonesia dan Malaysia modern masih menggunakan kata sandang ini. Misalnya, jika seseorang bertanya, “Kemana orang Danial itu pergi?”, Mereka akan menjawab “Si Danial tu pergi mana?”. Mungkin tidak digunakan sesering sebelumnya, tapi masih ada.
Buku matematika berusia 140 tahun ini memberikan wawasan yang luar biasa tentang Indonesia kuno. Waktu telah banyak berubah sejak saat itu. Tapi cukup keren untuk bisa melihat nuansa negara yang berusia berabad-abad jauh sebelum kemerdekaan. Jika Anda tidak menyukai matematika, setidaknya nilai historis dari buku tersebut pasti akan membuat Anda penasaran.
Source | : | MASHABLE |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR