Nationalgeographic.co.id—Oktober 2011. Senja itu bayangan panjang pucuk pepohonan menari-nari di atas Candi Lumbung Sengi, Dusun Tlatar, Magelang, Jawa tengah. Candi ini tak lagi utuh. Di bawah kain biru yang ujungnya tertambat di batang pohon, belasan pekerja bermasker dan bermandikan peluh lalu-lalang membongkar candi nan sakral itu. Beberapa orang menuangkan tanah ke samping candi dengan ember hitam, yang lain bersusah payah memindahkan bebatuan. Tak jauh dari candi yang kini hanya sedikit lebih tinggi dari orang dewasa, enam batu bertatah mengantre dengan sabar di atas papan. Batuan itu menunggu disorong satu per satu ke atas truk di bawah tebing sisi selatan.
Berjarak tepat satu rentang lengan orang dewasa dari pojok candi di tenggara, tepian jurang sedalam lima lantai bangunan menunggui candi dengan setia. Nun jauh di bawah sana, aliran Kali Apu meliuk melarikan diri dari Gunung Merapi. Sementara itu, sang waktu pun berlari menuju musim pengujan. Setengah jam kemudian truk membawa pergi batu berukir cantik itu menjauhi sungai.
Bagi banyak orang, memindahkan candi adalah hal yang amat tabu. Akan tetapi para pekerja yang terengah-engah itu tahu, mereka harus berpacu dengan sang waktu.
Material lahar dingin dari letusan Gunung Merapi pada 2010 menghancurkan dam-dam di Kali Apu, menggerus dasarnya sedalam tiga hingga lima meter, dan menutup alirannya di beberapa bagian. Juga melumatkan talut beton di tebing Candi Sengi, tepat di belokan sungai.
Melalui perhitungan dan pengkajian yang alot, akhirnya para ahli arkeologi, geologi, budaya, juga pihak pemerintah setempat pun sepakat untuk menyelamatkan candi ini ke tempat yang lebih aman.
Sekitar 350 meter dalam garis lurus dari titik asal candi itu berada, Wagiyo, tenaga ahli dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berdiri dikelilingi tumpukan batu. Setumpuk batu untuk bagian cungkup atau atasnya, dan tumpukan-tumpukan lain sesuai dengan lapisannya masing-masing. Semua bertebaran di atas kolam yang telah diuruk dilengkapi konstruksi beton bertulang, milik Kepala Dusun Tlatar.
Pemindahan candi berdampak positif pada pemugaran. Penemuan dua puluh batu yang jatuh bertaburan membuat ahli arkeologi menemukan kembali bagian-bagian atapnya, walaupun tak semua. Kami pun berjongkok di depan batu-batu penyusun kulit candi, yaitu bagian terluar dengan tatahan relief. Wagiyo mengisahkan kepada saya bagaimana cara mengembalikan batu-batu yang telah hilang ini kembali ke tempatnya semula, yang tak diketahui di mana letak pastinya. “Batu-batu ini ada penandanya di bagian bawah,” ucap pria paruh baya ini sambil menilik sebuah batu. Telunjuknya mengarah ke cekungan yang ada pada batu. Artinya, batu itu akan cocok dengan batuan yang menonjol di bagian atasnya. Ujung jarinya pun bergerak ke penanda lain berbentuk tapak kaki burung. Membuat saya terpana akan teknologi konstruksi masa lalu.
Candi Lumbung Sengi kemungkinan merupakan pendarmaan bagi Bhatara di Salingsingan. Ada tiga candi Hindu di Kompleks Candi Sengi, yaitu Candi Asu, Pendem, dan Lumbung sendiri. Seperti Candi Pendem yang terkubur dan tak utuh, dulu Candi Lumbung terletak enam meter di bawah permukaan tanah yang sekarang difungsikan oleh penduduk sebagai sawah. Menurut para ahli, material dari letusan Gunung Merapi-lah yang perlahan-lahan mengubur kompleks ini sejak dibangun pada abad ke sembilan Masehi.
Siang 11 Desember 2009 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan Ahmad Saifudin. Saat hendak melaksanakan salat Jumat, ponselnya berdering. Anak buahnya melaporkan bahwa alat berat yang digunakan mengeruk tanah terantuk sebuah struktur bangunan batu yang amat rapi. Saifudin adalah seorang arsitek kepala pada proyek pembangunan perpustakaan di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Pertimbangan alot berlangsung antara sang arsitek, pejabat rektorat, serta pihak Yayasan Badan Wakaf UII. Keputusan akhir yang dicapai ialah menghubungi BP3 Yogyakarta.
Keesokan harinya, Tim BP3 melakukan survei ke lokasi pembangunan. Pada kedalaman 2,7 meter mereka menemukan struktur bangunan dari batuan andesit dengan pahatan yang halus, termasuk satu buah antefiks (bentuk hiasan candi) sudut serta lima buah batu padma. Kesepakatan pun dicapai antara BP3 Yogyakarta dan Yayasan Badan Wakaf UII sebagai pemilik aset dan pelaksana proyek: kegiatan pembangunan gedung perpustakaan dihentikan sementara.
Berhari-hari selanjutnya, kegiatan yang berjalan di lapangan benar-benar jauh dari apa yang pernah dibayangkan oleh Saifudin sebelumnya. Alat pengeruk backhoe tetap dimanfaatkan, namun kali ini untuk mengupas lapisan tanah sedalam dua meter di area pembangunan yang berukuran hampir seluas dua kali lapangan voli. Minggu-minggu berikutnya, area itu dipenuhi oleh ahli arkeologi, geologi, biologi, dan teknik sipil yang sibuk berseliweran mengadakan penelitian.
Apa yang ditemukan selama 35 hari berikutnya mungkin merupakan hal yang biasa dalam dunia arkeologi: Candi induk dan candi perwara (candi yang lebih kecil), dua lingga yoni, dua arca Ganesha (yang satu belum dipahat sempurna), dan sebuah arca Nandi (kendaraan Dewa Siwa). Juga wadah gerabah dan perunggu, lingga penunjuk arah, serta kotak-kotak sajen berupa peripih berisikan biji-bijian dan emas. Namun yang membuat para ahli tercengang, semua ditemukan dalam keadaan amat utuh, termasuk pagar dari batuan andesit gundul yang seharusnya mudah hancur diterpa material Merapi.
Dengan penemuan candi yang diberi nama Kimpulan sesuai dengan nama dusun tempatnya berdiri, tantangan berikutnya yang dihadapi oleh Saifudin lebih besar lagi. Ia harus memutar otak untuk merombak rancangan awal gedung yang berbentuk kotak tersebut dan mendesainnya kembali agar seluruh kepentingan bisa terpenuhi.
Saat saya temui di studionya di Yogyakarta, di ruangan sebelah garasi yang diterangi oleh sebuah lampu gantung, Saifudin memaparkan rencana pembangunan gedung perpustakaan dengan perubahan desain setelah candi itu ditemukan. “Harus ada kompromi antara bangunan modern dengan bangunan lama ini,” tegasnya. Akibat batas sejauh 3,5 meter dari pagar terluar yang ditetapkan oleh pihak BP3 Yogyakarta sebagai zona pelestarian, Saifudin harus “merelakan” setengah bagian perencanaan bangunannya untuk kawasan candi. “Akhirnya saya pantulkan saja desain bangunannya ke tanah pengembangan yang berada tepat di sebelahnya,” jelasnya sambil menunjukkan denah rencana awal kepada saya.
Akhir Mei 2012 saya menyambangi candi-candi tersebut. Diterpa sinar mentari pagi, berhias jemuran baju warga dusun di kakinya, Candi Lumbung Sengi berdiri dengan gagahnya. Tak seperti perawakannya lebih dari tujuh bulan silam pada pertemuan pertama kami, bagian atap yang dulu hanya tersisa beberapa blok, kini berhias batu apung putih, menggantikan batuan yang lenyap. “Sengaja kami gunakan batu putih agar anak cucu kita tak memperdebatkan apakah ini batu candi yang asli atau bukan,” ujar Deny Wahju Hidajat, Kapokja Pemanfaatan BP3 Jawa Tengah, tersenyum.
Ia berkisah, tiga bulan setelah candi berdiri kembali, tepatnya pada 26 Desember 2011, BP3 Jawa Tengah mengadakan selamatan dengan warga dan perangkat desa. Beberapa hari kemudian, banjir lahar dingin di Kali Apu menggerus dinding tebing untuk kesekian kalinya.
Candi Sengi akan berada di tanah ini lima tahun ke depan sesuai perjanjian yang disepakati dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). “PU akan membangun dam-dam yang hancur, baru kita akan bikin talut yang lebih kuat untuk mendirikan candi di tempatnya semula,” papar Deny.
Ia juga menjelaskan rencana BP3 Jawa Tengah yang akan membuat Candi Lumbung terintegrasi dengan dua candi di sekelilingnya agar bisa menggairahkan perekonomian masyarakat sambil menyusupkan muatan budaya lokal dan mungkin pula agrobisnis untuk menggiatkan pariwisata.
Setelah pembangunannya sempat tertunda selama setahun juga akibat erupsi Merapi, gedung perpustakaan sudah berdiri dengan anggunnya di Kampus UII. Akan tetapi, jangan harap seseorang bisa langsung mengagumi kecantikan dua candi mungil yang ada di kaki gedung dari dekat.
Dari ketinggian sekitar empat lantai di luar ruangan dari sisi yang berlawanan dengan gedung, saya dibawa memutari jalan menurun yang sengaja dibuat mengelilingi candi: Masuk ke dalam koridor perpustakaan, kemudian keluar lagi ke ruang terbuka berlawanan dengan gedung, dan masuk lagi ke museum yang ada di badan gedung. Di dalam museum, benda-benda yang menjadi saksi bisu terbentuknya sejarah kampus serta artefak Candi Kimpulan tersaji dengan apik.
Andi Riana, Kapokja Pemeliharaan BP3 Yogyakarta pun membukakan pintu menuju halaman candi. Setelah menuruni undakan tangga, kaki saya menapak di tanah yang berpasir. Dan di depan mata, berdirilah candi induk dan candi perwara.
“Jalan yang menurun itu juga dibuat agar orang bisa menyaksikan candi dari luar dan mengurangi beban, karena candi ini tidak diberi perkuatan apa pun,” papar Andi. Ia pun menunjukkan umpak yang dulunya mungkin menopang kolom atap candi. Tampak pula sebuah arca Ganesha yang diduga sebagai dewa penghalang rintang, karena tidak ditemani oleh arca Agastya dan Durga sebagaimana umumnya sebuah panteon Hindu. Di sisi timur terdapat kotak kaca setinggi lebih dari tiga meter. Ini adalah rumah dari sebongkah besar tanah dan batuan yang berlapis-lapis, disisakan sebelum penggalian untuk pembelajaran geologi.
Saya menyendiri menempelkan tubuh ke dinding yang menghadap ke candi dilatari perpustakaan yang meroket ke langit. Kaca-kaca bangunan memberikan efek yang luar biasa pada candi ini. Terbayang di kepala saya istilah yang diungkapkan Saifudin dalam menggabungkan arsitektur kedua bangunan yang usianya terpaut sebelas abad ini: Harmony in contrast. Suatu contoh bagaimana kita bisa berkompromi dengan masa lalu kita.
Feature "Menyelamatkan Peradaban" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2012
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR