Saat saya temui di studionya di Yogyakarta, di ruangan sebelah garasi yang diterangi oleh sebuah lampu gantung, Saifudin memaparkan rencana pembangunan gedung perpustakaan dengan perubahan desain setelah candi itu ditemukan. “Harus ada kompromi antara bangunan modern dengan bangunan lama ini,” tegasnya. Akibat batas sejauh 3,5 meter dari pagar terluar yang ditetapkan oleh pihak BP3 Yogyakarta sebagai zona pelestarian, Saifudin harus “merelakan” setengah bagian perencanaan bangunannya untuk kawasan candi. “Akhirnya saya pantulkan saja desain bangunannya ke tanah pengembangan yang berada tepat di sebelahnya,” jelasnya sambil menunjukkan denah rencana awal kepada saya.
Akhir Mei 2012 saya menyambangi candi-candi tersebut. Diterpa sinar mentari pagi, berhias jemuran baju warga dusun di kakinya, Candi Lumbung Sengi berdiri dengan gagahnya. Tak seperti perawakannya lebih dari tujuh bulan silam pada pertemuan pertama kami, bagian atap yang dulu hanya tersisa beberapa blok, kini berhias batu apung putih, menggantikan batuan yang lenyap. “Sengaja kami gunakan batu putih agar anak cucu kita tak memperdebatkan apakah ini batu candi yang asli atau bukan,” ujar Deny Wahju Hidajat, Kapokja Pemanfaatan BP3 Jawa Tengah, tersenyum.
Ia berkisah, tiga bulan setelah candi berdiri kembali, tepatnya pada 26 Desember 2011, BP3 Jawa Tengah mengadakan selamatan dengan warga dan perangkat desa. Beberapa hari kemudian, banjir lahar dingin di Kali Apu menggerus dinding tebing untuk kesekian kalinya.
Candi Sengi akan berada di tanah ini lima tahun ke depan sesuai perjanjian yang disepakati dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). “PU akan membangun dam-dam yang hancur, baru kita akan bikin talut yang lebih kuat untuk mendirikan candi di tempatnya semula,” papar Deny.
Ia juga menjelaskan rencana BP3 Jawa Tengah yang akan membuat Candi Lumbung terintegrasi dengan dua candi di sekelilingnya agar bisa menggairahkan perekonomian masyarakat sambil menyusupkan muatan budaya lokal dan mungkin pula agrobisnis untuk menggiatkan pariwisata.
Setelah pembangunannya sempat tertunda selama setahun juga akibat erupsi Merapi, gedung perpustakaan sudah berdiri dengan anggunnya di Kampus UII. Akan tetapi, jangan harap seseorang bisa langsung mengagumi kecantikan dua candi mungil yang ada di kaki gedung dari dekat.
Dari ketinggian sekitar empat lantai di luar ruangan dari sisi yang berlawanan dengan gedung, saya dibawa memutari jalan menurun yang sengaja dibuat mengelilingi candi: Masuk ke dalam koridor perpustakaan, kemudian keluar lagi ke ruang terbuka berlawanan dengan gedung, dan masuk lagi ke museum yang ada di badan gedung. Di dalam museum, benda-benda yang menjadi saksi bisu terbentuknya sejarah kampus serta artefak Candi Kimpulan tersaji dengan apik.
Andi Riana, Kapokja Pemeliharaan BP3 Yogyakarta pun membukakan pintu menuju halaman candi. Setelah menuruni undakan tangga, kaki saya menapak di tanah yang berpasir. Dan di depan mata, berdirilah candi induk dan candi perwara.
“Jalan yang menurun itu juga dibuat agar orang bisa menyaksikan candi dari luar dan mengurangi beban, karena candi ini tidak diberi perkuatan apa pun,” papar Andi. Ia pun menunjukkan umpak yang dulunya mungkin menopang kolom atap candi. Tampak pula sebuah arca Ganesha yang diduga sebagai dewa penghalang rintang, karena tidak ditemani oleh arca Agastya dan Durga sebagaimana umumnya sebuah panteon Hindu. Di sisi timur terdapat kotak kaca setinggi lebih dari tiga meter. Ini adalah rumah dari sebongkah besar tanah dan batuan yang berlapis-lapis, disisakan sebelum penggalian untuk pembelajaran geologi.
Saya menyendiri menempelkan tubuh ke dinding yang menghadap ke candi dilatari perpustakaan yang meroket ke langit. Kaca-kaca bangunan memberikan efek yang luar biasa pada candi ini. Terbayang di kepala saya istilah yang diungkapkan Saifudin dalam menggabungkan arsitektur kedua bangunan yang usianya terpaut sebelas abad ini: Harmony in contrast. Suatu contoh bagaimana kita bisa berkompromi dengan masa lalu kita.
Feature "Menyelamatkan Peradaban" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2012
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR