Rateb seudati Rateb sendiri adalah praktik bercorak erotis yang terkadang berunsur homoseksual. Fungsinya adalah untuk praktik membentuk perjantanan lewat hubungan seksual antara pria dewasa dan anak laki-laki.
Selain di Aceh, kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar juga memiliki bissu yang merupakan pendeta yang tak bergender. Achmad Sunjayadi dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara menyebut praktik ini dicatat pertama kali diketahui orang Barat pada 1545.
Catatan sejarah itu dilakukan oleh Antonio de Paiva, seorang Portugis. Ia juga mengungkapkan rasa jijiknya pada praktik homoseksual di kalangan bissu lewat prakti sodomi dan oral.
Pada periode yang sama, penggunaan pendeta suci tak bergender ini juga dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Tengah, Bali, Dayak, penduduk asli Taiwan, Filipina, dan Polinesia.
Masih dalam unsur kebudayaan, di Papua—baik Papua Nugini maupun Papua Indonesia bagian tenggara—juga punya praktik ritual nuansa homoseksual.
Ritual itu meminta pemuda laki-laki melakukan oral seks pada laki-laki yang lebih tua, sebagai wujud kedewasaan. Hal ini diungkap oleh Miriam Kahn dalam American Ethnologist (Vol. 11 Issue 1 tahun 1984). Menurut mereka, air mani adalah sumber kehidupan dan intisari dari maskulinitas laki-laki.
Baca Juga: Puang Matoa Saidi, Bissu yang Melegenda karena Mempertahankan Tradisi
Homoseksualitas sendiri merupakan hal yang lumrah ketika Hindia Belanda berkuasa. Bahkan, kerap terjadi di perkebunan Sumatera Timur abad ke-19 dan awal abad ke-20, tulis Sunjayadi.
Praktik ini tak hanya dilakukan oleh kalangan bumiputera, bahkan kuli Tionghoa, akibat kurangnya perempuan. Saking kerapnya, banyak terjadi pelacuran dan pembunuhuan akibat cinta sesama jenis yang dianggap lumrah di kalangan perkebunan.
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR