Menurut Merrillees, kartu pos ini juga dicetak oleh para fotografer sebagai sumber penghasilan mereka untuk hidup sehari-hari. Beberapa di antaranya seperti C.B Nieuewenhuis, Tio Tek Hong, dan Kassian Cephas.
Tetapi ada juga yang dipotret oleh lembaga keagamaan seperti misionaris.
Hal yang menarik, menurut Merrillees, bahwa fotografer-fotografer Eropa ini bisa berkunjug ke sejumlah kawasan yang mungkin saja memiliki sentimen kepada orang Eropa akibat perang.
"Kita perlu tahu, bahwa ada banyak tantangan untuk tukang foto--tidak seperti sekarang yang bisa kirim lewat Whatsapp--karena harus memproses cukup lama, dan medannya yang susah," ujarnya.
Bahkan fotografer Eropa sudah ada yang menyentuh dataran Nias dan Batak Samosir pada 1840 hingga 1870.
Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang
"Mereka [para fotografer Eropa] itu antara berani atau bodoh--saya kurang tahu, karena agak bahaya untuk kesana 160 tahun yang lalu," Merrillees berpendapat.
"Waktu itu kan masih ada anggapan kalau di tanah Batak Samosir itu headhunters (kanibal). Itu risiko besar untuk mereka. Tetapi ya memang mereka merintis itu supaya kita tahu sejarah. Coba saja enggak berani, kita tidak bisa lihat gambaran mereka di masa lalu."
Mengingat kebudayaan di Bali merupakan eksotisme yang mengundang turisme di masa Hindia Belanda, para fotografer juga kerap mendatanginya. Eksotisme itu antara lain kebiasaan perempuan Bali yang mengenakan pakaian tanpa menutup dada pun juga digilai oleh lelaki Eropa.
Foto dalam kartu pos itu sukses membuat wisata Hindia Belanda melejit di Bali kala dunia sedang mengalami krisis moneter (the great depression) selama Perang Dunia I.
Baca Juga: Maiko dan Kisah Pelacuran Perempuan Jepang di Hindia Belanda
"Saya rasa sudah diduga pria Eropa tertarik, tapi kini akibat modernisasi mereka mulai pakai baju sampe leher. Selain itu karena sudah kebanyakan turis yang berkunjung demi melihat perempuan tanpa pakaian di dada," ujarnya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR