Cerita dan Foto oleh Zulkifli
Nationalgeographic.co.id—Batang Kuantan mengular di bawah ngarai. Kiri kanan berdinding tebing-tebing tinggi. Tebing ini beberapa bagiannya bercadas. Sisanya, pohon-pohon tumbuh menghijau. Ruas jalan kecil di kaki tebing bersisian langsung dengan sungai. Sungai yang berwarna cokelat. Entah oleh sebab apa, saya tak tahu. Tersiar kabar bahwa kampung-kampung di ngarai ini acap terisolasi oleh longsoran tebing dan luapan air sungai. Namun, kabar itu tak menyurutkan orang-orang untuk melawat ke ngarai ini.
Di puncak ngarai, kabut masih bergelayut. Belum ada tanda-tanda matahari bakal tampak. Sepertinya, pagi tak tepat waktu kali ini. Hawa dingin berembus ketika pintu mobil saya buka. Saya meninggikan kerah jaket, melawan dingin yang menegakkan bulu roma. Sambil mengarah ke bibir sungai, telepon genggam saya angkat kian kemari mencari jaringan selular.
“Ndak ado sinyal di siko, da,” saya berseru kepada Rafi. Kata-kata saya dibawa angin lalu. Kawan dari Padang yang semula berdiri tak jauh dari saya itu sudah menghilang. Berpindah ke bebatuan di bibir Batang Kuantan. Melompat dari satu batu ke batu yang lain. Entah ia tahu atau tidak, sungai ini pernah menahaskan satu rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh seorang insinyur Belanda dulunya.
Rahasia Mengontrol Populasi Nyamuk: Aedes aegypti Jantan Tuli Tidak Bisa Kawin!
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR