Hari selasa, bertanggal 22 Oktober 1872. Sebuah perahu kayu terhuyung-huyung dihantam riam sungai di Nagari Silokek. Usai menyentak Eropa dengan Het Ombilien-kovenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust, laporan yang berisi penemuan batu bara di Batang Ombilin Sawahlunto, Willem Hendrik de Greve tak hendak berhenti.
Ambisi keinsinyurannya harus dituntaskan. Menemukan ladang “emas hitam” lain di sepanjang Batang Kuantan yang oleh Syafii Ma’arif disebut sebagai “sungai yang perkasa” dalam memoarnya. Namun, nahas tak bisa dikira. Bahkan, oleh seorang insinyur Belanda sekalipun. Batang Ombilin, sungai di Sawahlunto, adalah pancang kejayaan De Greve. Di Batang Kuantan Silokek, ambisinya pupus oleh jeram sungai. Sungai yang beberapa saat lalu membuai kawan saya itu.
Bias matahari menguat di sela-sela tebing. Beberapa kendaraan roda dua silih berganti melintas. Saya sedang berada di sebuah lapau di sisi lain Batang Kuantan, sungai yang dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847 dicatat oleh Christine Dobbin sebagai jalur dagang emas berabad-abad lampau.
Baca Juga: Kapur Barus, Cerita Rempah dari Kedatuan Sriwijaya Kian Pupus
Dari beranda lapau, saya melihat sebuah sampan melintas di sungai yang sedang tenang ini. Sampan itu, kata pemilik lapau, bisa dipakai oleh para wisatawan. Tentunya dengan harga yang sesuai pula. Saya tak berniat untuk mencobanya. Mengingat apa yang menimpa De Greve.
“Di atas situ ada Ngalau Talago,” kata perempuan pemilik lapau. Lantai gua itu, lanjutnya, akan digenangi air ketika hujan. Sebab itu namanya Ngalau Talago, gua yang bertelaga. “Tak sampai 30 menit jalan kaki sudah sampai di sana,” kata pemilik lapau sambil menunjuk arah ke ngalau yang diceritakannya itu. “Kita ke sana?” tanya Rafi kepada saya. Saya mengangguk setuju.
***
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR