Nationalgeographic.co.id—Sekawanan jerapah, termasuk seekor bayi jerapah, terjebak di pulau yang sedang tenggelam dengan cepat di Kenya. Pulau itu bernama Longicharo, terletak di tengah-tengah Danau Baringo.
Operasi evakuasi atau penyalamatan terhadap jerapah-jerapah itu berlangsung secara dramatis dan cuku lama? Operasi tersebut dilakukan dengan menaikkan jerapaj-jerapah tersebut ke atas tongkang yang dibuat khusus untuk mereka. Tongkang tersebut dinamakan "GiRaft".
Proses penyelamatan sekawanan jerapah itu berlangsung selama berbulan-bulan di Kenya. Proses evakuasi ini baru berakhir pada 12 April 2021.
Bagaimana kisahnya?
Evakuasi ini berhasil mengantarkan sembilan jerapah terakhir yang terdampar ke tempat aman, menurut pernyataan Save Giraffes Now (SGN), sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat yang bermitra dengan para konservasionis di Kenya. Merekalah yang melakukan upaya penyelamatan dan relokasi terhadap jerapah-jerapah tersebut.
Baca Juga: Mengapa Anak Jerapah Bisa Langsung Lari Ketika Baru Saja Dilahirkan?
Jerapah-jerapah yang mereka selamatkan ini merupakan spesies yang terancam punah, bahkan termasuk subspesies yang sangat terancam punah yang disebut jerapah Rothschild (Giraffa camelopardalis rothschildi). Live Science mewartakan, jerapah-jerapah ini telah hidup di Pulau Longicharo di Danau Baringu, Kenya, sejak tahun 2011.
Namun air danau yang naik berulang kali membanjiri habitat mereka. Oleh karenanya, para konservasionis khawatir jerapah-jerapah itu tidak dapat lagi menemukan cukup makanan di pulau tersebut. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengevakuasi hewan-hewan tersebut dari pulau itu.
Permukaan air di Danau Baringo telah meningkat selama beberapa waktu. Namun pada tahun 2020 tingkat kenaikan air danau tersebut meningkat pesat sehingga membanjiri rumah-rumah pesisir dan tempat-tempat usaha serta mengancam kelangsungan hidup jerapah, kata perwakilan dari Northern Rangelands Trust (NRT) Kenya lewat unggahannya di Facebook pada 2 Desember 2020. Pada tanggal itulah evakuasi terhadap jearah-jerapah di Pulau Longicharo mulai dijalankan.
Untuk membawa jerapah-jerapah kurus itu dari habitat mereka yang menghilang ke tempat perlindungan baru di daratan, SGN bekerja dengan NRT dan lembaga konservasi lokal lainnya: Ruko Community Conservancy dan Kenya Wildlife Service. Orang-orang dari komunitas lokal Njemps dan Pokot berperan merancang dan membangun tongkang pengikat jerapah dengan sisi-sisi yang tinggi dan diperkuat serta didukung oleh 60 drum kosong. Tongkang tersebut kemudian ditarik oleh kapal-kapal mesin.
Baca Juga: Turis Mancanegara di Bali Tak Sadar Memegang Hewan Beracun Mematikan
Para penjaga hutan di pulau itu membantu jerapah-jerapah tersebut agar terbiasa dengan GiRaft dari waktu ke waktu. Mereka memuat tongkang tersebut dengan suguhan lezat, seperti mangga, biji polong, pelet makanan, dan daun akasia, menurut SGN, agar jerapah-jerapah tersebut tertarik menaikinya dan betah di sana.
Setelah jerapah-jerapah tersebut terbiasa berada di atas GiRaft, tim penyelamat kemudian mengangkut mereka satu per satu ke tempat yang lebih tinggi di tempat perlindungan tertutup di Ruko Conservancy. Kawasan konservasi tersebut memliki luas 178 kilometer persegi dan terletak sekitar 1,6 kilometer dari pulau tersebut, harus ditempuh dengan menyeberangi danau.
Penumpang pertama yang naik GiRaft adalah jerapah betina bernama Asiwa, karena air yang naik telah memisahkannya dari kawanan lainnya, tulis perwakilan NRT di Facebook. Selama beberapa bulan berikutnya, semakin banyak jerapah yang dibawa menyeberangi danau. Dan pada 12 April, jerapah yang tersisa, yakni seekor betina bernama Ngarikoni dan bayinya Noelle yang lahir pada akhir Desember akhirnya menyelesaikan proses panjang penyelamatan tersebut.
Baca Juga: Bayi-Bayi Bintang Laut Ternyata Kanibal, Suka Memakan Satu Sama Lain
Populasi jerapah secara umum telah menurun sekitar 40% selama tiga dekade terakhir. Lebih parah lagi, jumlah jerapah Rothschild telah menyusut sekitar 80%, menjadikannya "bisa dibilang salah satu subspesies jerapah yang paling terancam," menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2019 di African Journal of Ecology.
Jerapah Rothschild pernah tersebar luas di Kenya, Uganda, dan Sudan selatan. Sekarang hanya sekitar 3.000 yang tersisa di populasi yang terisolasi di Uganda dan Kenya, memberikan urgensi yang lebih besar untuk misi penyelamatan menggunakan GiRaft tersebut, kata presiden SGN David O'Connor dalam rilisan pernyataan resmi mereka.
Akhir yang bahagia dari kisah pulau jerapah juga mencerminkan kolaborasi penting antara komunitas lokal setempat Njemps dan Pokot. Kedua komunitas tersebut pernah terlibat konflik selama bertahun-tahun. Namun dalam upaya konservasi jerapah-jerapah ini mereka telah bersatu dan bersama-sama menyelamatkan satwa-satwa yang terancam punah tersebut.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR