Nationalgeographic.co.id—Jakarta tak selamanya bernama Jakarta. Namanya bertransformasi dari Sunda Kelapa yang kini tersisa di pelabuhan ramai di sebelah utara, hingga jadi DKI Jakarta yang membentang lebih luas dari sebelumnya.
Melansir dari Kompas.com Rabu (28/4/2021), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berwacana agar Kota Tua dinamai sebagai Batavia. Alasannya karena nama 'Kota Tua' sudah banyak untuk diaplikasikan di kawasan tua di kota-kota Indonesia.
Batavia sebagai nama kota tak terlepas dari pengaruh Belanda yang datang berdagang sebagai salah satu mitra Kesultanan Banten.
Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon
Heriyanti Ongkodharma Untoro lewat tesisnya, Kapitaisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi-Ekonomi, menilai kawasan Banten dilirik banyak pihak karena lebih subur dan strategis untuk berdagang ketimbang Malaka yang sudah dimonopoli Portugis.
Kawasan penting dari Kesultanan Banten itu adalah Jayakarta yang sebelumnya dinamai Sunda Kelapa. Kawasan itu merupakan kota pelabuhan.
Belanda sendiri tiba Jayakarta, menurut Adolf Heuken dalam Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid III (2000), kapal-kapal Belanda sudah tiba pada tahun 1596 oleh Cornelis de Houtman, dan dilanjutkan tokoh-tokoh pelaut Belanda lainnya.
Kian ramai Jayakarta dikunjungi pebisnis asing, Kesultanan Banten cenderung lebih dekat dengan Inggris yang merupakan kompetitor Belanda yang berambisi untuk memonopoli segala lini perdagangan.
Baca Juga: Di Balik Kuasa Kesultanan Banten dalam Perniagaan Mancanegara
Belanda lewat VOC sebenarnya sudah melakukan perjanjian dengan Pangeran Jayawikarta pada 1610.
Dalam Batavia Kota Hantu (2010) karya Alwi Shahab, selepas perjanjian itu rupanya pihak VOC mendirikan benteng tanpa seizin Pangeran Jayawikarta pada 1617. Sontak, Pangeran Jayawikarta geram dan meminta tolong pada Inggris untuk menyerang VOC.
Bukannya menang, Inggris malah dipukul mundur dan disuruh meninggalkan Jayakarta. VOC sendiri membakar benteng Inggris, dan menyerang Pangeran Jayawikarta bersama pasukan Kesultanan Banten lainnya pada 1619. Kota itu sepenuhnya dikuasai Belanda.
Kota ini kemudian diberi nama Batavia lewat kesepaakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) VOC pada 4 Maret 1621. Nama Batavia dipilih karena mengenang etnis Bataaf yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman.
Jan Pieterszoon Coen pun memberikan semboyan untuk kota ini yakni "Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons" yang berarti "Jangan putus asa, jangan ampuni musuhmu, karena Tuhan bersama kita."
Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
M. Nijhoff dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, (Vol. 3 Tahun 1855) mengungkapkan bahwa pada saat itulah pembangunan dimulai, benteng Belanda dibangun kembali dengan parit.
Baca Juga: Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan
Batavia di bawah VOC bukanlah tempat yang damai. Tak lama setelah berhasil berdiri, Kesultanan Mataram sempat menyerang kota yang dikelola swasta ini lewat dua serangan. Serangan ini memperburuk situasi kota itu karena mengotori dan membendung aliran sungai. Meski mereka kalah dalam pertempuran, rupanya upaya itu membuat wabah kolera terjadi di dalam Batavia.
Julinar Said dan Triana Wulandari dalam Ensiklopedi Pahlawan Nasional (1995) menulis, wabah itu pun berdampak pada kesehatan Jan Pieterszoon Coen, dan mengakibatkannya tewas.
VOC pun mulai berperan dalam kancah politik Kesultanan Banten sebagaimana yang dipaparkan J.A van der Chijs dalam Oud Bantam (1881). Setelah itu, masih ada banyak peristiwa bersejarah lainnya di Batavia. Mulai dari Geger Pacinan pada 1740 yang melibatkan pasukan Jawa-Tionghoa, hingga usaha peralihan kekuasaan oleh Jepang pada 1942.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR