Selama beberapa kunjungan pertamanya, dia mendapat akses tambahan untuk mempelajari budaya suku tersebut. Setelah menempuh lintasan menuju dataran tinggi, salah satu tetua suku, yang bernama Gemtasu, menceritakan satu hal kepadanya: Ketika meninggal, ia ingin dimumikan.
Suku Anga terdiri atas 45.000 orang. Mereka memiliki proses mumifikasi yang jauh berbeda dengan cara Mesir kuno. Masyarakat Mesir kuno biasanya membongkar tubuh bagian dalam mayat dan kemudian menghilangkan organ, lalu dibungkus dengan sebuah kain. Sedangkan dalam mumifikasi suku Anga, tubuh mereka didudukkan di atas asap selama tiga bulan. Asap membantu mengawetkan mayat dalam budaya tropis.
Metode mumifikasi terdiri atas struktur yang ketat. Tubuh yang tergantung di atas api, karena menggembung, mayat akan disodok menggunakan tongkat secara lembut guna melebarkan anus. Tujuannya, untuk mengalirkan cairan dan membantu untuk merontokkan organ di dalam tubuh.
Baca Juga: Pertama Kalinya di Dunia, Mumi Mesir Ditemukan dalam Kondisi Hamil
Bagian terpenting dari proses ini bertujuan untuk menjaga wajah mayat tersebut tetap utuh. Dalam budaya mereka, satu-satunya cara untuk melestarikan sosok seseorang yang meninggal adalah dengan melihat secara fisik wajah abadinya.
“Jika kita memiliki foto, mereka (suku Anga) memiliki mumi,” kata Lohmann. ”Suku Anga percaya bahwa roh-roh akan berkeliaran secara bebas pada siang hari dan kembali ke dalam tubuh mumi mereka pada malam hari. Tanpa melihat wajah mereka, roh-roh tersebut tidak dapat menemukan tubuh mereka sendiri dan berkeliaran selamanya.”
Proses mumifikasi pernah tersebar luas di Papua Nugini dan pulau-pulau Pasifik Selatan lainnya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Cara mengawetkan tubuh seseorang dipandang sebagai upaya untuk menjaga kenangan, dibanding penguburan dalam tanah.
Namun, kedatangan misionaris Kristen dan pejabat pemerintah Inggris dan Australia pada pertengahan abad ke-20 memunculkan stigma dalam hal moralitas dan kebersihan.
Baca Juga: Temuan Mumi Burung di Gurun Atacama Chile Singkap Sisi Gelap Manusia
Kendati Gemtasu tidak mengetahui berapa lama ia akan hidup, ia merasa bahwa akhir hidupnya sudah dekat. Ia sadar betapa pentingnya mempertahankan suatu tradisi. Dengan menjadi mumi, Ia percaya dapat melindungi keluarganya.
Gemtasu mengajarkan kepada anak-anaknya yang telah dewasa bagaimana cara mumifikasi. Dan, Gemtasu meminta secara langsung kepada Lohmann untuk memotret proses mumifikasi dirinya dan membagikan cerita tentang dirinya.
Anak-anaknya, seperti kebanyakan anggota suku lain, tentu menolak hal tersebut. Mereka mengatakan telah meninggalkan tradisi mumifikasi yang memakan banyak tenaga dan waktu, selain itu juga akibat bau menyengat yang dihasilkan dari daging manusia yang diasap. Suku ini juga sudah mengalami penipisan jumlah anggota karena urbanisasi ke kota-kota pelabuhan.
“Ayah mendesak saya terus dalam waktu yang cukup lama, sehingga saya tidak dapat melakukan apa-apalagi untuk menolaknya, selain berjanji dan mewujudkan keinginan dirinya menjadi kenyataan,” kata Awateng, salah satu anak Gemtasu.
Kemudian, pada 2015 lalu, Gemtasu wafat.
Source | : | national geographic |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR