"Secara keseluruhan, penelitian ini mengungkapkan bahwa coelacanth adalah salah satu hewan yang tumbuh paling lambat dan bereproduksi paling lambat di dunia," ujar pemimpin peneliti studi Kélig Mahé dari Channel and North Sea Fisheries Research Unit di National Institute for Ocean Science (IFREMER) di Boulogne-sur-mer, Prancis, seperti dikutip dari Live Science.
Coelacanth bersirip lobus telah ada sejak zaman Devon, sekitar 400 juta tahun yang lalu. Akan tetapi, para peneliti, yang mulai menemukan fosil coelacanth pada abad ke-19, mengira garis keturunan purba ini telah punah sekitar 66 juta tahun yang lalu pada akhir periode Cretaceous. Saat itulah sebuah asteroid menghantam Bumi dan membunuh dinosaurus nonavian.
Namun, persepsi itu berubah pada 1938, ketika seorang pemancing menangkap seekor coelacanth hidup di lepas pantai Afrika Selatan. Setelah itu, semakin banyak ikan coelacant hidup lainnya yang juga ditemukan, baik di Afrika Selatan maupun di wilayah lain.
Kendati begitu, ikan laut dalam ini tetap menjadi misteri bagi para ilmuwan. Misalnya, coelacanth Afrika (Latimeria chalumnae) dapat tumbuh hingga panjang 6,5 kaki atau 2 meter dan berat hingga 231 pon atau 105 kilogram.
Baca Juga: Madagaskar Mungkin Jadi Benteng Rahasia bagi 'Fosil Hidup' Coelacanth
Anehnya, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ikan ini tumbuh menjadi ukuran besar hanya dalam 20 tahun. Tingkat pertumbuhan ini menempatkan coelacanth sebagai salah satu ikan laut yang tumbuh paling cepat, sebanding dengan tuna.
Yang aneh lagi, coelacanth memiliki metabolisme yang rendah dan fekunditas yang rendah. Dua faktor ini biasanya tidak terlihat pada spesies dengan tingkat pertumbuhan yang cepat, kata para peneliti. Selain itu, dua penelitian sebelumnya hanya memeriksa 12 spesimen coelacanth yang sama.
Dalam studi baru yang laporannya telah terbit secara online pada 17 Juni 2021 di jurnal Current Biology ini, para peneliti memeriksa 27 coelacanth yang ditangkap di dekat Komoro, sekelompok pulau yang terletak di antara Mozambik dan Madagaskar. Ikan ini — yang mencakup 13 betina, 11 jantan, satu remaja, dan dua embrio — ditangkap antara tahun 1953 dan 1991, dan sekarang menjadi bagian dari koleksi di Museum Nasional Sejarah Alam di Paris.
Source | : | Live Science,current biology |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR