Ketika mendapatkan kabar bahwa saya mendapatkan penugasan untuk meliput isu transportasi Jakarta, saya langsung menerimanya. Pasalnya, saat ini saya sedang tertarik pada isu urban dan perubahan sebuah kota. Saya merasa tertantang. Kebetulan pula, saya hidup dan beraktivitas di Jakarta yang memang sedang berubah.
Secara umum, saya tidak menghadapi banyak kesulitan dalam meng-cover isu ini, secara geografis saya memahami lokasi-lokasi penting yang harus saya potret. Kendala utamanya, tentu saja, masalah transportasi untuk menuju lokasi. Mengingat saya harus memotret tentang transportasi, saya harus berjibaku dengan kemacetan itu sendiri, naik bus umum, Mikrolet, Metromini, Bajaj, dan ojek motor.
Tujuannya, agar saya tetap bisa merasakan ambience dan suasana yang dirasakan hampir semua masyarakat yang tinggal di Jakarta, atau pekerja komuter yang harus pergi-pulang dari Jakarta ke tempat tinggal mereka di pinggir-pinggir Jakarta. Kerap kali, saya sudah berupaya berangkat pagi hari (untuk mendapatkan cahaya yang baik), tetapi karena macet akhirnya tujuan itu tidak tercapai.
Menurut saya, sistem transportasi Jakarta masih sangat tradisional. Di belahan dunia lain, masyarakat sudah melakukan efisiensi dengan menggunakan transportasi publik yang cepat dan fungsional. Di Jakarta, kebalikannya, mengingat tidak punya sistem transportasi yang mumpuni, akhirnya memilih untuk membeli kendaraan pribadi. Hal ini diperparah dengan begitu mudahnya membeli kendaraan pribadi, mulai soal pajak, kepemilikan, atau murahnya bahan bakar.
Belakangan ini, saya mulai sering menggunakan sepeda sebagai pengganti moda transportasi sehari-hari. Dengan sepeda, saya dengan mudah meliuk-liuk dalam kemacetan Jakarta, bahkan sering lebih cepat dibandingkan menggunakan kendaraan bermotor.
Dalam penugasan ini, saya juga menemui fenomena menarik, dan fenomena ini saya tangkap lewat gambar di atas: seorang remaja putri Jakarta justru asyik dengan ponselnya, mengupdate status media sosial, dalam situasi macet. Sepertinya, bagi mereka, kemacetan justru menjadi berkah karena memberi mereka kesempatan untuk bermain di media sosial.
PROMOTED CONTENT
REKOMENDASI HARI INI
Heroisme Achmad Mochtar, Dokter Berjasa yang Dipenggal Jepang
KOMENTAR