Esperanza Cancina, 48, yang hidup dengan menjual baju bekas, telah menempatkan keluarga besarnya dan dirinya sendiri yang bertubuh besar, lengkap dengan rok dalam dan roknya, di lokasi tempat duduk terbaik di sisi ring yang terletak di belakang kursi pembawa acara, sebuah posisi yang aman dari jagung brondong, tulang ayam, dan botol minum plastik kosong yang sering dilemparkan oleh penonton ke arah para rudo. Tempat duduk di sisi ring dijual seharga sekitar Rp 13.500 per kursi, harga yang tidak murah, tetapi Señora Cancina dengan setia menghadiri pertunjukan setiap hari Minggu berikutnya. ”Ini adalah sebuah pengalihan,” katanya menjelaskan. Para cholita bertarung di sini dan kami tertawa serta melupakan masalah-masalah kami untuk tiga atau empat jam. Di rumah, kami bersedih.”
Di sekeliling kami, anggota penonton termuda, termasuk cucu-cucunya, merubungi pinggiran ring dalam kegilaan yang histeris, mencontoh loncatan-loncatan lucha dan membuntuti seorang pegulat yang baru saja dikalahkan, mencoba memeluknya, menyentuh kostumnya. Suara musik amat keras dan sangat sulit untuk melakukan perbincangan, tetapi Señora Cancina sungguh ramah dan kooperatif. Ia punya 12 anak, katanya, tetapi setelah terdiam sesaat menambahkan bahwa enam diantara mereka meninggal. Kenapa? Wajahnya menunjukkan kehampaan yang menyedihkan. ”Demam skarletina, diare, penyakit-penyakit seperti itu...” gumamnya dan ia pun harus mengulang jawabannya itu karena suara ribut. Apakah ia ingin menjadi seorang luchadora juga? Tentu saja, jawabnya. ”Suami kami memperolok kami, andaikan kami pegulat, kami dapat mengekspresikan kemarahan kami.”
Di sisi yang jauh dari bangku Esperanza, di pusat area yang mejadi asal lemparan tulang ayam, Rubén Copa, pembuat sepatu dari La Paz yang murah senyum tidak sabar menunggu penampilan pamungkas sore itu—pertarungan yang melibatkan ‘’Mumi Ramses II’’ melawan beberapa cholita belum diumumkan. ”Kau tahu, pegulat Bolivia tidaklah buruk,” ucapnya dengan nada bangga. Bahkan pegulat perempuannya juga? Ia mendengus dan mengibaskan tangannya tanda protes. ”Tidak ada seperti itu lagi! Sekarang, pekerjaan apapun cocok bagi siapa pun.” Aku ingin tahu apakah benar bahwa para lelaki datang ke lucha libre hanya
untuk menyaksikan celana dalam para cholita (yang bentuknya tidak seksi). Untuk beberapa saat ia tampak tersinggung, tetapi ia pun tersenyum kembali. ”Tidak sama sekali!” katanya. ”Saya datang untuk melihat mereka bermain gulat. Kau bisa lihat sendiri betapa jagonya mereka.”
Benarlah, beberapa menit kemudian sang Mumi Ramses II berkeliling penuh jumawa dalam pakaian bernoda merah dan wig seram, menyeret seorang cholita di belakangnya sementara seorang cholita lain mencari sesuatu yang bisa dipakainya untuk membakar sang Mumi dan anak-anak menjerit dalam kengerian yang nikmat dan Señora Cancina memekikkan pada sang Mumi kata-kata yang tidak dapat dimasukkan di majalah ini, sambil tersenyum lebar. Sang Mumi menghempaskan korbannya ke dinding dan tampaknya para cholita seperti yang diperingatkan oleh sang pembawa acara, menghadapi situasi yang sulit dalam definitivo y final combate ini—kelihatannya sangat, sangat sulit. Namun saya rasa tidak ada yang dapat membuat seorang cholita menyerah. Ini Martha datang, terbang membelah udara!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR