Koleksi kargo yang serupa (bersama mangkok-mangkok tersebut, terdapat pula 763 tempat tinta yang bentuk dan ukurannya sama, 915 toples rempah dalam beraneka ragam ukuran, 1.635 teko vas) serta keragaman lokasi produksinya (dari sekurangnya lima tempat pembakaran yang tersebar luas di China), dapat disimpulkan bahwa benda-benda tersebut adalah barang ekspor yang dibuat sesuai pesanan. Dekorasi barang menunjukkan berbagai pilihan pasar global. Terdapat sesuatu bagi semua pihak: simbol lotus Buddha and motif-motif dari Asia Tengah dan Persia. Benda-benda yang dipenuhi dengan hiasan geometris dan tulisan-tulisan dari Al-Qur’an jelas ditujukan untuk pasar Islam. Wadah-wadah keramik putih dan mangkok-mangkok bernuansa warna hijau serta teko-teko vas terkenal digemari di Iran. Permukaan sebuah mangkok dilukis dengan lima baris vertikal, yang ditafsirkan oleh beberapa ilmuwan sebagai simbol yang memiliki arti kuat dalam dunia masa kini: Allah.
Sama halnya dengan berkapal-kapal sepatu kets dan barang elektronik dengan tanda “Buatan China” masa kini, sebagian besar benda yang ditemukan dari dhow yang karam tersebut adalah barang dagangan. Namun di buritan kapal, para penyelam menemukan harta karun emas, perak, serta keramik kualitas tinggi yang signifikansinya lebih misterius.
Sambil membuka balutan tebal bungkus kertas putih yang bebas zat asam, Alvin Chia mengangkat sebuah gelas menggunakan tangan yang bersarung. “Ini adalah gelas emas terbesar dinasti Tang yang pernah ditemukan,” katanya. Chia adalah seorang eksekutif yang tergabung dalam Sentosa Leisure Group Singapura yang bekerjasama dengan pemerintah negeri itu untuk mengalahkan Museum Shanghai dan membeli seluruh isi kargo tersebut pada tahun 2004 dengan harga sebesar lebih dari 330 miliar rupiah. Suatu saat koleksi tersebut kemungkinan akan menjadi inti dari sebuah museum Rute Sutera Maritim.
Chia menunjukkan bahwa gambar dua lelaki yang terdapat pada bagian atas pegangan cangkir terlihat seperti orang Asia Tengah daripada China, dengan rambut panjang bergelombang dan janggut tebal. Di sisi cangkir, panel-panelnya menunjukkan bentuk-bantuk tubuh yang bergerak: seorang penari Persia yang tengah bertepuk tangan di atas kepalanya, pemain-pemain musik yang memainkan berbagai instrumen. Pada masa Tang China, jelas Chia, musik dan tarian yang berasal dari timur Persia merupakan sesuatu yang tengah digandrungi.
Sebuah botol perak besar penuh hiasan yang amat bagus mungkin dapat memberi petunjuk tentang maksud pengiriman tersebut. “Lihat gambar sepasang bebek mandarin ini?” tanya Chia. “Keduanya adalah simbol harmoni pernikahan. Pada kotak-kotak berornamen semuanya juga digambarkan berpasangan: sepasang burung, sepasang rusa, sepasang ibex (kambing gunung).” Mungkin benda-benda ini adalah pemberian bagi sebuah pernikahan kerajaan di Teluk Persia—harta pengantin dalam bentuk tersebut jarang terlihat di luar China.
!break!
Sejak China memulai perdagangan globalnya lebih dari 2.000 tahun yang lalu, mereka telah membuka dan menutup diri seperti cangkang kerang. Selama dinasti Tang, cangkang tersebut terbuka lebar dan bertahan seperti itu selama berabad-abad. Serangkaian penemuan—bubuk mesiu, kertas, mesin cetak, dan besi cetakan—telah menempatkan China pada jalur untuk menjadi kekuatan ekonomi terdepan di dunia. Perdagangan dengan Barat secara perlahan mulai berkembang dengan pelaut-pelaut China yang memegang peranan yang semakin dominan.
Ketika laksamana besar Cheng Ho berlayar pada tahun 1405 dengan armada berkekuatan 317 kapal, China merajai lautan. “Jika Anda duduk di dalam pesawat luar angkasa dan memandang ke arah Bumi, dan Anda memperhatikan perkembangan yang terjadi dari abad kesembilan hingga ke-15,” kata John Miksic, “Anda akan berpikiran bahwa bangsa China akan mengambil langkah berikutnya—menjelajahi samudera Atlantik dan menjadi budaya dominan di dunia.” Namun sepanjang sejarah China, terdapat sebuah kekuatan setara lainnya yang turut bekerja: kecurigaan terhadap para saudagar dan pengaruh asing yang mereka impor, tercatat sejak zaman Confucius, yang meyakini bahwa perdagangan dan perniagaan tidak boleh mendiktekan kebudayaan dan nilai-nilai China.
Pada tahun 878 M, setengah abad lebih sedikit setelah kapal Belitung karam, seorang pemimpin pemberontak Huang Chao membakar dan menjarah Guangzhou, membunuh puluhan ribu warga Muslim, Yahudi, Kristen, dan Parsi. Tak lama setelah perjalanan Cheng Ho, ketika Columbus mendarat di Dunia Baru, pemikiran Confucius mulai mendominasi budaya China; China membakar armada kapalnya dan mulai menutup diri. Jalur Sutera dan Rute Sutera Maritim yang sebelumnya menghubungkan China dengan seluruh dunia terpuruk tak dipakai. Lalu, bangsa Portugis memasuki Samudera Hindia dan pada akhir abad ke-17 serta awal abad ke-18, Eropa mulai mendominasi perdagangan dunia. “Keseluruhan sejarah dunia akan sangat berbeda jika bangsa China tidak menarik diri masuk ke dalam cangkangnya selama 500 tahun,” kata Miksic.
Kini China berkompetisi dengan India untuk menjadi bengkel kerja dunia. Belum pernah China membuka diri seperti sekarang dan kembali berdagang dengan rekan kunonya di Timur Tengah. Iran, salah satunya, memasok 12 persen minyak China. Sebagai balasannya, Beijing menyediakan mesin-mesin dan lokomotif, membangun jalur kereta bawah tanah dan rel kereta, serta membantu Teheran mengeksploitasi sumber-sumber mineralnya yang melimpah, meneruskan aktivitasnya dari abad kesembilan, ketika kobalt dikapalkan dari Persia ke China sebagai ganti atas keramik biru putih yang ditemukan di kapal Belitung.
“Jejaring kuno kini dihidupkan kembali melalui berbagai industri dan pabrik dalam sebuah dunia yang kini terglobalisasi,” kata Wang Gungwu, seorang sejarawan dari National University of Singapore.
Seberapa lama kondisi ini akan tetap berlangsung, tidak seorang pun tahu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR