Namun, ketika Levy mulai memeriksa situs yang dikenal sebagai Khirbat en Nahas (dalam bahasa Arab berarti "puing-puing tembaga"), sampel yang dikirimkannya ke Oxford untuk ditentukan usianya dengan metode radiokarbon menegaskan bahwa klaim Glueck memang tepat: Ini adalah situs produksi tembaga abad ke-10 SM—dan, Levy menambahkan dengan yakin, "sumber tembaga terdekat ke Yerusalem."
Tim yang dikepalai oleh Levy dan sejawatnya dari Yordania, Mohammad Najjar, berhasil menggali gerbang berkamar empat yang mirip dengan gerbang yang ditemukan di sejumlah situs di Israel yang mungkin berasal dari abad ke-10 SM. Beberapa kilometer dari kompleks pertambangan itu, mereka berhasil menggali sebuah permakaman yang berisi lebih dari 3.500 makam yang berasal dari kurun waktu yang sama. Mungkin, makam itu berisi sisa-sisa jenazah kaum nomaden pegunungan dari Zaman Besi yang menurut sumber Mesir purba dikenal sebagai Shasu. Menurut Levy mungkin orang-orang itu "ditawan pada suatu waktu tertentu dan dipaksa bekerja di pertambangan."
Sebagian besar kegiatan di tambang itu tampaknya berhenti menjelang akhir abad ke-9 SM. Lapisan yang dinamakan "lapisan jarahan" yang digali oleh mahasiswa Levy mungkin bisa menjelaskan alasannya.
Dalam lapisan ini mereka menemukan 22 biji kurma, yang ternyata berasal dari abad ke-10 SM. Selain itu mereka menemukan sejumlah artefak Mesir seperti jimat berkepala singa dan jimat berbentuk kumbang, keduanya berasal dari kurun waktu Firaun Shoshenq I. Penyerbuan wilayah itu oleh sang firaun tidak lama setelah kematian Sulaiman dikisahkan dalam Perjanjian Lama dan di Kuil Amun di Karnak.
"Saya sepenuhnya percaya bahwa Shoshenq mengakhiri produksi logam di sini pada akhir abad ke-10 SM," kata Levy. "Bangsa Mesir pada Periode Antara Ketiga tidak cukup kuat untuk menyediakan pasukan dan persenjataan di wilayah jajahan, dan itulah alasannya mengapa di sini kita tidak menemukan cetakan roti dan peninggalan kebudayaan penting lainnya yang khas Mesir. Namun, mereka mungkin melakukan serangan militer yang cukup besar—yang cukup kuat untuk mengalahkan beberapa kerajaan kecil ini, untuk memastikan bahwa mereka tidak menjadi ancaman bagi Mesir. Itulah yang menurut saya dilakukan oleh Shoshenq di sini."
Baca Juga: Naskah Kuno Alkitab dan Mumi Anak Kecil Ditemukan di Gua Horor Israel
"Neraka" yang berhasil digali oleh Levy di Khirbat en Nahas mungkin bisa merupakan "neraka" juga bagi teori Filkenstein tentang "kronologi abad lebih kini." Tambang tembaga yang ditemukan Levy mungkin tidak semenggairahkan istana Raja Daud atau tempat di ketinggian untuk mengamati perkelahian antara Daud dan Goliath. Namun, kegiatan penggalian Levy mencakup kurun waktu lebih panjang dan area lebih luas daripada yang dilakukan Eilat Mazar dan Yosef Garfinkel. Pun, jauh lebih sering menggunakan analisis radiokarbon untuk menentukan usia berbagai lapisan stratigrafi di situsnya.
"Semua ilmuwan yang mengkaji Edom pada 1980-an dan 1990-an menyatakan bahwa Edom tidak ada sebagai negeri sebelum abad ke-8 SM," kata Amihai Mazar. "Tetapi, analisis radiokarbon yang dilakukan Levy memberikan bukti lain, dan bukti tersebut menunjukkan kurun waktu abad ke-10 hingga ke-9 SM, dan tidak seorang pun bisa menyatakan bahwa bukti tersebut keliru."
Namun, justru itulah yang dilakukan para pengecam Levy. Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa 46 analisisnya yang pertama tidak memadai untuk membenarkan penyusunan kembali seluruh kronologi Edom. Untuk analisis C-14 yang kedua, Levy melipatduakan jumlah sampelnya dan dengan teliti memilih batubara yang berasal dari tanaman yang memiliki lingkaran kambium yang dapat dikaji.
Meskipun biaya analisis C-14 lumayan mahal—tekniknya tidak selalu jitu. "Karbon-14 tidak banyak membantu menyelesaikan semua pertentangan ini," kata Eilat Mazar. "Ada plus minusnya"—margin kesalahannya sekitar 40 tahun. "Laboratorium yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula. Banyak ilmuwan yang meragukan ketepatan hasil analisis C-14."
Filkenstein dan Amihai Mazar sama-sama tidak sependapat mengenai satu lapisan tertentu di Tel Rehov, sebuah kota dari Zaman Perunggu dan Zaman Besi yang lokasinya tidak jauh dari Sungai Yordan. Mazar berpendapat bahwa lapisan itu bisa jadi dari masa Sulaiman, sementara Filkenstein mengatakannya dari dinasti Omride yang lebih kini, yang mengambil nama dari Omri, ayah Ahab. Kesenjangan antara kedua masa itu sekitar 40 tahun.
"Banyak usia yang ditentukan dengan analisis radiokarbon untuk kurun waktu ini meliputi rentang waktu yang justru diperdebatkan," kata Amihai Mazar, sambil tersenyum pahit. "Bukan kurun waktu sebelum atau sesudahnya. Keadaan masih tetap sama selama 15 tahun ini."
"KITA BISA SAJA MENEMUKAN bukti radiokarbon bahwa Daud adalah orang desa yang tinggal di Norwegia pada abad keenam!" kata Israel Filkenstein. Tampaknya dia sengaja melebih-lebihkan untuk menegaskan maksudnya, sebagaimana yang sering dilakukannya.
"Tetapi, serius, saya senang membaca apa pun yang ditulis oleh Tom tentang Khirbat en Nahas. Tulisannya membuat saya terilhami. Saya sendiri tidak akan mau menggali di tempat seperti itu—terlalu panas! Buat saya, arkeologi itu harus menyenangkan. Cobalah datang ke Megiddo—kami tinggal di losmen berpenyejuk udara yang bersebelahan dengan kolam renang."
Beginilah cara Filkenstein memulai sanggahannya, dengan kata pembuka santun yang tidak mampu menyembunyikan binar bola matanya yang "nakal." Sebagai ilmuwan, ahli arkeologi asal Tel Aviv ini memiliki sifat yang sangat gigih—sambil mencondongkan sosoknya yang tinggi dan menghadapkan wajahnya yang berjanggut ke wajah tamunya, melambaikan tangannya yang besar, mengatur nada suara baritonnya dengan kepiawaian seorang aktor kawakan.
Namun, sikapnya yang memesona itu dengan cepat membuat jengkel orang-orang yang pernah merasakan sengatannya. "Jika ingin menarik perhatian, Anda bisa bersikap seperti Filkenstein," kata Eilat Mazar. Yang juga tidak menyukai sikap Filkenstein adalah Yosef Garfinkel, yang mengatakan bahwa "Dia bahkan sama sekali tidak menggunakan ilmu pengetahuan—di situlah ironisnya. Ibarat memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Saddam Hussein."
Baca Juga: Sisa Reruntuhan Salah Satu Masjid Tertua di Dunia Ditemukan di Israel
Akan tetapi, teori Filkenstein tampaknya cukup berterima bagi ilmuwan, yang pendiriannya berada di antara mereka yang secara harfiah memercayai Alkitab sebagai sumber sejarah dan yang memandangnya sebagai mitos.
"Bayangkan saja Alkitab seperti saat Anda membayangkan situs arkeologi yang berlapis-lapis," katanya. "Beberapa lapisan ditulis pada abad ke-8 SM, beberapa pada abad ke-7 SM, kemudian melonjak ke abad ke-2 SM. Jadi, Alkitab ditulis selama enam ratus tahun. Ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak berasal dari zaman purba. Namun, realitas yang ditampilkan dalam kisah tersebut adalah realitas yang lebih kini. Daud, misalnya, adalah tokoh sejarah. Dia memang hidup pada abad ke-10 SM. Saya bisa menerima penjelasan bahwa Daud adalah semacam pemimpin kelompok yang bergolak, para pembuat onar yang tinggal di daerah pinggiran. Tetapi, saya tidak bisa menerima pendapat tentang kemegahan kota Yerusalem, atau kerajaan hebat di masa Sulaiman. Ketika para pengarang naskah itu menceritakannya, yang mereka bayangkan adalah realitas masa mereka sendiri, masa Kerajaan Assyria.”
"Nah, soal Sulaiman," katanya meneruskan sambil berdesah. "Boleh dikatakan saya melumatnya. Maaf saja! Coba kita kupas dia dan kita analisis kisahnya. Ambil contoh kunjungan istimewa Ratu Sheba—seorang ratu Arab datang berkunjung, membawa segala macam benda eksotis ke Yerusalem. Ini cerita yang mustahil terjadi sebelum 732 SM, sebelum dimulainya perdagangan oleh bangsa Arab di bawah penjajahan Assyria. Ambil lagi contoh kisah tentang Sulaiman sebagai pelatih hebat dalam perkudaan, kereta kuda, pasukan besar, dan sebagainya. Kisah tentang Sulaiman ini adalah kisah yang bercerita tentang kerajaan Assyria pada abad itu."
Tentang benteng tambang yang dikemukakan Levy, Filkenstein berkata, "Saya tidak percaya bahwa tambang itu berasal dari abad ke-10 SM. Tidak mungkin ada orang yang tinggal di situs ini selama berlangsungnya penambangan. Apinya, asap beracunnya—mustahil! Alih-alih, coba perhatikan benteng En Hazeva di sebelah barat Sungai Yordan, yang dibangun oleh bangsa Assyria di jalan utama menuju Edom. Menurut pendapat saya, bangunan yang dikemukakan Tom itu adalah benteng Assyria dari abad ke-8 SM, yang mirip dengan benteng lainnya. Dan coba perhatikan, dalam arkeologi Alkitab, situs yang digalinya bukanlah situs yang penting. Situs itu bukan kota yang bertahan dalam beberapa zaman, seperti Megiddo dan Tel Rehov. Dengan hanya mengandalkan terak, lalu mengatakan bahwa situs itu bukti paling kuat dalam perdebatan tentang sejarah menurut Alkitab—benar-benar mustahil, dan saya menolaknya mentah-mentah!"
Dengan lebih bersemangat, Finkelstein mencemooh temuan Garfinkel di Khirbet Qeiyafa: "Begini, saya tidak akan pernah mengatakan, ‘Saya menemukan sebutir biji zaitun di sebuah lapisan di Megiddo, dan biji zaitun ini—yang sudah dianalisis dengan karbon-14 ratusan kali—akan menentukan nasib peradaban Barat.’" Dia tertawa mengejek. Tidak adanya tulang babi, menyiratkan itu situs Yudea? "Memang itu bukti, tetapi bukan bukti yang meyakinkan." Tulisan langka yang ditemukan di situs itu? Mungkin dari Gath yang berasal dari bangsa Filistin, bukan dari kerajaan Yudea.
Ironisnya, Filkenstein, sang penentang arkeologi berdasarkan Alkitab itu menjelma menjadi kekuatan besar, sosok Goliath yang membela pendiriannya dari serangan para pemula terhadap teori kronologinya. Teori bahwa masyarakat maju di abad ke-10 SM mungkin ada di kedua sisi Sungai Yordan menyebabkan visi Filkenstein tentang era Daud dan Sulaiman benar-benar berada di pihak yang defensif.
Sejumlah besar tulisan sanggahannya dan nada suaranya yang sinis mencerminkan sikap pembelaan diri ini, dan argumennya kadang kala tampak agak dipaksakan. (Pendapatnya tentang tinggal di benteng di dekat situs penambangan tembaga bukanlah sesuatu yang mustahil bagi para penambang batubara di Bukit Asam atau penduduk yang tinggal di dekat Gunung kapur, Padalarang, misalnya.) Meskipun demikian, bahkan seandainya pun Garfinkel dapat membuktikan bahwa suku Yudea yang merupakan leluhur Daud tinggal di benteng Shaaraim—dan Eilat Mazar dapat menemukan catatan yang menyatakan bahwa Raja Daud memerintahkan pembangunan istana di Yerusalem, dan Tom Levy dapat membuktikan dengan pasti bahwa Raja Sulaiman menguasai tambang tembaga di Edom—semua ini bukan bukti yang mendukung kebenaran tentang kegemilangan dinasti dalam Alkitab. Berapa banyak lagi penggalian yang harus dilakukan agar pertikaian ini berhenti?
BANYAK AHLI ARKEOLOGI mempertanyakan apakah pertikaian sengit tentang kebenaran paparan Alkitab ini bermanfaat. Salah seorang di antara mereka, Raphael Greenberg dari Universitas Tel Aviv tanpa tedeng aling-aling berkata, "Pertikaian itu tidak menguntungkan bidang arkeologi. Yang seharusnya kita lakukan adalah memberikan informasi yang tidak diperoleh dari naskah atau cacatan sejarah yang sudah dipatok sebelumnya—terawangan lain ke masa lalu: kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, sesuatu yang lebih bermakna, bukan sekadar mengabsahkan Alkitab."
Tetapi, apakah Daud, dengan semua simbolismenya, tidak lagi penting apabila perbuatan baik dan kerajaanya pada akhirnya dipandang sebagai mitos belaka?
Ketika saya kemukakan kepada Filkenstein bahwa orang di seluruh dunia mempercayai kehebatan Daud, saya tercengang mendengar jawabannya.
"Begini, pada saat saya melakukan penelitian, saya harus membedakan antara sosok Daud menurut kepercayaan masyarakat dan sosok Daud menurut sejarah. Daud sangat penting bagi jatidiri masyarakat saya. Demikian pula, saya dapat menerima Peristiwa Eksodus tanpa memercayainya sebagai peristiwa nyata. Sosok Daud di mata saya adalah sosok Daud yang dicerminkan oleh raja Hezekiah yang lebih kini; sosok Daud yang dicerminkan oleh raja Josiah yang lebih kini; sosok Daud pada Nabi Zakaria tentang ramalan hari kiamat yang mengisahkan Yerusalem terbakar, tetapi Daud tetap hidup; sosok Daud yang merupakan penghubung dengan pemimpin umat Kristiani. Dari sudut pandang ini, sosok Daud sangat penting. Jika Anda menghendaki saya mengemukakannya secara sederhana, saya bangga bahwa sosok bersahaja ini menjelma menjadi sosok yang begitu penting dalam masyarakat Barat.”
"Jadi, bagi saya," kata Filkenstein, orang yang melucuti semua kemegahan itu dari sosok Daud, "Daud bukanlah sekadar prasasti di dinding benteng, bukan pula sekadar pemimpin sekelompok orang pada abad ke-10 SM. Bukan. Dia jauh lebih bermakna daripada semua simbolisme itu.
—Kisah feature ini pernah terbit di National Geographic Indonesia edisi Desember 2010.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR