Berikut ini alasan kedua untuk tidak begitu saja menerima kesimpulan Yossi Garfinkel: Dia mengumumkan kesimpulannya, dengan gesit dan menggebu-gebu. Padahal dia hanya menemukan empat butir biji zaitun yang dijadikan dasar untuk menentukan kurun waktu temuannya, ukiran tulisan yang sifatnya sangat taksa, dan hanya 5 persen situs penelitiannya yang digali.
Dengan kata lain, kata ahli arkeologi David Ilan, "Yossi pasti punya niat terselubung—antara lain memiliki kepentingan dari segi agama, tetapi juga memiliki kepentingan pribadi. Dia orang yang sangat pintar sekaligus ambisius. Filkenstein ibarat gorila besar, dan para ahli arkeologi muda berpendapat bahwa Filkenstein terlalu memonopoli arkeologi yang berkaitan dengan aneka kisah dalam Alkitab. Jadi, mereka ingin menumbangkannya."
Selain itu, dari sudut pandang berbagai pihak lain yang berkepentingan: Apabila Filkenstein berhasil ditumbangkan, kisah Raja Daud bisa kembali naik daun.
DAUD BERTAHAN SELAMA TIGA MILENIUM—selalu muncul dalam dunia seni, gereja, dan namanya digunakan oleh banyak orang. Bagi kaum Muslim, Daud adalah raja yang mulia sekaligus utusan Allah. Bagi umat Kristiani, Daud adalah leluhur Yesus, baik dari segi biologis maupun spiritual, dan karena itulah Yesus mewarisi status dan tanggung jawab juru selamat yang pernah disandang Daud.
Bagi bangsa Yahudi, Daud adalah cikal bakal Israel—raja penggembala yang dipilih Tuhan. Bangsa Yahudi adalah keturunannya dan Bangsa Pilihan Tuhan. Bahwa Daud tidak memiliki semua atribut ini, atau bahkan hanya sekadar mitos, sangatlah mustahil bagi kebanyakan orang.
"Kami berpendapat bahwa kami adalah salah satu bangsa tertua di dunia, berperan penting dalam ranah pengetahuan peradaban dunia, bahwa kamilah penulis buku yang menjadi sumber berbagai buku lainnya, yakni Alkitab," kata Daniel Polisar. Dia merupakan ketua Shalem Center, lembaga penelitian Israel yang membantu mendanai proyek penggalian Eilat Mazar.
Jika Daud dan kerajaannya dianggap tidak ada, maka Alkitab pun tidak ada. Paparannya bukan lagi karya sejarah, namun karya fiksi. Maka, Alkitab pun hanyalah upaya propaganda untuk menciptakan sesuatu yang tidak pernah ada. Dan, jika kita tidak berhasil menemukan buktinya, maka peristiwa itu pun mungkin tidak pernah terjadi. Karena itulah berbagai penelitian ini sangat besar artinya."
Baca Juga: Arkeolog Israel Tak Sengaja Memecahkan Temuan Telur Kuno 1.000 Tahun
Buku-buku Perjanjian Lama yang mengikhtisarkan kisah Daud dan Sulaiman terdiri atas sejumlah naskah yang boleh jadi ditulis sekurang-kurangnya 300 tahun setelah peristiwa itu terjadi. Penulisnya adalah para pengarang yang tidak terlalu objektif. Tidak ada naskah dari kurun waktu tersebut yang berhasil ditemukan untuk membenarkan klaim mereka.
Sejak masa-masa awal arkeologi yang didasarkan pada Alkitab, para ilmuwan berupaya tanpa hasil untuk memverifikasi bahwa memang pernah ada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, eksodus besar-besaran bangsa Israel keluar dari Mesir, penaklukan Jericho.
Meskipun demikian, Amihai Mazar, saudara sepupu Eilat dan salah seorang ahli arkeologi Israel yang terpandang, berkata, "Hampir semua orang sepakat bahwa Alkitab adalah naskah kuno yang berkaitan dengan sejarah negeri ini di Zaman Besi. Kita bisa memandangnya secara kritis, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan. Namun, kita tidak dapat mengabaikan naskah itu begitu saja—kita harus memperhitungkannya."
Akan tetapi, kata Mazar meneruskan, "Kita tidak semestinya mencari untuk membuktikan naskah itu secara harfiah." Namun, tetap saja, banyak sekali ahli arkeologi yang memusatkan seluruh perhatian selama karier mereka pada hal tersebut, yang dipelopori oleh ilmuwan Amerika yang sekaligus juga begawan arkeologi Alkitab, William Albright.
Salah seorang anak didik Albright adalah Yigael Yadin, yakni ilmuwan, politisi, dan petinggi militer Israel. Bagi Yadin dan para ahli arkeologinya, Alkitab bukanlah sesuatu yang bisa diperdebatkan. Akibatnya, ketika dia berhasil menggali gerbang kota di Hazor pada akhir 1950-an, kota yang disebut dalam Alkitab, Yadin melakukan sesuatu yang dianggap tabu dalam bidang arkeologi masa kini.
Tabu, karena saat itu penentuan usia dengan metode karbon belum ada, dia menggunakan Alkitab, bersama stratigrafi, untuk menentukan usia gerabah yang ditemukan di dalam gerbang. Dia menyatakan bahwa gerbang itu berasal dari abad ke-10 SM, masa kerajaan Sulaiman—karena Buku Pertama Para Raja menyatakan demikian.
Masalahnya, jika kita mengandalkan bab ini, yang memang ada di dalam Alkitab, kita harus menyadari bahwa bab tersebut ditambahkan lama setelah Sulaiman wafat pada 930 SM, ketika Israel pecah menjadi dua bagian—Yudea di selatan dan Israel di utara.
"Gezer adalah kota paling selatan di kerajaan Israel di kawasan utara, sedangkan Hazor adalah kawasan paling utara, dan Megiddo adalah pusat kegiatan ekonomi di kawasan tengah," kata ahli arkeologi Norma Franklin dari Universitas Tel Aviv. "Jadi, amatlah penting bagi para penulis kisah ini untuk mengklaim semua wilayah tersebut. Bagi Yadin, Alkitab mengatakan demikian. Titik. Tiga gerbang—semuanya pasti berasal dari masa Sulaiman."
Dewasa ini, banyak ilmuwan (termasuk Franklin dan sejawatnya Finkelstein) meragukan bahwa ketiga gerbang itu berasal dari masa pemerintahan Sulaiman, sementara ilmuwan lain (Amihai Mazar, misalnya) berpendapat bisa saja begitu.
Namun, semuanya menolak nalar pembuktian terbalik yang dianut Yadin, yang pada awal 1980-an membantu meluncurkan gerakan penentangan "minimalisme Alkitab," yang dipimpin oleh para ilmuwan di Universitas Kopenhagen.
Baca Juga: Einstein dan Politik: Mendukung Hak Yahudi hingga Menolak Israel
Bagi penganut aliran minimalisme ini, Daud dan Sulaiman hanyalah tokoh rekaan. Kredibilitas keyakinan ini dibuktikan tidak benar pada 1993, ketika sebuah tim penggalian di kawasan utara Israel di situs Tel Dan berhasil menggali stela basalt hitam yang bertuliskan "Rumah Daud." Namun, keberadaan Sulaiman, masih belum terbukti sama sekali.
Tanpa bukti tambahan, mau tak mau kita harus menerima dunia Alkitab abad ke-10 SM yang menjemukan. Pendapat ini dikemukakan pertama kali oleh Filkenstein dalam tulisannya pada 1996—bukan satu-satunya kerajaan besar yang memiliki kemegahan bangunan monumental, melainkan hanya memiliki bentang alam gersang. Bentang alam itu dikuasai oleh beberapa suku yang terpencar-pencar dan berkembang dengan lamban. Bangsa Filistin di selatan, bangsa Moab di timur, bangsa Israel di utara, bangsa Arama di utara jauh, dan ya, mungkin juga bangsa Yudea yang melakukan penyerbuan di bawah pimpinan penggembala muda di Yerusalem, sebuah kota kecil dan miskin.
Tafsiran ini membuat geram warga Israel yang memandang ibukota Kerajaan Daud sebagai cikal bakal masyarakat mereka. Banyak penggalian yang dilakukan di Yerusalem didanai oleh City of David Foundation. Direktur pengembangan internasionalnya, Doron Spielman, dengan jujur mengakui, "Tatkala kami menggalang dana untuk melakukan penggalian, yang mengilhami kami adalah pengungkapan Alkitab—dan hal itu sepenuhnya berkaitan dengan kedaulatan Israel."
Tidaklah mengherankan apabila kegiatan ini tidak disambut baik oleh penduduk Yerusalem yang kebetulan bangsa Palestina. Banyak penggalian ini dilakukan di bagian timur kota, tempat yang sudah dihuni keluarga mereka selama beberapa generasi. Mungkin sekali kelak mereka diusir jika proyek penggalian itu berubah menjadi klaim Israel untuk menjadikannya sebagai tempat permukiman mereka.
Dari sudut pandang bangsa Palestina, sikap tergesa-gesa mencari bukti arkeologi untuk membenarkan rasa kepemilikan sebagian orang sungguh tidak adil. Sebagai penduduk Yerusalem Timur dan guru besar arkeologi, Hani Nur el-Din berkata, "Saat saya melihat perempuan Palestina membuat gerabah tradisional sejak awal Zaman Perunggu, tatkala saya mencium roti taboon yang dibakar dengan cara yang sama dengan yang dilakukan orang pada milenium keempat atau kelima SM. Saya menganggapnya sebagai DNA budaya. Di Palestina memang tidak ada dokumen tertulis, tidak ada riwayat bersejarah—namun, tetap saja, ini adalah sejarah."
Kebanyakan ahli arkeologi Israel menghendaki agar hasil penelitian mereka tidak digunakan sebagai senjata politik. Namun, hal ini memang cara yang biasa digunakan negara baru yang masih terus menjajaki keabsahan mereka.
Baca Juga: Mandat Britania di Palestina, Awal Mula Konflik Israel-Palestina
Sebagaimana yang diamati oleh guru besar arkeologi Avraham Faust dari Universitas Bar-Ilan, "Bangsa Norwegia mengandalkan keberadaan situs Viking untuk menciptakan jatidiri yang terpisah dari para penguasa mereka yang berasal dari Swedia dan Denmark. Zimbabwe mendapatkan namanya dari situs arkeologi. Arkeologi adalah alat bantu yang sangat nyaman untuk menciptakan jatidiri bangsa.
Itulah salah satu hal yang membedakan Israel dengan negara lain. Jatidiri nasionalnya sudah ada jauh sebelum adanya kegiatan penggalian. Benda galian dapat menegaskan jatidiri itu… atau sebaliknya.
"TEMPAT INI IBARAT NERAKA," kata Tom Levy dengan riang saat berdiri di tepi sumur tambang terbuka purba yang dipenuhi terak legam sehitam batubara. Di sekelilingnya dan sejumlah sukarelawan mahasiswa S-1 dari University of California, San Diego, terbentang situs penggalian tembaga seluas 10 hektare.
Di samping kawasan itu tampak kompleks benteng besar yang terdiri atas reruntuhan rumah jaga berusia 3.000 tahun. Tampaknya para penjaga itu tinggal di dekat lokasi tambang, sambil mengawasi para pekerja yang mungkin dipaksa bekerja di situ.
"Apabila kita memiliki produksi berskala industri sebesar ini, pasti diperlukan sistem pengadaan makanan dan air minum," kata Levy lagi. "Saya tidak bisa membuktikannya, namun menurut pendapat saya, orang yang bekerja di lingkungan yang sangat berat ini pastilah para budak—atau mahasiswa S-1. Intinya, masyarakat miskin yang papa mustahil bisa melakukan kegiatan penambangan berskala sebesar ini."
Levy, sebagai ahli antropologi, pertama kali datang ke Yerusalem selatan pada 1997 untuk mengkaji peranan metalurgi dalam evolusi masyarakat. Distrik dataran rendah Faynan, tempat kita bisa menyaksikan kilauan malakhit biru-hijau dari jarak jauh, adalah tempat yang tepat untuk melakukan kajian tersebut. Tempat ini pulalah yang diklaim dengan bangga pada 1940 oleh rabi dan ahli arkeologi Amerika Nelson Glueck sebagai tempat dia menemukan tambang Edom yang dikuasai Raja Sulaiman.
Para penggali berkebangsaan Inggris yang berikutnya meyakini bahwa mereka telah menemukan bukti yang menyatakan bahwa kurun waktu yang ditetapkan oleh Glueck meleset sampai tiga abad. Juga, Edom sebenarnya baru ada pada abad ke-7 SM.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR