Namun, mungkin sudah terlambat. Padang rumput itu sedang sekarat, seiring kenaikan suhu selama beberapa dasawarsa—diperparah oleh merumput berlebihan—mengubah padang rumput menjadi padang pasir. Sumber-sumber air mengering, dan kini alih-alih menempuh perjalanan singkat untuk mencari tempat merumput musim panas bagi ternak, Ba O dan keluarganya harus melakukan perjalanan sekitar 50 kilometer melintasi dataran tinggi itu. Bahkan di sana pun rumputnya sedikit. Ternak keluarga itu telah berkurang dari 500 ekor menjadi 120. Langkah berikutnya tampaknya tak terelakkan: menjual sisa ternak dan pindah ke kamp pemukiman kembali pemerintah.
Di seantero Asia, respons terhadap ancaman akibat iklim umumnya lambat dan tidak menyeluruh, seolah-olah pemerintah lebih suka menyerahkannya ke negara maju yang memompa gas rumah kaca ke atmosfer. Tetapi, ada beberapa pengecualian. Di Ladakh, daerah kering di bagian utara India dan Pakistan yang bergantung sepenuhnya pada lelehan es dan salju, seorang pensiunan insinyur sipil bernama Chewang Norphel telah membangun "gletser buatan"—tanggul batu sederhana yang menahan dan membekukan lelehan gletser pada musim gugur untuk digunakan pada musim tanam di awal musim semi. Nepal sedang mengembangkan sistem pemantauan jarak jauh untuk mengukur kapan danau gletser terancam jebol, serta teknologi untuk mengurasnya. Bahkan di tempat-tempat yang menghadapi banjir monsun yang merusak seperti Bangladesh, "sekolah mengambang" di delta itu memungkinkan anak-anak melanjutkan bersekolah—di atas perahu.
Tetapi, tak ada yang melebihi respons China, yang memiliki air lebih sedikit daripada Kanada tetapi penduduknya 40 kali lipat. Di padang pasir terpencil di wilayah Xinjiang, tak jauh di utara Dataran Tinggi Tibet, China berencana membangun 59 waduk untuk menahan dan menyimpan lelehan gletser. Di seluruh penjuru Tibet, baterai artileri dipasang untuk meluncurkan perak iodida ke awan, untuk merangsang hujan. Di Qinghai pemerintah melindungi padang rumput yang terdegradasi dengan harapan dapat sehat kembali. Di daerah yang padang rumputnya sudah berubah menjadi gurun berbelukar, kawat berduri dibentangkan di atas sisa-sisa terakhir tanaman agar tidak terembus angin.
!break!
Di sepanjang jalan dekat kota Madoi tampak dua baris rumah yang baru selesai dibangun. Ini adalah desa pemukiman kembali bagi pengembara Tibet, bagian dari program besar dan kontroversial untuk mengurangi tekanan pada padang rumput di dekat sumber tiga sungai utama China—Sungai Yangtze, Sungai Kuning, dan Sungai Mekong—yang biasa dihuni hampir setengah dari 530.000 pengembara di Provinsi Qinghai. Puluhan ribu pengembara di sini harus mengubah cara hidup, dan banyak lagi—mungkin termasuk Ba O—yang akan mengikuti.
Hari belum siang di Delhi, hanya 290 kilometer di selatan gletser Himalaya. Tetapi, di gang sempit Nehru Camp, perkampungan kumuh di kota berpenduduk 16 juta jiwa ini, embusan udara musim panas India utara telah membuat suhu melonjak melebihi 40 derajat Celsius. Chaya, istri-peramal berusia 25 tahun, telah menghabiskan waktu tujuh jam berebut air yang, bahkan sampai hari ini, mewarnai kehidupan di metropolis yang padat ini—dan memberikan gambaran akibat berkurangnya air dan es Tibet.
Chaya mulai sibuk jauh sebelum matahari terbit, ketika dia dan lima anaknya menyebar dalam kegelapan, membawa jeriken plastik berbagai ukuran. Setelah fajar, rumor adanya keran yang mengucurkan air membuatnya tergopoh-gopoh dengan panik melalui gang sempit di perkampungan kumuh itu. Saat ini, dengan jeriken yang masih kosong dan terik matahari di atas kepala, ia pulang ke rumah untuk beristirahat sejenak. Ketika ditanya apakah dia sudah makan hari itu, dia tertawa:"Kami bahkan belum minum teh."
Kebutuhan air Delhi sudah melebihi suplainya sebanyak lebih dari satu miliar liter sehari. Kekurangan itu diperparah oleh distribusi yang tidak merata dan kebocoran infrastruktur yang mencapai sekitar 40 persen. Lebih dari dua pertiga air kota itu disedot dari Sungai Yamuna dan Gangga, yang mendapat airnya dari es Himalaya. Jika es itu menghilang, hampir dapat dipastikan masa depan akan lebih buruk. "Kami menghadapi situasi tidak berkelanjutan," kata Diwan Singh, aktivis lingkungan Delhi. "Tak lama lagi—bukan tiga puluh tahun, tetapi dalam lima hingga sepuluh tahun—akan ada eksodus karena kekurangan air."
!break!
Suasana sudah tegang. Dalam gang padat di sekitar salah satu keran Nehru Camp terakhir yang masih berfungsi, yang mengucur selama satu jam sehari, seorang pria menonjok wanita yang menyelak antrean, menyebabkan lebam ungu di wajahnya. "Setiap pagi kami bangun berebut air," ujar Kamal Bhate, astrolog lokal yang menyaksikan kegaduhan itu. Keributan yang ini reda menjadi teriakan dan saling tunjuk, tetapi perkelahian yang terjadi dapat berakibat fatal. Di perkampungan kumuh tak jauh dari situ, seorang remaja baru-baru ini dipukuli sampai mati karena menyelak antrean.
Dengan menyurutnya sungai, konflik itu dapat menyebar. India, China, dan Pakistan semua menghadapi tekanan untuk menggenjot produksi pangan agar dapat mencukupi kebutuhan penduduknya yang banyak dan terus bertambah. Tetapi, perubahan iklim dan berkurangnya pasokan air dapat mengurangi hasil panen serealia di Asia Selatan sebesar 5 persen dalam tiga dasawarsa. "Kita akan menyaksikan peningkatan ketegangan karena pembagian sumber daya air, termasuk perselisihan politik antara petani, antara petani dan kota, dan antara manusia dan kebutuhan air lingkungan," kata Peter Gleick, pakar air dan presiden Pacific Institute di Oakland, California. "Dan menurut saya akan semakin banyak ketegangan yang mengarah pada kekerasan."
Tantangan terbesar adalah mencegah terjadi konflik air antara negara. Saat ini sudah muncul rasa waswas di Asia Tengah mengenai kemungkinan negara-negara yang miskin tapi kaya gletser (Tajikistan, Kyrgyzstan) suatu hari nanti membatasi aliran air ke tetangganya yang kering tetapi kaya minyak (Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan). Di masa depan, perdamaian antara Pakistan dan India mungkin tergantung pada air di samping senjata nuklir, karena kedua negara itu harus berbagi Sungai Indus yang tergantung pada gletser.
Pertanyaan terbesar tertuju ke China, yang menguasai sumber sungai-sungai besar di kawasan itu. Pembuatan bendungan di Sungai Mekong telah menyebabkan kemarahan Indocina di hilirnya. Jika Beijing melanjutkan rencana tentatifnya untuk mengalihkan Brahmaputra, hal itu bisa memprovokasi rivalnya, India, di daerah tempat kedua negara itu berperang pada tahun 1962.
!break!
Bagi warga di Nehru Camp, kekhawatiran geopolitik tenggelam dalam hiruk-pikuk berebut air. Pada sore hari, keran di luar perkampungan kumuh itu tiba-tiba mengucur, dan Chaya, dengan tersenyum penuh kemenangan, menjunjung pulang kendi 40 liter penuh. Airnya kotor dan pahit, dan tidak ada sarana untuk menjerangnya. Tetapi sekarang, akhirnya, dia dapat memberi makanan pertama bagi anak-anaknya hari itu: sepotong roti dan beberapa sendok sup miju. "Mereka seharusnya belajar, tetapi kami terpaksa menyuruh mereka mencari air," kata Chaya. "Kami tidak punya pilihan, karena siapa yang tahu apakah kami bisa mendapat cukup air besok."
Fatalisme mungkin merupakan respons alami terhadap kekuatan yang tampaknya di luar kendali kita. Tapi Jia Son, petani Tibet yang menyaksikan penyusutan gletser Mingyong, yakin bahwa setiap tindakan berarti—baik maupun buruk, besar maupun kecil. Saat berhenti sejenak di gunung, dia membuat pengakuan. Pencairan es ini, katanya, mungkin kesalahannya.
Saat Jia Son menyadari peningkatan suhu pertama kalinya—tetesan keringat yang tak biasa di punggungnya sekitar satu dasawarsa lalu—dipikirnya itu karunia dari para dewa. Musim dingin tak sebrutal biasanya. Gletser mulai mencairkan airnya lebih awal di musim panas, dan untuk pertama kalinya sepanjang ingatan, penduduk desa dapat panen dua kali setahun.
Kemudian datanglah turis China, banjir penduduk kota yang bersedia membayar penduduk setempat untuk memandu mereka melihat gletser. Turis Han tidak selalu menghormati tradisi Buddha; saat berteriak riang untuk memicu salju longsor, mereka tampaknya tidak menyadari bencana yang menimpa gletser itu. Namun, mereka telah mengubah desa miskin itu menjadi salah satu yang terkaya di daerah itu. "Hidup jauh lebih mudah sekarang," kata Jia Son, yang rumah petaninya yang sederhana, seperti semua rumah di desa itu, dilengkapi televisi dan parabola subsidi pemerintah. "Tapi mungkin keserakahan kami membuat murka Kawagebo."
!break!
Yang dimaksudnya dewa temperamental di atas desanya. Sebagai salah satu gunung yang paling suci bagi agama Buddha Tibet, Kawagebo belum pernah ditaklukkan, dan penduduk setempat percaya puncaknya—dan gletsernya—harus tetap tak tersentuh. Ketika ekspedisi China-Jepang mencoba mendaki puncak itu pada tahun 1991, salju longsor di dekat puncak gletser menewaskan semua 17 pendaki. Jia Son tetap meyakini bahwa kematian itu bukanlah kecelakaan tetapi balasan dewa. Mungkinkah penyusutan Mingyong juga merupakan tanda kemurkaan Kawagebo?
Jia Son tidak mau mengambil risiko. Setiap tahun dia melakukan ziarah 15 hari di sekitar Kawagebo untuk menunjukkan ketaatannya kepada Buddha yang kian dalam. Dia tidak lagi berburu hewan atau menebang pohon. Sebagai bagian dari program pemerintah, ia juga menyerahkan sepetak tanah untuk dihutankan kembali. Keluarganya masih ikut serta dalam koperasi pariwisata desa itu, tetapi Jia Son memastikan pengunjung mengetahui pentingnya gletser itu secara spiritual. "Semua tak akan membaik," katanya, "sampai kami membuang cara berpikir yang materialistis."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR