Suatu hari beberapa tahun yang lalu, sebelum perang saudara terakhir berkecamuk, seorang anak lelaki Sudan yang bernama Logocho mengintip ke pintu masuk gubuk ilalang keluarganya. Ayahnya melompat keluar dan menangkapnya, kemudian bersama anak yang lebih tua, sang ayah menahannya di tanah. Logocho bocah yang aneh. Di atasnya, bahu dan dada ayahnya yang membusung dipenuhi bekas luka khas suku itu. Titik dan garis bak kode morse yang tertera di wajah dan kening sang ayah memberi tahu semua calon penjarah ternak--suku Dinka, Nuer--bahwa dia, sebagai orang Murle, akan membela ternaknya dengan tombak, pisau, tinju, dan gigi.
!break!
Namun, anaknya tidak tampak berminat pada tradisi lama. Ketika anak-anak lain, termasuk abangnya, mengikuti upacara daur hidup Murle untuk anak-anak, ia lari dan bersembunyi di semak-semak. Kini tubuhnya yang mulus seperti anak sapi gemetar dan melengkung di tanah. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia orang Murle.
Yang lebih mengkhawatirkan, bocah sembilan tahun itu tidak tampak tertarik pada sapi. Seperti abangnya, Logocho juga berjongkok untuk menyusu langsung dari sapi, tetapi baginya sapi hanya berarti susu. Dari dahulu kala, orang Murle--dan pesaing mereka di seluruh Sudan selatan--hidup bersama sapi mereka. Mereka menamai sapi-sapi itu, menghiasinya, dan tidur bersamanya. Pria menggunakan sapi untuk membayar pengantin, yang akan memberinya anak, yang akan menggembalakan lebih banyak sapi.
Buat apa kamu hidup? tanya ayah Logocho.
Sementara para pria dan binatang berpindah dari satu sumber air ke sumber air lain, Logocho lebih suka tinggal di rumah bersama neneknya. Wanita tua itu mengais tanah keras untuk menanam sorgum, kacang, jagung, dan bahkan labu. Logocho membantu menanam benih, mengurus tanaman, dan memanen. Sang nenek melindunginya dari ayahnya.
Kau istimewa, demikian dia selalu berkata.
Sayang perempuan itu tak bisa menyelamatkannya sekarang. Ayahnya dan anak lelaki itu menekannya kuat-kuat ke tanah. "Naa?" jerit Logocho. "Mengapa?"
Ketika dia melihat "spesialis", dia tahu jawabannya. Orang itu berlutut dan membungkuk di atas kepala Logocho, lalu meraih benda yang mirip kikir logam tipis. Dia membuka rahang anak itu secara paksa lalu menyisipkan pisau di antara dua gigi tengah bawah. Dia memasukkannya sampai ke gusi, lalu dengan menyentakkan pundak dia memutar pisau itu. Krak! Satu gigi seri pecah, dan darah memenuhi mulut Logocho yang mengerang. Spesialis itu kembali memasukkan bilah itu dan--krak!--menghancurkan gigi tengah satu lagi.
Sekarang kau mirip Murle.
!break!
Dalam beberapa bulan berikutnya, kekacauan melanda Logocho dan tanah airnya. Seorang ahli nujum di desa itu meramal keluarganya akan tertimpa bencana. Di seantero Sudan selatan, amarah sekian generasi meletus pada tahun 1983 dalam perang mengerikan yang tidak diketahui dunia luar. Selama dua dasawarsa berikutnya, lebih dari empat juta orang selatan melarikan diri dari desa masing-masing ke pedalaman, kota-kota di utara, dan negara tetangga. Dua juta tewas.
Riwayat hidup Logocho--melarikan diri, berperang, mencari tujuan--paralel dengan riwayat Sudan selatan itu sendiri. Namun, pada hari ini sang ayah melepaskannya dan berjalan menjauh bersama spesialis. Logocho berguling miring sehingga darah dari mulutnya bisa mengalir, membasahi debu.
Penyebab ketegangan di Sudan begitu geografis, begitu tegas, sehingga bahkan bisa dilihat dari permukaan bulan. Kemuning Sahara nan luas di utara Afrika versus sabana dan hutan hijau di bagian tengah benua yang menyempit. Gading besar yang bernoda rumput. Penduduk pada umumnya bermukim di kedua sisi hutan pemisah itu. Sudan tepat berada di garis itu, dengan gurun kering di utara dan padang rumput serta hutan hujan tropis di selatan, dan budaya yang sangat berbeda di kedua sisinya.
Di Sudan, dulu terjadi benturan antara orang Arab dan Afrika berkulit hitam. Penakluk Islam pada abad ketujuh mendapati bahwa banyak penduduk negeri yang pada saat itu disebut Nubia menganut agama Kristen. Bangsa Nubia mengadakan perlawanan sehingga terbentuk pakta perdamaian yang bertahan lebih dari satu milenium, sampai serbuan wali Turki Utsmani di Kairo, yang menjadikan negeri di selatan Mesir itu sumber gading dan manusia. Pada 1820 dia memiliki 30.000 orang budak yang dikenal sebagai Sudan, yang berarti "hitam".
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR