Namun, justru karena mengalami begitu banyak masalah, Bangladesh sudah lama menjadi laboratorium untuk solusi inovatif di dunia berkembang. Di Dhaka ada BRAC, lembaga nirlaba terbesar di dunia berkembang, yang dianggap sebagai model dalam hal menyediakan perawatan kesehatan dasar dan layanan lain dengan sepasukan pekerja lapangan. Bangladesh juga menghasilkan gerakan mikro-keuangan global yang dirintis oleh penerima Hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus dan Grameen Bank-nya.
Dan percaya atau tidak, negara itu juga sukses dalam hal populasi. Untuk memangkas tingkat kelahiran, Bangladesh mengembangkan program keluarga berencana akar rumput pada tahun 1970-an, yang berhasil menurunkan tingkat fertilitas dari 6,6 anak per wanita pada 1977 menjadi 2,4 sekarang—rekor bersejarah, bagi negara yang begitu miskin dan buta huruf.
“Mulanya sangat sulit,” kata Begum Rokeya, 42, pekerja kesehatan pemerintah di Distrik Satkhira, yang telah mengunjungi ribuan rumah untuk membujuk pengantin baru menggunakan kontrasepsi dan merencanakan jumlah anak. “Negara ini sangat konservatif, dan kaum lelaki menekan kaum perempuan agar punya banyak anak. Tetapi, mereka mulai menyadari bahwa jika anak-anaknya diimunisasi, mereka tidak perlu punya banyak bayi hanya supaya ada beberapa yang selamat. Mereka senang membayangkan tidak perlu memberi makan terlalu banyak mulut.”
Bangladesh telah mencapai kemajuan besar dalam mendidik kaum perempuan dan memberi mereka peluang ekonomi; tingkat partisipasi kerja perempuan telah meningkat dua kali lipat sejak 1995. Ekonominya tumbuh, dibantu oleh industri ekspor garmennya. Dan Bangladesh berhasil memenuhi Sasaran Pembangunan Milenium PBB yang penting: Tingkat kematian bayi turun drastis antara 1990 dan 2008, dari 100 kematian per 1.000 kelahiran menjadi 43—salah satu laju perbaikan terbesar di antara negara berpendapatan rendah.
!break!
Di Dhaka, kesuksesan seperti itu tampak tak berarti dibanding kemiskinan yang merajalela dan kedatangan warga desa yang tiada henti, sehingga berbagai organisasi, termasuk BRAC, terdorong untuk terjun membantu warga desa mencari jalan bertahan hidup di lingkungan yang berubah. “Sasaran kami adalah mencegah orang datang ke Dhaka sejak awal, dengan membantu mereka beradaptasi dan mencari cara-cara baru mencari nafkah di desa masing-masing,” kata Babar Kabir, kepala program manajemen perubahan iklim dan bencana di BRAC. “Badai besar seperti Aila mencerabut mereka dari kehidupan yang mereka kenal.”
Ibrahim Khalilullah sudah tak tahu lagi berapa kali dia pindah rumah. “Tiga puluh? Empat puluh?” tanyanya. “Apa itu penting?” Menurut perkiraannya dia pindah sekitar setahun sekali seumur hidupnya, dan kini usianya 60 tahun lebih. Entah bagaimana, meski sering pindah, ia dan istrinya berhasil membesarkan tujuh orang anak yang “tak pernah tidak makan,” katanya dengan bangga. Ia pria yang hangat dan ramah, rambutnya yang beruban dicukur pendek, dan segala perkataannya bernada gembira.
Khalilullah adalah salah satu dari ratusan ribu orang yang mendiami pulau-pulau yang senantiasa berubah, atau char, di bantaran banjir tiga sungai utama Bangladesh—Sungai Padma, Jamuna, dan Meghna. Pulau-pulau ini, yang sebagian besar luasnya tak sampai tiga kilometer persegi, senantiasa timbul dan hilang, naik dan turun seiring pasang-surut, musim, fase bulan, curah hujan, dan arus sungai di hulu. Bukan hal aneh jika penghuni char naik perahu untuk mengunjungi teman di char lain, tapi mendapati bahwa char itu sudah hilang. Kemudian mereka mendengar dari mulut ke mulut bahwa teman mereka pindah ke char baru yang muncul beberapa kilometer di hilir, membangun rumah dalam sehari, dan menanam kebun sebelum malam tiba. Menjalani hidup di char bagaikan menang medali Olimpiade di bidang adaptasi. Penghuni char mungkin orang yang paling tangguh di Bumi.
Tinggal di char ada kiatnya, kata Khalilullah. Dia membangun rumah dalam bagian-bagian yang bisa dibongkar, dipindahkan, dan dirakit kembali dalam hitungan beberapa jam. Dia selalu membangun rumah di atas tanah yang ditinggikan, setidaknya setinggi dua meter. Koper keluarga ditumpuk rapi di samping tempat tidur, kalau-kalau diperlukan sewaktu-waktu. Dan dia punya surat-surat, yang diturunkan dari ayahnya, yang mengukuhkan haknya menetap di pulau-pulau baru jika muncul—bagian dari sistem rumit hukum dan adat yang mencegah sejuta migran dari selatan menjadi penghuni liar di char. Rahasia andalannya, katanya, adalah jangan terlalu cemas. “Kita semua terdesak, jadi tak ada gunanya cemas. Kami menggarap lahan ini selama yang kami bisa, lalu sungai menghanyutkannya. Secemas apa pun kami, akhir ceritanya selalu sama.”
!break!
Di Bangladesh, perubahan iklim tidak hanya mengancam pantai, tetapi juga masyarakat daratan seperti lingkungan Khalilullah. Perubahan iklim dapat mengganggu daur hujan alami, termasuk hujan monsun dan salju Dataran Tinggi Tibet, yang keduanya mengisi sungai-sungai besar yang akhirnya mengalir di delta.
Tetapi, justru karena geografi negara itu rentan banjir dan topan, orang Bangladesh sudah lebih dulu mempersiapkan diri untuk masa depan yang diubah iklim. Selama berpuluh tahun mereka telah mengembangkan galur padi yang lebih tahan garam dan membangun tanggul untuk mencegah perkebunan di dataran rendah dibanjiri air laut. Alhasil, negara ini telah menggandakan produksi beras sejak awal 1970-an. Demikian pula, kekerapan terjadinya topan mendorong Bangladesh membangun perlindungan topan dan mengembangkan sistem peringatan awal untuk bencana alam. Belakangan ini berbagai LSM mendirikan sekolah, rumah sakit, dan perpustakaan apung yang terus berfungsi sepanjang musim monsun.
“Akan kuceritakan tentang orang Bangladesh,” kata Zakir Kibria, 37, ilmuwan politik yang menjadi analis kebijakan di Uttaran, LSM yang memperjuangkan keadilan lingkungan dan pemberantasan kemiskinan. “Kami memang miskin dan tampak semrawut, tapi kami bukan korban. Dan saat mengalami kesusahan, orang di sini melakukan apa yang selama ini selalu dilakukan—mereka mencari jalan untuk beradaptasi dan bertahan hidup. Kami ahli dalam ‘ketangguhan menghadapi iklim.’”
Muhammad Hayat Ali adalah petani usia 40 tahun, dengan tubuh selurus bambu, yang tinggal di timur Satkhira, sekitar 50 kilometer di hulu dari pantai, tapi masih dalam cakupan lonjakan pasang dan salinitas laut yang naik perlahan. “Dulu tanah ini subur, semuanya sawah,” kata Ali, tangannya menyapu pemandangan. “Tapi sekarang sungai lebih asin daripada dulu, dan air yang diperoleh dari tanah terlalu asin, tak bisa untuk menanam padi. Jadi sekarang aku beternak udang di kolam dan menanam sayuran di pematang di sekitarnya.” Satu dasawarsa yang lalu, kolam seperti itu merupakan hal yang baru; sekarang tampaknya semua orang beternak udang atau kepiting dan menjualnya ke pedagang grosiran.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR