Namun, kadang-kadang adaptasi itu menjadi bumerang. Di seluruh Bangladesh selatan, desa dan sawah dilindungi dari sungai dengan jaringan tanggul yang dibangun pemerintah dengan bantuan insinyur Belanda pada 1960-an. Saat banjir, sungai kadang meluap melintasi tanggul dan mengisi sawah seperti mangkok sup. Saat banjir surut, airnya terperangkap. Sawah tergenang, tak bisa digunakan selama bertahun-tahun.
Berpuluh tahun lalu, situasinya begitu parah di Satkhira—begitu banyak sawah tergenang, begitu banyak petani menganggur—sehingga anggota masyarakat setempat menggunakan cangkul dan sekop untuk memotong celah 20 meter di pematang secara ilegal, menguras sawah besar yang sudah tiga tahun tergenang. Warga desa pun dituduh melanggar hukum.
Lalu terjadi hal yang lucu. Sawah itu, yang dibiarkan terbuka, memperoleh banyak sedimen dari sungai dan naik sekitar satu meter. Jalur sungai semakin dalam, dan nelayan mulai menangkap ikan lagi. Akhirnya kelompok kajian pemerintah datang untuk melihat situasi dan akhirnya menyarankan agar sawah lain dikelola dengan cara itu juga. Warga desa itu terbukti benar, bahkan dielu-elukan sebagai pahlawan. Dan kini sawah itu diliputi berhektare-hektare padi.
“Sungai adalah penyelamat bagi daerah ini, dan leluhur kami tahu itu,” kata Kibria seraya berjalan di pematang. “Pembukaan sawah menghubungkan segalanya. Tindakan ini meninggikan permukaan tanah, sehingga dapat mengimbangi kenaikan permukaan air laut. Ini melestarikan mata pencarian dan meragamkan jenis tanaman yang ditanam. Ini juga mencegah ribuan petani dan nelayan menyerah dan pindah ke Dhaka.”
Tetapi setiap adaptasi, secerdik apa pun, hanya bersifat sementara. Dengan laju pertumbuhan yang sudah sangat menurun pun, populasi Bangladesh akan terus tumbuh dan sebagian tanahnya akan terus larut. Di mana semua orang itu tinggal nanti, dan apa mata pencarian mereka?
!break!
Berjuta-juta orang Bangladesh sudah mulai bekerja di luar negeri, baik di negara-negara Barat, di tempat seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, atau di India. Sekarang India tampaknya bertekad menutup dan memperkuat perbatasan, bersiap menghadapi migrasi massal masa depan seperti yang diramalkan di Washington. India membangun pagar keamanan sepanjang 4.000 kilometer di sepanjang perbatasan, dan penjaga sering menembak orang yang menyeberang ke India secara ilegal. Wawancara dengan keluarga korban menyiratkan bahwa setidaknya sebagian orang yang tewas adalah remaja nekat yang ingin membantu keuangan keluarga. Mereka ditembak saat menyelundupkan ternak dari India, hewan yang dilindungi oleh agama Hindu, ke Bangladesh yang Muslim, tempat ternak dapat dijual hingga 350.000 rupiah per ekor.
Tetapi, jika sepuluh juta pengungsi iklim hendak menyerbu perbatasan ke India, Mayjen Muniruzzaman berkata, “penjaga perbatasan India yang senang menembak akan segera kehabisan peluru.” Dia berargumen bahwa negara berkembang—bukan hanya India—semestinya meliberalkan kebijakan imigrasi untuk mencegah kemungkinan yang mengerikan itu. Di seluruh Bangladesh, kaum muda yang cerdas, ambisius, dan berpendidikan tinggi merencanakan beremigrasi.
Dan itu bukan ide buruk, kata Mohammed Mabud, profesor kesehatan masyarakat di North South University di Dhaka. Mabud meyakini bahwa berinvestasi untuk mendidik orang Bangladesh bukan hanya membantu melatih para profesional untuk bekerja di dalam negeri, tetapi juga menjadikan mereka imigran yang diinginkan di negara lain—semacam brain drain terencana. Emigrasi juga jadi cara untuk memperkuat ekonomi negara; uang yang dikirim pulang oleh emigran mencakup 11 persen PDB negara itu. “Jika orang bisa ke luar negeri untuk bekerja, berdagang, atau belajar dan tinggal di sana beberapa tahun, kebanyakan akan tetap di sana,” katanya. Pada saat perubahan iklim mencapai tingkat terparah, populasi Bangladesh bisa berkurang sebesar 8-20 juta jiwa—jika pemerintah menjadikan migrasi keluar sebagai prioritas yang mendesak.
Sementara ini, pemerintah tampaknya lebih tertarik menjadikan adaptasi iklim sebagai kunci dalam strategi pengembangan nasional. Ini berarti, secara kasar, memanfaatkan masalah lingkungan di negara itu sebagai modal guna membujuk dunia maju untuk menawarkan bantuan yang semakin tinggi. Ini strategi yang telah membantu Bangladesh bertahan hidup sepanjang sejarahnya yang pendek dan traumatis. Sejak kemerdekaan, negara itu telah menerima puluhan miliar dolar dalam bentuk komitmen bantuan internasional. Dan sebagai kesepakatan yang dibuat di United Nations Climate Change Conference di Kopenhagen pada 2009, negara-negara maju berkomitmen pada sasaran $100 miliar per tahun sebelum 2020, untuk memenuhi kebutuhan negara-negara miskin di garis depan perubahan iklim. Banyak orang di Bangladesh meyakini bahwa jatah mereka harus proporsional dengan posisi mereka sebagai salah satu negara yang menghadapi ancaman terbesar.
!break!
“Perubahan iklim telah menjadi semacam bisnis, banyak uang berseliweran, banyak konsultan,” kata Abu Mostafa Kamal Uddin, mantan manajer program untuk Climate Change Cell milik pemerintah. “Saat kehancuran keuangan global, miliaran dolar digerakkan untuk menyelamatkan bank-bank di dunia,” katanya. “Apa salahnya menolong masyarakat miskin Bangladesh beradaptasi dengan situasi yang tidak disebabkan oleh kami?"
Dua tahun setelah topan, Munshiganj masih dalam proses mengering. Nasir Uddin dan para tetangganya berupaya menguras kenangan bencana itu dari benak mereka, membangun kembali kehidupan, dan menghindari dimakan harimau yang berkeliaran di desa malam-malam, terusir dari hutan bakau Sundarbans di dekat desa, mencari mangsa empuk. Serangan harimau bertambah seiring meningkatnya tekanan dari populasi dan lingkungan. Puluhan warga di sekitar Munshiganj tewas atau cedera beberapa tahun terakhir—dua meninggal pada pekan saya di sana.
“Situasi di sini buruk, tapi kami bisa ke mana lagi?” kata Uddin sambil mengamati panggung lumpur 1,5 meter di tempat dia merencanakan membangun kembali rumahnya dengan pinjaman tanpa bunga dari sebuah LSM. Kali ini dia menggunakan kayu, yang bisa mengapung, tidak menggunakan lumpur. Sawah di sekitar rumahnya penuh air, yang sebagian besar air payau, dan sebagian besar petani setempat sudah mulai beternak udang atau kepiting di air asin itu. Sumur-sumur dalam di desa juga sudah asin, katanya, sehingga orang terpaksa menampung air hujan dan meminta ke LSM agar diberi jatah air. “Anda harus memotret tempat ini dan menunjukkannya kepada orang-orang yang mengemudi mobil besar di negara Anda,” kata tetangga Uddin, Samir Ranjan Gayen, pria pendek berjenggot yang memimpin LSM setempat. “Sebutkan bahwa inilah rupa Florida Selatan nanti, 40 tahun lagi.”
Seperti yang diketahui warga Munshiganj, kita tidak bisa mendebat laut, yang akan datang ke tanah ini cepat atau lambat. Namun, jutaan orang Bangladesh akan beradaptasi hingga akhir yang pahit, lalu saat situasi menjadi mustahil dihadapi, beradaptasi sedikit lagi. Ini soal mentalitas bangsa—naluri gigih untuk bertahan hidup, berpadu dengan kemauan menanggung kondisi yang mungkin tak mau dihadapi orang lain.
Abdullah Abu Sayeed, advokat melek huruf, menjelaskannya begini: “Pada suatu hari saya mengemudi di salah satu jalan ramai di Dhaka—ribuan kendaraan, semuanya bergegas—dan saya hampir menabrak anak kecil, tak lebih dari 5-6 tahun, yang tidur lelap di pemisah jalan di tengah lalu lintas. Mobil berseliweran, melesat dekat sekali dengan kepalanya. Tapi dia tenang saja, tidur di tengah lalu-lintas paling gila di dunia. Itulah Bangladesh. Kami terbiasa dengan keadaan berbahaya, dan pengharapan kami sangat-sangat rendah. Itu sebabnya kami bisa beradaptasi dengan hampir segala hal.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR