Sekitar sembilan kilometer di luar Kota Decorah, Iowa, ladang dan hutan seluas 360 hektare bernama Heritage Farm menjadikan hasil panenannya sebagai benih. Kedengarannya sulit dimengerti, namun segala sesuatu mengenai pertanian ini bertolak belakang dengan berhektare-hektare ladang jagung dan kedelai yang tertata rapi sesuai ciri khas pertanian modern di sekelilingnya. Heritage Farm lebih aktif dalam mengumpulkan daripada menumbuhkan benih. Tempat ini menaungi Seed Savers Exchange, salah satu bank benih nonpemerintah terbesar di Amerika Serikat.
Pada 1975, Diane Ott Whealy memperoleh warisan berupa dua macam bibit varietas tanaman heirloom (varietas buah-buahan, sayuran, dan hewan dari periode masa yang lampau, tidak diproduksi dan digunakan dalam skala besar). Kakek Ott membawa langsung dari Bavaria ke Amerika pada 1870: benih kangkung dan tomat merah jambu khas Jerman. Dengan maksud melestarikan varietas unik tersebut, Diane dan suaminya, Kent, memutuskan untuk menyediakan tempat agar orang-orang bisa menyimpan dan memperdagangkan bibit-bibit dari warisan mereka. Bursa ini kini beranggotakan lebih dari 13.000 orang dan menyimpan beribu-ribu varietas heirloom di sejumlah ruangan pendingin, lemari es, dan ruang bawah tanah. Ladang itu menyemai beraneka ragam sayuran, tanaman obat, dan bunga pilihan di sekeliling sebuah lumbung tua yang berselimut bunga ungu menawan dari kangkung Kakek Ott.
“Setiap tahun, anggota kami mendaftarkan bibit mereka di sini,” ujar Diane Ott Whealy, sambil menyodorkan sebuah edisi Seed Savers Exchange 2010 Yearbook. Buku tahunan setebal buku telepon itu berisi pembahasan tentang bermacam kacang-kacangan, bawang, kentang, lada, apel, pir, dan plum—masing-masing memiliki nama, ciri khas, dan sejarahnya sendiri. Di dalamnya terdapat apel bernama Beautiful Arcade, yang berarti “buah kuning bersemburat merah”; Prairie Spy, yang digambarkan sebagai “terlalu cepat dewasa”; dan Sops of Wine yang berasal dari Abad Pertengahan.
Sayuran heirloom menjadi tren baru di Amerika Serikat dan Eropa selama dekade terakhir, ditunjang oleh para aktivis gerakan pangan yang mengunggulkan bahan-bahan produksi lokal, pelestarian rasa, dan keunikan varietas heirloom. Varietas heirloom yang jamak ditemukan di pasar tradisional dan toko-toko bahan pangan khusus ini tergusur dari supermarket oleh buah-buahan modern bervarietas tunggal, juga oleh sayuran yang khusus dibudidayakan untuk kemudahan distribusi, dan memiliki penampilan dan rasa yang seragam. Tetapi dengan bahan makanan lokal dan varietas tomat yang tak terhitung banyaknya, gerakan pelestarian varietas heirloom bukan sekadar romansa baru Amerika. Ini juga kampanye untuk melindungi persediaan makanan dunia di masa yang akan datang.
!break!
Kebanyakan dari kita yang hidup berkecukupan pangan tidaklah terlampau menghiraukan asal makanan kita atau cara menumbuhkannya. Kita mendorong troli di lorong-lorong supermarket tanpa menyadari bahwa bahan makanan yang melimpah ruah di depan kita hanyalah panggung meriah yang disangga oleh perancah-perancah yang semakin goyah. Kita telah cukup lama mendengar tentang punahnya flora dan fauna di hutan hujan tropis kita. Sebaliknya, hanya segelintir yang dikatakan atau diperbuat untuk mencegah berkurangnya keanekaragaman genetis makanan kita.
Kepunahan varietas pangan terjadi di seluruh dunia—dan dengan cepat. Di Amerika Serikat, sekitar 90 persen varietas buah-buahan dan sayuran khas telah punah. Dari 7.000 varietas yang ada pada tahun 1800-an, hanya kurang dari seratus yang masih tersisa. Di Filipina, dari ribuan varietas padi yang dahulu berjaya, hanya sekitar seratus yang masih dibudidayakan. Di China, 90 persen dari varietas gandum yang dikembangkan baru seabad silam telah lenyap. Para ahli memperkirakan bahwa kita telah kehilangan lebih dari setengah varietas pangan du-nia selama satu abad terakhir. Sedangkan dari 8.000 varietas hewan ternak yang ada, 1.600 di antaranya terancam atau telah punah.
Mengapa ini menjadi masalah? Karena jika penyakit atau perubahan iklim di masa yang akan datang menyerang salah satu dari segelintir tanaman dan hewan yang kita andalkan sebagai sumber makanan bagi planet ini, kita akan membutuhkan salah satu dari varietas yang telah kita biarkan punah. Selain itu, kehilangan besar-besaran dalam keanekaragaman gandum dunia patut dikhawatirkan secara khusus.
Salah satu musuh bebuyutan gandum, Puccinta graminis, jamur yang dikenal sebagai karat batang, tengah menyebar ke seluruh dunia. Hama ini merupakan wujud baru dari hama ganas dan cepat bermutasi yang dinamai Ug99 karena ditemukan untuk pertama kalinya di Uganda pada 1999. Hama ini kemudian menyebar ke Kenya, Etiopia, Sudan, dan Yaman. Pada 2007, Ug99 telah melompati Teluk Persia menuju Iran. Para ilmuwan memperkirakan bahwa Ug99 akan segera merambah lahan-lahan subur di India dan Pakistan, lalu menyusup ke Rusia, China, dan—hanya dengan satu spora yang menempel di sepatu penumpang pesawat—belahan bumi lainnya.
Sekitar 90 persen tanaman gandum di dunia rentan terhadap serangan Ug99. Seandainya hama ini sampai di AS, diperkirakan gandum senilai sepuluh triliun rupiah akan terancam. Para ilmuwan memperkirakan bahwa ancaman terhadap gandum di Asia dan Afrika saja akan merenggut sumber makanan pokok bagi satu miliar orang.
Populasi dunia diperkirakan akan mencapai tujuh miliar orang tahun ini. Pada 2045, jumlahnya akan mencapai sembilan miliar. Beberapa ahli berpendapat bahwa kita harus melipatgandakan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan, karena kebangkitan ekonomi menghabiskan lebih banyak daging dan susu. Dengan tambahan tantangan dari perubahan iklim dan hama yang terus bermutasi seperti Ug99, semakin penting bagi kita untuk menemukan cara meningkatkan produksi pangan tanpa memperparah laju pengurangan gen akibat industrialisasi pertanian yang semakin meningkat. Untuk memecahkan masalahnya, dunia semakin tergantung pada solusi berbasis teknologi yang cocok untuk semua persoalan. Tetapi, harapan terbaik untuk mengamankan masa depan pangan tergantung pada kemampuan kita untuk melestarikan sumber makanan lokal dari masa lalu.
!break!
Manusia memerlukan lebih dari 10.000 tahun domestikasi untuk menciptakan keanekaragaman hayati dalam persediaan pangan, yang kini berangsur-angsur habis di depan mata kita. Pembibitan selektif terhadap tumbuhan liar atau spesies hewan untuk memperoleh sifat-sifat tertentu dimulai sebagai proses mencoba-coba yang didorong oleh musuh terbesar sepanjang zaman: kelaparan. Gandum liar, misalnya, menggugurkan, atau memecahkan, biji ranumnya agar bisa melanjutkan kehidupan. Para petani pada masa lalu memilih gandum yang—berkat mutasi genetis yang berlangsung secara acak—tidak pecah sehingga ideal untuk dituai.
Para petani dan peternak dengan susah payah membibitkan tanaman dan hewan ternak yang paling sesuai dengan keunikan iklim dan lingkungan mereka. Setiap domestikasi benih atau bibit merupakan jawaban bagi masalah yang sangat spesifik—misalnya kekeringan atau penyakit—di tempat yang sangat spesifik. Domba asli dari Pesisir Teluk Amerika Utara, misalnya, sanggup hidup di iklim yang panas dan lembap, dan memiliki ketahanan tinggi terhadap parasit. Di Etiopia terdapat Sheko, sapi kecil yang bertanduk pendek dan tidak berpunuk, yang bisa tetap menghasilkan susu di tengah kondisi lingkungan yang buruk dan memiliki resistensi terhadap penyakit tidur.
Sifat-sifat adaptif semacam itulah yang dianggap berharga tidak hanya oleh para peternak setempat tetapi juga para peternak komersial di tempat lain di dunia. Domba Finn, misalnya, yang telah lama dibudidayakan oleh sekelompok kecil peternak di Finlandia, menjadi penting bagi industri domba karena kemampuannya menghasilkan banyak anak. Ayam Fayoumi, spesies asli Mesir sejak masa firaun, banyak dicari karena lapisan telurnya yang bisa bertahan di suhu tinggi dan ketahanannya terhadap sejumlah penyakit. Sementara itu, babi Taihu dari China disukai oleh peternak babi dunia karena kemampuannya bertahan hidup dengan pakan murahan dan kesuburannya yang luar biasa; dengan secara teratur melahirkan 16 ekor anak, sementara babi dari Barat rata-rata hanya menghasilkan 10 ekor anak.
Ironisnya, penyusutan keanekaragaman dalam suplai pangan kita merupakan akibat yang tidak terduga dari kejayaan dunia pertanian. Kisah ini sudah sering terdengar. Seorang ahli patologi bernama Norman Borlaug, 30 tahun, melakukan perjalanan ke Meksiko pada 1944 untuk menanggulangi epidemi karat batang yang mengakibatkan wabah kelaparan. Setelah menyilangkan berbagai macam varietas gandum dari seluruh dunia, dia memperoleh hibrida unggul yang tahan terhadap wabah karat batang dan dapat menghasilkan panen melimpah, sehingga India dan Pakistan nyaris melipatgandakan produksi gandum mereka—dan menyelamatkan satu miliar orang dari ancaman kelaparan. Revolusi hijau semacam ini menolong dalam memperkenalkan industrialisasi pertanian modern ke dunia yang semakin berkembang.
Tetapi revolusi hijau juga mendatangkan kerugian. Seiring waktu, para petani menjadi tergantung pada varietas tanaman unggul yang mu-dah beradaptasi, sehingga menganaktirikan varietas-varietas yang telah beradaptasi dengan kondisi setempat. Memang, menanami ladang yang luas dengan satu jenis benih yang secara genetis seragam dapat membantu menggenjot hasil panenan dan dengan cepat menangkal ancaman kelaparan. Tetapi varietas unggul juga lebih lemah secara genetis sehingga membutuhkan pupuk kimiawi yang mahal dan pestisida beracun. Masalah yang sama juga berlaku pada hewan ternak unggul, yang sering kali membutuhkan pakan dan perawatan medis mahal untuk bertahan dalam iklim asing. Dorongan untuk meningkatkan produksi telah menggusur varietas lokal, dan dalam prosesnya me-lemahkan keanekaragaman genetis hewan ternak. Sebagai hasilnya, suplai pangan dunia menjadi sangat tergantung pada daftar hewan ternak yang semakin pendek dan dirancang untuk memperoleh hasil maksimal: ayam Rhode Island Red, babi Large White, sapi Holstein. Singkat kata, dalam mencapai tujuan untuk meningkatkan produksi pangan kita saat ini, tanpa sengaja kita telah menempatkan diri kita dalam risiko kekurangan pangan di masa depan.
Upaya yang ada saat ini untuk meningkatkan produksi pangan di negara berkembang—terutama di Afrika, yang secara umum diterjang oleh revolusi hijau—hanya akan mempercepat laju lenyapnya bibit tanaman dan hewan ternak di masa depan. Di kantong-kantong Afrika, tempat benih dan bibit unggul diperkenalkan, hasilnya bermacam-macam. Neara-negara seperti Zimbabwe, Zambia, dan Malawi harus mengorbankan sebagian besar keanekaragaman pertaniannya untuk varietas impor yang lebih seragam dan unggul, hasil subsidi program-program pemerintah yang disediakan oleh organisasi-organisasi donor. Para petani dan peternak kecil terjerat utang untuk membayar “bahan asupan”—pupuk, pestisida, pakan kaya protein, dan obat-obatan—yang diperlukan untuk menanam bibit dan memelihara ternak pada kondisi iklim yang berbeda.
!break!
Salah satu respons terhadap berkurangnya keanekaragaman hayati di ladang kita adalah dengan sebisa mungkin mengumpulkan dan me-nyimpan baik-baik benih berbagai varietas tanaman sebelum punah. Gagasan ini pertama kali diungkapkan oleh seorang ahli botani Rusia bernama Nikolay Vavilov, yang pada 1926 barangkali memperoleh firasat ilmiah tentang era modern. Sebagai putra pedagang Moskow yang dibesarkan di desa miskin yang berkali-kali mengalami gagal panen dan dikenai pembatasan makanan, sejak kecil Vavilov telah terobsesi un-tuk mengakhiri kelaparan di Rusia dan dunia. Pada 1920-an dan ’30-an, dia mengabdikan diri untuk mengumpulkan berbagai macam benih dari lima benua—dari tumbuhan liar hingga varietas yang tidak dikenal dari tumbuhan yang kita makan—dalam rangka melestarikan gen-gen yang memiliki ketahanan terhadap penyakit dan hama, dan kemampuan untuk bertahan di kondisi iklim yang ekstrem. Dia juga mendirikan sebuah institut (kini bernama Research Institute of Plant Industry, di St. Petersburg) untuk menyimpan koleksinya yang makin meng-gunung—yang dikenal sebagai bank benih global pertama.
Dalam salah satu ekspedisinya ke Abyssinia (kini Etiopia) pada 1926, Vavilov membayangkan dirinya berada di tempat yang cukup tinggi untuk melihat beberapa lokasi di Bumi, tempat varietas liar dari tumbuhan sumber pangan kita pertama kali didomestikasi. Sesudahnya, dia memetakan tujuh “pusat asal mula tanaman budi daya” yang digambarkannya sebagai tanah kelahiran pertanian tradisional. “Kita bisa me-nyaksikan di sana,” tulis Vavilov, “peran besar yang dimainkan manusia dalam memilih budi daya yang paling sesuai bagi setiap kawasan.”
Gagasan Vavilov mengalami modifikasi bertahun-tahun kemudian. Saat ini, para ilmuwan menganggap wilayah-wilayah yang ditandainya tidak sebagai asal muasal tetapi pusat keanekaragaman, karena tidak bisa dipastikan apakah praktik pembudidayaan pertama terjadi di sana. Tetapi, pendapat Vavilov mengenai wilayah-wilayah pusat keanekaragaman genetis yang menjadi tempat bergantungnya persediaan pangan di masa depan telah terbukti tepat.
Saat ini, terdapat sekitar 1.400 bank benih di seluruh dunia. Yang paling ambisius adalah Svalbard Global Seed Vault, yang baru didirikan dalam suhu dingin abadi di bawah gunung kapur Pulau Spitsbergen di Norwegia, hanya 1,13 kilometer dari Kutub Utara. Dimulai oleh Cary Fowler bersama Consultative Group on International Agricultural Research, tempat yang bisa disebut sebagai bungker hari kiamat ini me-rupakan cadangan dari semua bank benih lainnya di dunia. Kopi dari koleksi mereka disimpan di suatu tempat yang terletak 122 meter di bawah permukaan laut, dengan suhu dingin permanen dan bebas-gempa, sehingga benih-benih di dalamnya akan tetap kering walaupun es di kutub mencair.
Fowler’s Global Crop Diversity Trust baru-baru ini mengumumkan hal-hal yang dibutuhkan untuk melakukan rekapitulasi terhadap ekspedisi-ekspedisi pengumpulan benih yang dilakukan Vavilov di seluruh dunia: rencana penyisiran Bumi selama sepuluh tahun guna mencari sisa-sisa terakhir varietas gandum, padi, jelai, lentil, dan kacang arab liar sebagai “penguatan bidang pertanian terhadap perubahan iklim.” Pencarian besar-besaran ini dilakukan dengan harapan agar para ilmuwan bisa menurunkan sifat-sifat vital dari varietas-varietas liar tersebut, seperti ketahanan terhadap kekeringan dan banjir, pada varietas tanaman kita yang rentan.
Tetap saja, menyimpan benih di bank untuk menyelamatkan kita dari bencana besar di masa depan tidaklah cukup. Yang sama pentingnya untuk dilestarikan adalah pengetahuan para petani dan peternak di seluruh dunia, mereka yang menciptakan benih dan bibit yang sangat kita andalkan saat ini. Barangkali sumber daya yang paling berharga dan terancam punah adalah pengetahuan yang tersimpan dalam benak mereka.
!break!
Jemal Mohammed, 40 tahun, memiliki ladang seluas dua hektare di punggung bukit, di luar sebuah desa kecil bernama Fontanina di wilayah Welo, dataran tinggi di utara Etiopia.
Melangkahkan kaki ke lahan milik Mohammed bagaikan kembali ke masa kejayaan pertanian tradisional. Pondok melingkar beratap jerami, dengan dinding yang terbuat dari lempung dan jerami kering sudah berabad-abad menjadi hunian warga pedesaan di Etiopia. Dua ekor kerbau berbaring di bawah pohon jacaranda di sebelah kanan gubuk. Tiga atau empat ekor ayam berjalan-jalan melintasi pekarangan depan yang kosong. Ladangnya, yang dibajak dengan bantuan seekor sapi dan ditanami dengan tangan kosong, berisi beraneka ragam tanaman: tomat, bawang merah, bawang putih, ketumbar, waluh, sorgum, gandum, jelai, kacang arab, dan teff, sejenis biji-bijian yang digunakan untuk membuat injera, roti tipis khas Etiopia.
Kehidupan petani kecil tradisional mencerminkan kesederhanaan. Tetapi, jika dibandingkan dengan kegiatan pertanian modern yang banyak menggunakan mesin, pekerjaan Mohammed terlihat lebih dinamis dan membutuhkan kelihaian untuk menghadapi ancaman kekeringan, hujan, dan penyakit yang hadir terus-menerus. Dia menanam kacang-kacangan dan biji-bijian untuk semaksimal mungkin memanfaatkan lahan yang terbatas. Sistem tumpang sari seperti ini juga merupakan cara pemupukan alami. Kacang-kacangan yang tumbuh di bawah sorgum memberikan asupan nitrogen ke tanah.
Welo adalah salah satu wilayah yang paling parah tertimpa bencana kelaparan di Etiopia, yang merenggut ratusan ribu jiwa pada 1984. Pengalaman itu masih tertinggal dalam kenangan Mohammed. Dia menunjukkan kepada saya sebuah buli-buli yang penuh berisi kerikil berwarna-warni. “Saya menyimpan ini sebagai jaminan keamanan saya, tabungan saya,” ujarnya, sambil menekuri buli-buli yang ternyata berisi benih. Dia memiliki benih dari semua tanaman yang tumbuh di ladangnya. Istri Mohammed melapisi benih-benih itu dengan abu untuk melindunginya dari kumbang penggerek. “Seandainya seluruh panenan kami gagal gara-gara kekeringan atau banjir,” katanya, “paling tidak saya masih bisa menanami ladang saya lagi.”
Mohammed membawa saya ke sebuah pertanian di seberang jalan. Di sana, dia dan tetangganya mengangkat sebuah tingkap batu untuk menunjukkan bilik berdinding lempung dengan lebar dan kedalaman sekitar dua meter: gudang penyimpanan pangan darurat di bawah tanah. Dalam beberapa minggu, ketika masa panen usai, mereka akan melapisi lantai bilik dengan jerami, mengisinya dengan biji-bijian, lalu menutupnya kembali dengan tingkap batu, membiarkan suhu dingin tanah menjaga kesegaran persediaan makanan mereka.
Ketika saya menanyakan seberapa besar mereka bergantung pada persediaan pangan darurat mereka selama bencana kelaparan 1984, mereka menunduk dan menggumamkan jawaban sebelum akhirnya diam seribu bahasa dengan mata berkaca-kaca. Dengan lambaian jarinya, penerjemah saya mengisyaratkan agar saya tidak bertanya-tanya lagi tentang topik ini kepada mereka.
!break!
Dataran tinggi di wilayah timur tengah Etiopia pernah menjadi tempat yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di muka Bumi. Namun, sejak 1970-an, para petani di sana hanya menanam teff dan beberapa varietas gandum yang didistribusikan kepada mereka karena sifat unggulnya. Sekarang, wilayah ini telah berubah: Sejumlah varietas kacang-kacangan dan gandum lokal kembali berjaya. Mengingat Etiopia dikenal sebagai negara yang rawan kelaparan, saya terkejut ketika mengemudi satu jam ke timur laut Addis Ababa dan melihat ladang-ladang yang sarat ditumbuhi gandum durum berbiji ungu, varietas yang hanya ditemukan dan bisa ditumbuhkan di seluruh Etiopia. Digunakan sebagai bahan baku pasta, durum memiliki ketahanan tinggi terhadap karat batang. Ladang lainnya ditumbuhi varietas lokal asli Etiopia lainnya, yaitu setakuri, yang berarti “kebanggaan wanita,” karena memiliki rasa termanis sebagai bahan baku roti. Varietas ini memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap karat batang.
Titik balik Etiopia sebagian merupakan upaya dari ahli genetika tumbuhan ternama, Melaku Worede, yang meraih gelar PhD dari University of Nebraska pada 1972, lalu kembali ke Etiopia dengan tujuan untuk melestarikan—dan membangun kembali—kekayaan keanekaragaman hayati di negerinya. Worede dan stafnya di Plant Genetic Resources Centre di Addis Ababa melatih generasi baru pembibit tanaman dan ahli genetika, dan mulai mengumpulkan dan menyimpan berbagai macam tanaman dan benih asli, yang disebut landrace, dari seluruh negeri. Pada 1989, Worede mencetuskan program Seeds of Survival, sebuah jaringan komunitas bank benih yang bertujuan menyelamatkan dan mendistribusikan kembali benih-benih dari para petani lokal.
Worede berharap usaha-usaha baru untuk meningkatkan produksi pangan—semacam Gates Foundation’s Alliance for a Green Revo-lution in Africa—tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu. Mereka berusaha melibatkan para petani setempat dalam pengambilan keputusan. “Orang-orang yang merencanakan ini menyadari bahwa revolusi hijau pertama gagal seiring waktu. Ada beberapa ide cerdas,” kata Worede. “Tetapi mereka masih terlalu memberikan penekanan hanya pada segelintir varietas. Bagaimana dengan yang lainnya? Kita akan kehilangan semuanya. Percayalah, saya tidak melawan sains. Untuk apa? Saya sendiri ilmuwan. Tetapi kita harus menyesuaikan diri dengan konteks. Memadukan sains dengan pengetahuan lokal, sains para petani.”
Worede yakin bahwa melestarikan keanekaragaman wilayah sangatlah penting, tidak hanya di bank benih tetapi juga di lahan dan dengan melakukan diskusi menyeluruh bersama para petani setempat. Walaupun panenan melimpah sangatlah penting bagi petani, jauh lebih pen-ting mengurangi risiko mereka terpapar kelaparan, dengan cara menumbuhkan banyak tanaman, di berbagai musim, dan di banyak lokasi. Dengan cara ini, jika salah satu tanaman terkena penyakit, atau salah satu panenan gagal akibat kekeringan, atau salah satu kaki bukit dilanda banjir, mereka masih memiliki alternatif cadangan makanan.
!break!
Tantangannya adalah menunjukkan bahwa meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan keanekaragaman mungkin dilakukan. Worede hendak membuktikan bahwa memilih untuk memiliki cukup makanan hari ini atau menyimpan beragam jenis pangan untuk masa depan adalah konsep yang salah. Dan itulah yang selama ini dilakukannya. Dia mengambil varietas-varietas yang dipilih para petani berkat kemampuan adaptasinya dan memutuskan benih mana yang menjanjikan hasil panen terbaik. Penggunaan bibit unggul lokal—dipadukan dengan pupuk alami dan teknik-teknik semacam tumpang sari—meningkatkan hasil panen hingga 15 persen di atas varietas impor yang berbiaya lebih mahal. Upaya serupa juga dijalankan pada jenis ternak lokal. Keith Hammond, pakar genetika satwa dari PBB, mengatakan bahwa di 80 persen area pedesaan seluruh dunia, gen yang telah beradaptasi pada kondisi lingkungan setempat lebih unggul daripada bibit impor.
Tetap saja, menurut para ahli, peningkatan 15 persen masih jauh dari pelipatgandaan jumlah persediaan pangan yang kita butuhkan pada dekade-dekade mendatang. Melestarikan keanekaragaman pangan hanyalah salah satu dari banyak strategi yang kita perlukan untuk men-jawab tantangan tersebut, namun itu sangat krusial. Selama suhu dunia semakin meningkat, dan lingkungan semakin tidak bersahabat bagi bibit dan benih yang kita andalkan, manusia akan membutuhkan gen-gen yang memungkinkan tumbuhan dan hewan untuk hidup di, katakanlah, suhu panas Afrika atau di tengah wabah penyakit. Menurut Worede, para ilmuwan akan bisa menemukan varietas tahan-Ug99 yang mereka cari di ladang-ladang Etiopia.
Mohammed dan tetangganya berdiri dalam keheningan di atas bank benih pribadi mereka siang itu di Welo. Sejak bencana kelaparan pada 1984, mereka tidak pernah berpikir untuk menjual biji-bijian apa pun hingga panenan mereka bisa dipastikan keberhasilannya. Saya menanyakan apakah memiliki simpanan di ladang membuat mereka merasa sedikit lebih aman dan optimistis.
“Mendapat tambahan penghasilan tentu menyenangkan,” kata Mohammed, “anak-anak kami bisa bersekolah dengan pakaian bagus, tapi…” Dia terdiam, menatap tetangganya, lalu memberikan jawaban yang menurut saya patut kita tiru untuk mengamankan persediaan pangan masa depan kita.
“Meski amat rentan terhadap berbagai risiko, kami tetap berpikiran positif.”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR