Meskipun para penerjemah dipilih berdasarkan keahlian mereka dalam bahasa-bahasa kuno, banyak di antara mereka yang sudah menikmati kehidupan kaya dan beragam.
John Layfield, misalnya, pernah berperang melawan Spanyol di Puerto Riko. Sebuah petualangan yang menyebabkannya terpesona oleh keindahan Karibia yang masih perawan. Lalu, George Abbot adalah seorang pengarang buku laris panduan jelajah dunia. Ada juga Hadrian à Saravia yang berdarah Flemish dan Spanyol. Beberapa di antara mereka juga pernah menjelajahi Eropa; sementara yang lainnya bahasawan Arab. William Bedwell dan Henry Savile, cendekiawan bangsawan yang dikenal sebagai “majalah berjalan”, adalah pakar matematika. Ada juga pecandu alkohol bernama Richard “Belanda” Thomson, ahli bahasa Latin cemerlang yang terkenal sebagai “pemabuk Inggris-Belanda tak bermoral.” Lalu, di antara perwakilan terpandang dari gereja terdapat seorang lelaki murung yang dikhianati istrinya, John Overall, kepala gereja St. Paul. Menurut teman-temannya, ia terlalu sering berbicara dalam bahasa Latin sehingga hampir melupakan bahasa Inggris. Kesalahan Overall adalah menikahi seorang gadis terkenal yang menawan hati, yang kemudian meninggalkannya karena berselingkuh dengan bangsawan yang justru tidak bisa berbahasa Latin, Sir John Selby. Itu adalah dunia di mana tak ada jurang pemisah antara politik dan agama.
Terjemahan Alkitab yang mencerminkan Kitab Suci asli, yang mudah diperoleh rakyat biasa, dan mewujudkan keagungan Tuhan merupakan alat politik paling ampuh di Inggris pada abad ke-17. “Kami berharap Alkitab ini mencerminkan Kitab Suci yang asli yang dapat dipahami bahkan oleh orang yang tak berpendidikan sekalipun,” kata para penerjemah dalam prakata Alkitab terbitan 1611 itu. Gaya bahasa yang sederhana inilah—yang menyebabkan Brother Rome Wager lancar berkomunikasi dengan para koboi muda—yang menjadi sasaran para penerjemah Raja James.
Setiap anggota dari keenam subkomite menerjemahkan sendiri-sendiri seluruh bagian tertentu dari Alkitab. Kemudian, masing-masing membawa terjemahannya ke rapat subkomite. Di rapat inilah berbagai versi terjemahan dibandingkan, lalu ditetapkan satu versi terjemahan. Selanjutnya, versi itu diserahkan ke komite revisi umum untuk seluruh Alkitab, yang mengadakan rapat di Stationers’ Hall di London.
Di sini, para cendekiawan yang melakukan revisi meminta versi yang diusulkan itu dibacakan dengan suara keras—tanpa melihat teks—sementara di pangkuan mereka terdapat terjemahan sebelumnya dalam Bahasa Inggris dan berbagai bahasa lain. Hanya telinga dan pikiranlah yang menjadi alat bantu editorial. Mereka menginginkan Kitab Suci itu terdengar wajar. Jika hal ini tidak terpenuhi pada rapat dengar pertama, terjadi diskusi editorial yang berlangsung alot—yang luar biasa, umumnya mereka berdiskusi dalam bahasa Latin dan kadang Yunani. Komite revisi menyajikan versi akhir kepada dua pendeta, kemudian kepada uskup senior Gereja Inggris, dan akhirnya, setidaknya secara teoretis, kepada Raja.
!break!
Alkitab Raja James adalah buku yang diciptakan oleh dunia di mana dunia itu diciptakan. Hubungan erat ini terasa sangat nyata dalam beberapa ruangan di jantung kota London. Di dalam Westminster Abbey, gereja terbesar kaum bangsawan Inggris,Very Reverend Dr. John Hall, kepala gereja Westminster yang berpakaian pantalon abu-abu dan berkacamata dapat ditemui di kantor pimpinan gereja yang dilindungi panel dan berkarpet. Di sini, pendahulunya kepala gereja dari abad ke-17, Lancelot Andrewes, memimpin subkomite yang menerjemahkan lima buku pertama kitab Perjanjian Lama. Di ruangan-ruangan ini pula, kalimat pembuka “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” terdengar untuk pertama kali.
John Hall memimpin upacara pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton di gereja ini pada April tahun ini. Suasananya sungguh berbeda dengan suasana khotbah Rome Wager di depan para koboi di lapangan berdebu di New Mexico. Namun bagi Hall, ada sesuatu pada Alkitab Raja James yang dengan mulus menjembatani jurang perbedaan di antara mereka. Dia membaca Alkitab Raja James ketika masih kecil, dan mulai membacanya kembali belum lama ini. “Ada saat-saat tertentu ketika membacanya,” ujarnya, “yang membuat saya begitu terharu hingga meneteskan air mata. Saya menyukai kisah setelah Yesus disalib dan bangkit kembali, lalu beliau muncul di hadapan para rasul saat mereka berjalan menuju Emmaus. Para rasul tidak mengenalnya, tetapi mereka bercakap-cakap, dan di akhir kisah itu mereka berkata kepada Yesus, ‘Tinggallah bersama kami karena hari sudah menjelang malam.’ Kalimat itu—begitu sederhana, begitu langsung, dan begitu mantap—sangat mendalam maknanya bagi saya selama bertahun-tahun. Bahasanya sarat misteri dan keagungan, namun juga mencerminkan pimpinan yang penuh kasih, dan di situlah letak kekuatan buku ini.”
Awalnya, terjemahan baru Alkitab itu tidak meraih sukses besar saat pertama kali terbit. Warga Inggris lebih senang menggunakan Alkitab Jenewa yang sudah mereka kenal dan sukai. Lagi pula, terbitan demi terbitan Alkitab baru itu sarat dengan kesalahan cetak. Alkitab Durjana terbitan 1631 yang terkenal terlewat mencantumkan kata yang sangat penting (kata “not” yang berarti “tidak”) dalam Keluaran 20:14, sehingga tercetak, “Engkau boleh berzina.” Akibatnya, percetakan harus membayar denda sangat besar.
Namun, pada pertengahan 1600-an, Alkitab Raja James secara efektif berhasil menggantikan semua alkitab pendahulunya dan menjadi Alkitab utama di negara-negara berbahasa Inggris. Tatkala para saudagar dan koloni Inggris meluas melintasi Atlantik dan merambah Afrika dan anak benua India, Alkitab Raja James ikut pula tersebar bersama mereka. Alkitab itu menjadi barang dagangan, digunakan sebagai bungkus cerutu, obat, manisan, hingga selongsong peluru, dan akhirnya dipasarkan sebagai “buku yang dibaca Raja Anda.”
Masyarakat Alkitab di Inggris dan Amerika mendistribusikan Alkitab Raja James ke seluruh dunia. Masyarakat Alkitab Inggris dan asing yang bermarkas di London, misalnya, mengapalkan lebih dari seratus juta eksemplar dalam kurun 80 tahun setelah berdiri pada 1804.
Namun, ada sisi gelap di balik kisah Alkitab yang sangat sukses ini. Sepanjang sejarahnya, alkitab ini digunakan dan dimanipulasi, oleh orang baik maupun jahat, yang memanfaatkannya untuk meraih keuntungan pribadi. Sebagian besar isi alkitab ini menyangkut kebebasan, belas kasih, dan penebusan dosa. Namun, bagian-bagian itu diimbangi oleh bahasa yang menyiratkan kegigihan balas dendam dan kekuasaan.
Sebagai Alkitab kerajaan, buku ini juga menjadi alkitab para budak sehingga selalu bersifat ambivalen di kawasan yang pernah menjadi jajahan Inggris.
!break!
Di antara puing-puing dan rongsokan mobil di Trench Town dan Taman Tivoli di West Kingston, Jamaika, setiap rumah dipagari agar tidak terlihat dari jalan. Di samping itu, rumah juga dipasangi dinding tinggi dari besi bergelombang yang dipaku ke papan kasar. Kawasan yang dikuasai oleh gembong narkoba yang dilindungi polisi ini memiliki angka pembunuhan tertinggi di dunia. Inilah provinsi yang dikuasai hukum rimba, kemiskinan parah, dan ketakutan. Dilihat dari tatanan sosialnya, dengan segelintir orang kaya yang berkuasa dan banyaknya kaum papa, sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan keadaan Inggris awal abad ke-17.
Ini adalah salah satu pusat musik reggae—yang dilahirkan dan menjadi gaya hidup kaum Rastafari—dan Alkitab Raja James. Seperti dikatakan Mutabaruka, DJ dan penyair dari Jamaika, “Hal pertama yang dikenal orang di negara jajahan ini adalah Alkitab Raja James.” Padahal, mereka bukan penganut Kristen. Sejak 1930-an mereka percaya bahwa kaisar Etiopia saat itu, Haile Selassie, adalah Tuhan.
Namanya Ras Tafari sebelum 1930, ketika dia dijuluki “Raja para Raja, Singa dari Yudea, Utusan Tuhan.” Semua gelar itu terdapat dalam Alkitab bagi Sang Juru Selamat. Masyarakat pulau itu sudah lama menggunakan Alkitab Baptis. Pada pertengahan abad ke-20, di saat warga Jamaika mencari Injil penebusan baru, keyakinan tersebut mendadak menjadi masuk akal. Ras Tafari adalah sang penyelamat, Tuhan di alam nyata, dan Etiopia adalah Tanah Perjanjian. Bagi warga Rastafari, yang sangat sadar akan sejarah perbudakan kaum berkulit hitam, Jamaika adalah Babilonia, yang setara dengan kota tempat bangsa Israel diperbudak. Kebebasan dan penebusan tidak akan dialami di surga, sebagaimana yang selalu dikatakan kaum Kristen, melainkan di dunia.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR