Dia menduga bahwa moai mempercepat penghancuran diri sendiri itu. Diamond menafsirkannya sebagai ajang pamer kekuatan oleh para kepala suku yang bertikai. Mereka bersaing untuk membuat patung yang lebih besar. Diamond menduga mereka meletakkan moai pada usungan kayu, ditarik di atas jalur gelondongan kayu—teknik yang cukup sukses saat diuji oleh arkeolog UCLA, Jo Anne Van Tilburg—tetapi, hal itu membutuhkan sejumlah besar kayu dan tenaga manusia. Untuk memberi makan mereka, semakin luas hutan yang harus dibabat. Saat kayu sudah habis dan perang saudara dimulai, penduduk pulau mulai merobohkan moai. Pada abad ke-19, tidak satu pun yang masih berdiri. Bentang alam Pulau Paskah menyimpan aura tragedi yang, di mata Diamond dan banyak orang, masih terlihat hingga sekarang.
dengan menata dan menafsirkan ulang semua kepingan fakta yang berserakan itu, kita mendapatkan gambaran yang lebih meyakinkan tentang masa lalu Rapa Nui—yang selama satu dasawarsa terakhir dipelajari oleh arkeolog Terry Hunt dan Carl Lipo. Gambaran itu menampilkan suku asli pembuat moai yang cinta damai dan yang dengan cermat menjaga pulau mereka.
!break!
Hunt dan Lipo sepakat bahwa Pulau Paskah kehilangan hutannya yang subur dan hal itu merupakan “bencana ekologi”, tetapi penduduk pulau tidak patut dipersalahkan. Berdasarkan penelitian mereka dan orang lain, dimulai dengan penggalian yang mereka lakukan sendiri di pantai Anakena, mereka menemukan bahwa orang Polinesia baru tiba setelah tahun 1200 Masehi, sehingga tidak mungkin dalam waktu lima abad mereka dapat menghancurkan bentang alam pulau itu. Lagi pula, mereka berhasil menemukan pembunuh-pohon yang lain. Saat para arkeolog menggali biji pohon palem yang sekarang sudah punah di Pulau Paskah, biji itu sering kali sudah rusak akibat lekukan kecil yang disebabkan oleh gigi tajam tikus Polinesia (Rattus exulans).
Kawanan tikus ini terdapat dalam kano yang digunakan para penduduk yang pertama kali tiba di situ. Penduduk pulau memakan binatang ini, tetapi binatang pengerat itu sendiri tidak memiliki pemangsa alami. Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, menurut perhitungan Hunt dan Lipo, kawanan tikus itu mampu menghancurkan seluruh pulau. Binatang ini melahap biji palem sehingga tidak terjadi lagi pembenihan ulang pepohonan yang tumbuh lambat itu. Akibatnya, berakhirlah riwayat hutan Rapa Nui. Tidak diragukan lagi, kawanan tikus ini juga memangsa telur burung.
Tentu penduduk bertanggung jawab karena telah membawa tikus ini. Tetapi, seperti spesies penyerbu di zaman sekarang, tikus Polinesia menimbulkan kerugian yang lebih besar pada ekosistem daripada manusia yang membawanya. Hunt dan Lipo tidak melihat bukti runtuhnya peradaban Rapanui saat hutan palem lenyap; berdasarkan survei arkeologi atas pulau itu, mereka memperkirakan populasinya tumbuh pesat hingga mencapai 3.000 orang dan tetap stabil hingga datangnya bangsa Eropa.
Lahan kosong lebih berharga bagi suku Rapanui daripada hutan palem. Tetapi, lahan di pulau ini adalah ladang tidak subur yang sering dilanda angin dan disiram hujan yang tidak menentu. Dalam pertanian, sebagaimana halnya memindahkan moai, penduduk pulau memindahkan batu dalam jumlah sangat besar—tetapi ke ladangnya, bukan dibawa keluar. Mereka membangun ribuan batu penahan angin berbentuk lingkaran, disebut manavai, dan berkebun di dalam benteng batu itu. Mereka menutupi seluruh ladang dengan batu gunung berapi untuk menjaga kelembapan tanah dan memupuknya dengan zat hara yang tidak lagi ditebarkan gunung berapi. Singkat kata, Hunt, Lipo, dan sejumlah peneliti lain cukup puas dengan pendapat mereka bahwa penduduk Rapanui zaman prasejarah adalah pelopor pertanian berkelanjutan, bukan penghancur ekosistem secara tidak sengaja. “Alih-alih contoh kasus kegagalan yang hina, Rapa Nui adalah kisah sukses yang sukar dipercaya,” kata Hunt dan Lipo dalam buku mereka yang terbaru, The Statues That Walked.
Sergio Rapu, 63, arkeolog Rapanui dan mantan gubernur Pulau Paskah yang menggarap skripsinya bersama Hunt, mengajak rekan Amerika-nya itu ke tambang purba di Rano Raraku, gunung berapi di tenggara pulau itu. Rapu menjelaskan bagaimana mereka dibuat agar bisa “berjalan”: Perut yang buncit memiringkan patung itu ke depan, dan dasar patung berbentuk huruf D memungkinkannya menggelinding. Dalam percobaan yang didanai National Geographic’s Expeditions Council, Hunt dan Lipo menunjukkan bahwa hanya 18 orang, dengan tiga tali yang kuat dan latihan yang cukup, dengan mudah dapat menggerakkan replika moai setinggi 3 meter, seberat 5 ton, sejauh beberapa ratus meter.
!break!
Sebagaimana yang dikisahkan Hunt dan Lipo, cerita Pulau Paskah ibarat pemusnahan bangsa dan kebudayaan, bukan penghancuran ekosistem. Teman mereka, Sergio Rapu, memercayai beberapa pernyataan itu, tetapi tidak semuanya. “Saya tidak percaya peralatan batu itu hanya digunakan untuk pertanian,” ujarnya sambil tertawa. “Saya ingin percaya bahwa bangsa saya tidak pernah saling memangsa. Tetapi, tampaknya memang demikian.”
Sekarang, penduduk pulau menghadapi tantangan baru: Populasi yang terus tumbuh dan ribuan wisatawan yang menguras persediaan air yang terbatas. “Jadi apa yang harus kami lakukan?” tanya Wali Kota Zasso Paoa. “Membatasi migrasi? Membatasi pariwisata? Itulah kondisi yang kami hadapi sekarang.”
Keinginan penduduk untuk mengembangkan lahan leluhur mereka mungkin menjadi ancaman yang lebih besar atas warisan pulau yang berlimpah itu: lebih dari 20.000 benda bersejarah, termasuk kebun berdinding dan kandang ayam dari batu, selain moai dan ahu. Lebih dari 40 persen pulau ini adalah taman nasional yang dlindungi, yang membatasi lahan yang tersedia. “Orang harus belajar bahwa arkeologi bukanlah musuh,” kata Rapu.
Puluhan tahun yang lalu, dia sendiri ikut membantu menegakkan kembali moai di Anakena. Saat melakukannya, dia dan rekan-rekannya pun menemukan bagaimana para pembuat moai mengembuskan ruh kepada patung raksasa setelah perjalanan panjang dari tambang: Sebagai sentuhan terakhir, mereka meletakkan mata dari batu karang putih dan biji mata dari batu obsidian atau scoria merah ke dalam rongga yang kosong.
Hutan nyiur, yang diimpor dari Tahiti, sekarang memenuhi pantai Anakena, meyakinkan wisatawan yang berjemur dan para pengantin baru Cili bahwa mereka benar-benar berada di Polinesia, meskipun jeritan angin dan perbukitan padang rumput di belakang mereka lebih mirip Dataran Tinggi Skotlandia. Sekarang, para moai itu sudah tidak punya mata lagi dan tidak menceritakan—kepada wisatawan, José Tuki, atau siapa pun—bagaimana mereka sampai ke situ atau kisah manakah yang benar tentang Pulau Paskah. Tuki sendiri mampu menerima kisah rancu itu. “Saya ingin tahu cerita yang sebenarnya,” ujarnya. “Tetapi, mungkin pulau ini tidak bersedia memberikan semua jawaban.”
Hannah Bloch adalah koresponden Pakistan untuk Time sebelum bergabung dengan Geographic sebagai editor. Randy Olson telah memotret 27 fitur, termasuk Sudan dan suku Pigmi Mbuti.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR