Tauke yartsa membawa timbangan loyang kecil dan kalkulator tenaga surya. Jamur ulat ditampung dalam kotak kardus dan keranjang anyaman, atau dihamparkan di atas lapik. Ketika tauke didekati oleh seseorang seperti Silang—lutut berlumpur, dengan sekantong yartsa yang baru digali—ulat itu diperiksa secara saksama. Harganya bergantung pada ukuran, warna, dan kepadatan. Sang tauke memeriksa satu demi satu, sering kali membersihkan tanah yang menempel dengan alat pembersih khusus yartsa yang mirip sikat gigi besar. Warga berkerumun.
Sudah menjadi kebiasaan, ketika hendak membeli, sang tauke menghujani dengan ejekan.
!break!
“Saya tidak pernah membeli ulat sejelek ini.”
“Warnanya tidak bagus. Terlalu gelap.”
“Yang ini bisa bikin rugi.”
Akhirnya, tauke mengulurkan tangannya, lengan mantel Tibetnya menjuntai. Penjual pun memasukkan tangan ke dalamnya. Kemudian, dengan menggunakan jemari, keduanya melakukan tawar-menawar dalam lengan mantel tanpa terlihat mata orang banyak. Tawar-menawar terjadi dengan cepat, kain mantel teregang dan terpuntir. Ketika jari-jari mereka berhenti dan harga disepakati, uang dibayarkan melalui lengan baju.
Silang dan Yangjin mendekati tauke yang biasa membeli barang mereka. Seorang pria yang juga bernama Silang—Silang Yixi, 33, yang sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama delapan tahun. Kedua Silang melakukan hal yang biasa: Pada akhirnya, untuk 30 ulat mereka, sebagian besar terlalu kecil untuk mendapatkan harga terbaik, Silang dan Yangjin dibayar 580 yuan, sekitar 860 ribu rupiah.
!break!
Zhaxicaiji turun dari Toyota Sequoia edisi Platinumnya yang dikemudikan sopir, menyandang tas tangan Prada, lalu berjalan ke toko utama kerajaan yartsa gunbu-nya. Dia pendiri dan presiden Perusahaan Obat Three Rivers Source. Dia mengelola 500 karyawan dan 20 toko; penjualan tahunannya bisa melebihi 565 miliar rupiah.
Saat kecil, Zhaxicaiji yang sekarang berusia akhir 40-an, sama seperti Silang dan Yangjin. Dia merangkak di perbukitan, mengambil ulat. Keluarganya memelihara yak dan domba, dan tinggal di tenda dari rambut yak. Dia memulai bisnis itu pada 1998 dengan uang sendiri sebesar 1,2 juta rupiah dan memanfaatkan tsunami yartsa menuju kesuksesan. Dia berencana memasuki pasar internasional, mengekspor yartsa ke tempat-tempat seperti Jepang, Korea, dan Malaysia. Dalam satu dasawarsa, katanya, ulatnya akan dijual di Amerika Serikat.
Tokonya di kota Lanzhou, China tengah, menempati satu blok kota; di pintu masuknya terpampang layar video raksasa yang menayangkan iklan ulatnya. Di dalamnya terdapat kandil mewah, air mancur, petugas keamanan berseragam, dan jambangan bunga potong segar. Yartsanya dipajang dalam puluhan kotak kaca ala museum, suhu dan kelembapannya dikontrol dengan tepat.
Tauke di pasar perbatasan menjual ke pasar yang lebih besar, selanjutnya para penampungnya biasanya pergi ke pasar yartsa terbesar di China, yang buka sepanjang tahun, sesibuk dan seramai bursa efek, dan meliputi seluruh distrik di Xining, sebuah kota di barat kantor pusat Zhaxicaiji. Banyak ulat kuning yang terbaik, terbesar, dan terpadat dipilih oleh para pembeli Zhaxicaiji. Sebelum dipajang untuk dijual, semua diperiksa dengan sinar-x—sering terjadi orang mencampurkan potongan kawat untuk menambah berat.
Sebuah Mercedes hitam berhenti di depan tokonya dan empat pria setengah baya, mengenakan kaus polo dan arloji besar, duduk di depan salah satu kotak kaca. Mereka segera dilayani oleh staf perempuan muda. Para pria itu minum air yartsa terendam sambil memilih-milih. Ulat itu kemudian dikemas rapi dalam kotak kayu merah tua dengan bagian dalam dari kain laken dan kunci kuningan. Kemasan itu mengubah produk yang sangat tidak menarik—ulat kuning yang agak berbau amis dengan makhluk aneh yang muncul dari kepalanya—menjadi sesuatu yang mewah. Dalam waktu sepuluh menit para pria itu menghabiskan hampir 300 juta rupiah.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR