Nationalgeographic.co.id—Pada pertengahan abad ke-17, cuaca di Kekaisaran Tiongkok semakin dingin. Frekuensi kekeringan dan banjir meningkat sementara beberapa daerah dilanda kelaparan yang tragis. Apakah perubahan cuaca di masa itu menjadi salah satu penyebab kejatuhan Dinasti Ming di Kekaisaran Tiongkok?
Saat menulis penelitian tentang sejarah Kekaisaran Tiongkok, Pierre-Etienne Will dari Collège de France memeriksa dokumentasi tentang tahun-tahun terakhir Dinasti Ming.
Di wilayah Jiangnan, tahun 1640-an bukanlah era yang makmur. Dekade yang baru saja berakhir ditandai dengan iklim dingin dan kering yang tidak normal serta hasil panen yang buruk. Harga kebutuhan pertanian terus meningkat, sehingga ketegangan sosial mencapai titik puncaknya. Saat itu, Dinasti Ming sedang berkuasa di Kekaisaran Tiongkok.
Pierre-Etienne Will menulis bahwa di Kota Suzhou, seorang sarjana bernama Ye Shaoyuan menggambarkan para petani yang kelaparan. Beberapa di antaranya memanjat tembok rumah orang kaya. Sementara yang lain mendobrak masuk setelah menghancurkan gerbang mereka dengan kapak. “Beberapa orang kaya dibunuh sebelum intervensi tentara mengakhiri kekerasan para petani kelaparan itu,” tulis Shaoyuan.
Rusaknya tatanan alam di era pemerintahan Dinasti Ming
Awal dekade itu pun diikuti oleh tragedi di Kekaisaran Tiongkok ketika Dinasti Ming masih memimpin. Kekeringan terjadi pada tahun 1641 dan 1642. Dan untuk pertama kalinya ketika Dinasti Ming masih berkuasa, mayat orang-orang yang mati kelaparan tergeletak di pinggir jalan. Sementara harga beras melambung tinggi.
Pada awal tahun 1642, beberapa orang bahkan melaporkan adanya kanibalisme di wilayah tersebut. Tidak jauh dari sana, Songjiang menggambarkan pemandangan mengerikan berupa pedesaan yang dipenuhi mayat orang-orang yang meninggal karena kelaparan.
Penduduk desa mencoba mencari makan dengan kulit pohon dan anak-anak terlantar. Penduduk yang kelaparan mengembara tanpa harapan. Beberapa dapur umum yang dibangun tidak cukup untuk mengatasi bencana yang sedang terjadi di Kekaisaran Tiongkok saat itu.
Dokumentasi seorang remaja bernama Yao Tinglin menggambarkan lingkungan sekitar Shanghai di mana. “Kematian ada di mana-mana,” tulis si remaja.
Pierre-Etienne Will menulis, “Yao menyebutkan pengungsi yang tiba-tiba pingsan di tengah jalan. Ada juga semacam kanopi di depan rumahnya tempat orang-orang kelaparan mati setiap malam.” Kanibalisme, termasuk pada korban muda, memicu sanksi peradilan atas kebrutalan tanpa batas, yang disambut sorak-sorai oleh massa.
“Semua ini menunjukkan kehancuran total tatanan alam, yang tercermin dalam tatanan sosial melalui kejahatan menyimpang yang disebutkan di atas,” dikutip dari Worldcrunch.
Baca Juga: Akhir Tragis Ritual Darah Menstruasi Kaisar Jiajing dari Dinasti Ming
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR