Pola cuaca yang memengaruhi kekuasaan Dinasti Ming di Kekaisaran Tiongkok
Selain kekeringan, banjir juga melanda Kekaisaran Tiongkok, khususnya daerah aliran Sungai Kuning. Pandemi memusnahkan sebagian populasi dan serangan belalang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hama belalang itu menghancurkan sejumlah hasil panen.
Di Kekaisaran Tiongkok, sang kaisar diyakini memegang kekuasaan berdasarkan Mandat Surgawi. Gangguan terhadap dunia dan terjadinya bencana alam ini sarat akan makna simbolis. Tampaknya unsur-unsur ini merupakan faktor penting dalam jatuhnya Dinasti Ming, yang telah berkuasa sejak tahun 1368. Kekuasaan Dinasti Ming berakhir pada tahun 1644 ketika penguasa terakhirnya melakukan bunuh diri setelah kekalahan militer.
Semua penelitian sepakat pada satu kepastian: abad terakhir Dinasti Ming ditandai dengan iklim dingin yang tidak normal. Juga frekuensi kejadian cuaca ekstrem yang tinggi. Apakah ini manifestasi dari “zaman es kecil” yang digambarkan di Eropa? Di Tiongkok utara, suhu rata-rata turun 1,18 °C antara tahun 1610-an dan 1650-an. Informasi itu didokumentasikan oleh cendekiawan di Kekaisaran Tiongkok.
Kekeringan menjadi lebih intens. Cendekiawan di Kekaisaran Tiongkok percaya bahwa, sejak 1627 hingga 1642, Tiongkok bagian timur mengalami kekeringan. Bencana kering berkepanjangan yang terakhir dialami adalah pada tahun 500 M.
Chongzhen, kaisar Dinasti Ming terakhir, menanggung akibat politik atas bencana ini. Bagi sejarawan Tim Brook, penulis The Troubled Empire, tidak ada kaisar Dinasti Yuan atau Ming yang menghadapi kondisi iklim yang tidak normal atau parah seperti Chongzhen.
Dalam studi tentang dampak perubahan iklim terhadap jatuhnya Dinasti Ming, peneliti Zheng Jingyun menyisir data iklim dan ekonomi pada era tersebut. Timnya membuat kesimpulan bahwa gangguan iklim yang terjadi saat itu mempercepat keruntuhan rezim yang telah mengalami tekanan kuat dari dalam dan luar.
Krisis fiskal
Penurunan produksi pertanian menyebabkan kelaparan. Mulai tahun 1570-an, jumlah biji-bijian per kapita turun dari 20% menjadi 50% menjelang akhir pemerintahan Dinasti Ming.
Ketika Dinasti Ming berakhir, pengumpulan pajak menjadi semakin penting.
Yang terpenting, dampak yang ditimbulkan oleh situasi ini sangat merugikan secara politik. Salah satu dampaknya adalah fiskal. Ketika kondisi cuaca semakin buruk, sistem pertanian militer yang menyediakan makanan bagi sebagian tentara dengan cepat memburuk. Menurut para peneliti, upaya militer menyumbang 64% dari pengeluaran pemerintah pusat antara tahun 1548 dan 1569. Angka tersebut meningkat menjadi 76% antara tahun 1570 dan 1589.
Baca Juga: Dari 'Peras' Darah Perawan Hingga 'Bawa' para Selir ke Alam Baka, Ini Kisah Kebengisan Dinasti Ming
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR