Nationalgeographic.co.id—Leluhur kita melihat bahwa alam dan manusia bukan sesuatu yang terpisahkan. Ada kontrak-kontrak alami yang menekankan manusia untuk menjaga alam tetap lestari. Tugas kita sebagai penjaga, pada akhirnya menghasilkan keuntungan dari alam untuk mempertahankan peradaban.
Namun, peradaban kita mulai berubah ketika mengenal teknologi canggih. Teknologi ini menuntut eksploitasi sumber daya dari pertambangan. Di banyak tempat, tambang seperti batu bara, nikel, minyak, dan masih banyak lagi dibangun untuk memenuhi hasrat kita untuk terlepas dari 'kelekatan' kita pada alam. Alat-alat ciptaan manusia menghasilkan polutan yang mengganggu keseimbangan alam.
Lambat laun, manusia tidak lagi melihat alam setara dengan dirinya, melainkan objek eksploitasi tanpa memikirkan pentingnya kelestarian. Pada gilirannya, kerusakan alam membawa segudang bencana ekologis yang merusak tatanan alam sekaligus kehidupan manusia.
Tidak jauh dari kerumunan peradaban modern, masyarakat adat mewarisi pengetahuan ekologis dari leluhur. Di Raja Ampat, laut bukan sekadar sumber perikanan, tetapi berperan menentukan jati diri mereka. Beberapa kawasan di laut dilarang dikunjungi karena dianggap sakral dan punya tantangan.
Dalam disertasi tahun 2019 bertajuk "Indigenous Knowledge and Practices for Marine Ecotourism Development in Misool, Raja Ampat, Indonesia", Nurdina Prasetyo mendeskripsikan bahwa kawasan sakral tersebar di beberapa titik sekitar Misool, seperti Yellu, Tomolol, dan Fafanlap.
Ada arwah yang menjaga pohon, sumber mata air, dan beberapa kawasan lainnya di sekitar hutan dan pesisir. Entitas-entitas ini adalah tuan tanah, sehingga manusia harus menghormati hak-hak mereka dengan tidak mengganggu.
Secara normatif, pantangan mengikat tatanan kehidupan masyarakat sebagai aturan tidak tertulis di Raja Ampat. Pantangan bisa melekat pada individu dan marga. Beberapa biota laut, seperti kerang, hiu, lobster, barakuda, dianggap sakral berdasarkan pengalaman spiritual dan anjuran juru spiritual adat sebagai totemisme.
Sasi Raja Ampat
Pengetahuan ekologis masyarakat Raja Ampat yang paling terkenal adalah sasi. Sejarah mencatat, tradisinya telah diadakan periode Kesultanan Tidore pada abad ke-15. Praktiknya tersebar di kawasan masyarakat adat di Maluku, Raja Ampat, dan daerah lainnya di Papua. Tradisi ini jadi pengetahuan masyarakat adat untuk menjaga hubungan harmoni mereka dan alam.
Secara praktik, sasi melibatkan serangkaian pantangan yang harus dipatuhi masyarakat melibatkan praktik, ruang, waktu, dan spesies tertentu untuk tetap terjaga. Masyarakat adat di Misool, seperti di kampung Kapatcol, Aduwei, dan Salafen, melarang kawasan perairan tertentu untuk diambil biotanya. Rentang waktunya beragam, biasanya mulai dari enam bulan hingga satu tahun.
Nelayan masih diperbolehkan untuk menangkap ikan untuk kebutuhan pangan harian. Namun, biota tertentu seperti teripang, lobster, dan kerang, hanya boleh diambil saat sasi dibuka selama beberapa hari.
Baca Juga: Di Balik Tagar Save Raja Ampat dan Ekspansi Nikel yang Kian Gawat
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR