Ketika pantangan dan larangan sasi dilanggar, diyakini akan ada malapetaka yang mengintai. Bagi individu yang melanggar, penyakit yang sulit disembuhkan akan menerjang dan dikutuk secara adat istiadat. Sementara, menelantarkan sasi bisa menyebabkan pancaroba yang menyulitkan kehidupan masyarakat.
Larangan dan pantangan sasi tidak hanya didukung oleh pemuka adat, tetapi juga pemuka agama di gereja dan masjid. Akibatnya, masyarakat punya alasan normatif untuk terlibat dalam perlindungan kawasan sasi dan memastikan tidak ada yang melanggar.
Oleh karena itu, kelompok perempuan Waifuna mengembalikan tradisi sasi di kampungnya, Kapatcol. Sasi, sebenarnya, telah dilaksanakan turun temurun, namun kerap kali gagal dan komitmen masyarakat yang semakin abai.
Setelah mengupayakan sasi dan berkolaborasi dengan pihak LSM konservasi, sasi berhasil diadakan kembali. Hasilnya terbukti membawa kesejahteraan masyarakat, karena hasil panen saat buka sasi punya nilai ekonomi tinggi di pelelangan.
Kisahnya kelompok Waifuna ini menginspirasi kampung-kampung lainnya di Misool untuk menghadirkan kembali sasi, sekaligus upaya konservasi Raja Ampat. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pun, sampai saat ini, terus memetakan kawasan sasi sebagai konservasi berbasis pengetahuan masyarakat tradisional.
Ekologi Raja Ampat di antara pariwisata dan tambang
Praktik tradisional dan keindahan bentang alam Raja Ampat mengundang masyarakat dunia untuk datang berwisata. Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat mencatat ada pelonjakan kunjungan wisatawan sebesar 61 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Kepulauan di ujung kawasan Kepala Burung Papua ini pun mendapat predikat wisata prioritas oleh Kementerian Pariwisata.
Pariwisata memberi keuntungan bagi masyarakat lokal lewat pertukaran pengetahuan dengan wisatawan. Keuntungan lainnya juga berupa pemasukan pada usaha-usaha kecil menengah yang di kelola masyarakat seperti penginapan dan cendera mata.
Sayangnya, pendekatan industri pariwisata ini masih menyisakan dilema ekologis. Beberapa bangunan berdiri untuk memenuhi kepentingan pariwisata, namun mengabaikan aspek kelestarian alamnya. Ada pun, kekayaan tradisional mungkin menjadi tontonan romantisasi, alih-alih mendorong pertukaran lebih mendalam pengetahuan normatif dalam pelestarian lingkungan.
Raja Ampat dengan kekayaan alamnya mulai disasar dengan pendekatan politik ekologis yang tidak berkelanjutan. Setidaknya ada empat perusahaan industri nikel yang beroperasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Industri ekstraktif ini tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga laut sebagai ruang vital masyarakat.
Akibatnya, segala macam bentuk kerusakan lingkungan mendorong gelombang penolakan dari pelbagai lapisan. Masyarakat menuntut ekokrasi di mana pelibatan masyarakat adat yang menjaga alam sekitarnya dapat terlibat dalam kebijakan-kebijakan lingkungan.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR