Nationalgeographic.co.id—National Geographic Indonesia bersama Yayasan KEHATI menyelenggarakan Forum Bumi bertajuk "Solusi Pengelolaan Darat dan Laut Terpadu di Indonesia". Acara ini digelar di Jakarta pada Rabu, 4 Juni 2025.
Profesor I Nyoman Suyasa, Guru Besar dari Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta, menyampaikan dalam forum ini betapa pentingnya pengintegrasian pengelolaan laut dan darat di Indonesia. Sebab, kegiatan di darat berdampak pada kondisi laut kita, sementara aktivitas di laut juga memengaruhi kondisi daratan.
Sebagai contoh, 70% sampah yang ada di wilayah laut Indonesia berasal dari daratan. Jadi, jelas aktivitas daratan berdampak pada pencemaran di laut. Sebaliknya, naiknya permukaan air laut hingga tsunami bisa menyebabkan malapetaka bagi penduduk di daratan.
"Laut adalah tong sampahnya dunia," kata Nyoman. "Ada 131 aliran sungai di Indonesia yang menjadi jalan membawa malapetaka ke laut."
Karena darat dan laut itu jelas saling terkait, Nyoman menegaskan, pengelolaan keduanya perlu diintegrasikan. "Karena pesisir dan laut yang paling terdampak oleh daratan."
Tantangannya, untuk mengintegrasikan pengelolaan darat dan laut ini perlu dukungan dan partisipasi banyak pihak dan pemangku kepentingan. "Banyak sektor, banyak mau, banyak kepentingan."
Meski demikian, bagaimanapun, pengintegrasian mutlak diperlukan dalam pengelolaan wilayah negara kepulauan ini. Kuncinya, menurut Nyoman, "integrasi adalah menyelaraskan pembangunan di darat dengan kegiatan ekonomi di laut."
Salah satu upaya yang sedang dikerjakan untuk pengintegrasian ini adalah berupa proyek Solutions for Integrated Land-and-Seascape Management in Indonesia (SOLUSI). Proyek dengan masa program 2023-2028 ini sedang dikerjakan oleh sebuah konsorsium yang terdiri atas GIZ, CIFOR-ICRAF, SNV, dan Yayasan KEHATI.
Proyek ini berlangsung di dua kabupaten di Provinsi Bangka Belitung, tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, dan empat kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah.
Program Manager SOLUSI GIZ, Yuliana Cahya Wulan, menjelaskan bahwa hasil yang diharapkan dari proyek ini adalah "Pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah memasukkan pendekatan ekosistem untuk penghidupan yang berketahanan iklim dalam pengelolaan lahan dan bentang laut (LaS) yang berkelanjutan untuk mendorong transformasi menuju ekonomi hijau (termasuk ekonomi biru)."
GIZ sendiri mendapat bagian tugas dalam pengembangan dan penguatan kapasitas para pemangku kepentingan untuk pengelolaan lanskap darat-laut terpadu. "Ini tahun kedua dari proyek. Kita ada di tahap kegiatan ini: formulasi strategi pengembangan kapasitas berdasarkan hasil CDNA dan output SOLUSI."
CDNA adalah kependekan dari Capacity Development Need Assessment, alias Penilaian Kebutuhan Peningkatan Kapasitas. Wulan mengatakan hasil kajian dari CDNA ini mengungkapkan karakter masyarakat yang berbeda dari masing-masing wilayah.
"Masyarakat di Jawa Tengah cenderung lebih semangat dibanding dua provinsi lainnya," ujarnya.
Output Leader LaS Masterplan dari CIFOR-ICRAF, Arga Pandiwijaya, mengatakan bahwa tim CIFOR-ICRAF mendapat tugas menyusun rencana induk (masterplan) pengelolaan bentang darat dan laut terpadu dalam proyek SOLUSI ini. Wilayah daratan yang masuk dalam masterplan ini mencakup wilayah pesisir dari garis pantai hingga 12 mil dari lepas pantai.
Masterplan ini adalah "sebuah rencana strategis jangka panjang," kata Arga. "Ini adalah dokumen yang memfasilitasi semua RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional)."
Dokumen strategis ini mencakup visi jangka panjang, tujuan, strategi, dan rencana aksi untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi hijau dan ekonomi biru.
"Secara keseluruhan, perencanaan terpadu untuk bentang lahan dan laut merupakan pendekatan penting untuk memastikan kesehatan dan keberlanjutan ekosistem yang saling terhubung," jelas Arga. "Hal ini memerlukan kolaborasi, inovasi, dan komitmen untuk menemukan solusi yang bermanfaat bagi manusia dan alam."
Masterplan ini akan dilengkapi juga dengan platform pemodelan terbuka yang bisa menyimulasilan pengelolaan bentang darat dan laut di wilayah terkait. "Kalau sekarang kita tidak melakukan hal-hal baik, apa yang akan terjadi? Lalu jika kita patuh dengan rekomendasi masterplan, apa yang akan terjadi?"
Innovative Financing Advisor dari SNV, Iman Budi Utama, memaparkan pentingnya penguatan ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim melalui ekonomi hijau-biru.
Menurut Iman, semua pembangunan dan perubahan lanskap di bumi terjadi karena kegiatan ekonomi. "Semua kerusakan alam terjadi karena motif ekonomi," ujarnya.
Dalam proyek SOLUSI ini, SNV bertugas dalam kegiatan perekonomian bagi warga setempat yang sekaligus juga bisa menjaga kelestarian alam mereka. "Kita mencoba membangun model bisnis ekonomi apa yang bisa mendukung keberlanjutan," kata Iman.
Iman juga menegaskan pentingnya kolaborasi multipihak dalam mengembangkan ekonomi hijau-biru ini. Mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat.
"Jika mau ada perubahan besar-besar, maka harus melibatkan pihak swasta. Sebab sebagian besar kegiatan bermotif ekonomi digerakkan oleh swasta," ungkap Iman.
Meski sektor swasta punya andil terbesar dalam mengubah atau menjaga lanskap darat dan laut, keberadaan mereka juga dipengaruhi oleh kebijakan dari pihak pemerintah dan kegiatan ekonomi mereka juga dipengaruhi oleh selera pasar dari masyarakat. Jadi, semuanya saling terkait dan berpengaruh.
Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, menjelaskan peran KEHATI dalam proyek SOLUSI adalah menggerakkan aksi konservasi berbasis komunitas dan pendampingan masyarakat. Salah satu caranya adalah pengembangan kegiatan ekowisata.
Rony menegaskan bahwa sejatinya makna konservasi bukanlah sekadar menjaga keanekaragaman hayati. "Konservasi adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya alam untuk sebanyak-banyak orang, sebesar-besarnya manfaat, dan sepanjang-panjangnya waktu," ujarnya.
Jadi pemanfaatan ekonomi ini haruslah memikirkan kepentingan untuk jangka panjang. Harus memikirkan keberlanjutan agar sumber daya ini juga masih bisa dinikmati oleh banyak generasi lainnya di masa mendatang.
Rony juga menambahkan bahwa perubahan bentang alam maupun penyusutan keanekaragaman hayati disebabkan oleh ulah manusia. Jadi, Rony menegaskan, "Saat bicara soal konservasi, yang perlu dikelola sebenarnya adalah manusianya, bukan alamnya."
"Manusia adalah mesin pengrusak paling hebat di dunia," kata Rony seraya menambahkan juga, "tapi kita juga bisa memperbaikinya."
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR