Nationalgeographic.co.id—Terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang, Jaringan Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat mencakup lebih dari 4 juta hektare dan mencakup sekitar 1.500 pulau.
Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati laut terkaya di bumi meski lokasinya relatif terpencil. Kondisi ini memungkinkannya terhindar dari pariwisata massal. Tidak mengherankan jika orang-orang menyebut Raja Ampat sebagai “surga terakhir di bumi”.
Raja Ampat merupakan rumah bagi lebih dari 1.600 spesies ikan. Sekitar 75% spesies karang yang dikenal di dunia dapat ditemukan di sana.
Selain kekayaan alamnya, Raja Ampat pun kaya akan legenda. Salah satunya adalah legenda tentang asal-usul Raja Ampat.
Penemuan enam butir telur
Raja Ampat merupakan situs yang terdiri dari empat pulau yang dikelilingi oleh wilayah perairan dan daratan seluas 4,6 juta hektare. Raja Ampat memiliki beragam biodiversitas yang mencakup 540 jenis karang dan 1.600 spesies ikan. Kekayaannya membuat Raja Ampat disebut sebagai surga kekayaan biota laut.
Tapi pernahkah Anda bertanya-tanya tentang legenda atau asal-usul Raja Ampat? Mengapa wilayah ini disebut sebagai Raja Ampat? Semua itu berawal dari penemuan enam butir telur.
Menurut legenda, ada sepasang suami istri di tanah Papua telah menantikan kehadiran buah hati sejak lama.
Suatu hari, suami istri itu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Karena saat itu sedang musim hujan, mereka pun harus bergegas agar tidak kehujanan dan kayunya menjadi basah. Namun rupanya, mereka tidak mendapatkan banyak kayu meski sudah bekerja keras.
Untuk melepas penat setelah mencari kayu, suami istri itu pun beristirahat di tepi Sungai Waikeo. Saat itu, sang suami menemukan lubang besar di tepi sungai. Ia memeriksa isi lubang dan menemukan enam butir telur besar.
Suami istri itu pun membawa pulang keenam butir telur tersebut. Rencananya, telur-telur itu akan disimpan dan dimasak nanti. Mereka pun menyimpan telur-telur tersebut dengan baik di rumah.
Baca Juga: Di Balik Tagar Save Raja Ampat dan Ekspansi Nikel yang Kian Gawat
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR