Kamera tersembunyi ini salah satu dari 80 perangkap kamera yang dipasang di sekitar Dasht-e Kavir, daerah terpencil di dataran tinggi tengah Iran yang bergunung-gunung, dengan harapan dapat merekam salah satu kucing besar yang paling langka dan paling pemalu di dunia: cheetah Asia.
“Ini seperti mendapat durian runtuh,” kata ahli biologi margasatwa Iran Houman Jowkar mengenai rekaman 27 detik itu. Jowkar bekerja di Proyek Pelestarian Cheetah Asia, yang dibentuk Departemen Lingkungan Hidup Iran tahun 2001 dalam upaya menyelamatkan populasi terakhir cheetah yang terancam punah ini. “Kucing ini sangat langka,” kata Jowkar. “Kami memiliki polisi hutan yang tinggal dan bekerja di pegunungan ini selama bertahun-tahun tetapi belum pernah melihat seekor cheetah hidup sekali pun.”
Program perangkap kamera membantu para ilmuwan Iran menentukan kira-kira berapa banyak cheetah yang tersisa serta tempat tinggalnya—informasi vital dalam penyusunan strategi konservasi. “Kami beruntung bisa merekam hewan yang menawan ini,” kata Jowkar. “Dengan menggunakan pola bulunya yang unik, kami bisa mengenali setiap cheetah serta menentukan populasi dan distribusinya.”
Sekalipun demikian, penyelamatan cheetah Asia bukan hal yang gampang. Kehancurannya dimulai sejak zaman kejayaan Kesultanan Mughal, ketika berburu dengan mengerahkan cheetah menjadi populer. Seorang sultan Mughal kabarnya mengumpulkan lebih dari 9.000 cheetah selama 49 tahun masa kekuasaannya.
Bandingkan zaman itu dengan zaman sekarang. Setelah sepuluh tahun memasang sejumlah kamera, peneliti Iran sejauh ini hanya berhasil mendapatkan 192 gambar sekilas. Gambar-gambar itu memperlihatkan 76 cheetah kurus. Dapat dikatakan inilah sisa subspesies agung yang dulu berkeliaran di sebagian besar Asia.
Mereka yang masih bertahan sampai saat ini harus berjuang keras untuk hidup. Satwa yang memburu antelop dan kambing gunung di lereng curam dan berbatu ini harus bersaing dengan serigala dan bahkan manusia, yang menjadikan rusa dan kambing sebagai sumber makanan yang mudah didapat.
Kembali ke Taman Nasional Serengeti, menjelang asar, udara panas dan berdebu sementara petir bersabung menggelegar di kejauhan. Sudah sekitar satu jam Etta merayap mendekati seekor antelop jantan yang besar, sementara sang antelop masih belum menyadari kehadirannya.
Antelop itu besar dan sehat, banyak dagingnya. Etta mengendap-endap dengan cepat, kemudian mendekam dan menunggu, tampak seperti seorang sprinter di blok start yang menanti aba-aba pistol.
Satu-dua menit yang menegangkan berlalu. Tiba-tiba, seperti tanpa alasan sama sekali, Etta berdiri dan berjalan menjauh. Ada yang ganjil menurutnya—mungkin bau dubuk atau singa.
Apa pun sebabnya, bagi induk tunggal dengan empat anak yang masih kecil ini, antelop itu tidak sepadan dengan risikonya. Dia memberi isyarat agar anak-anaknya mengikutinya, lalu mereka berjalan pergi, ditelan kepulan debu lembayung.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR